Ada sebuah
adagium yang sering disebut oleh Suryo Mentaram tentang budi pekerti orang
Jawa. “Dadi wong jowo kui ora cukup
pinter lan lantip, tapi ugo kudu waskito”, begitu kurang lebihnya. Kita
sering mendengar istilah “njawani”, atau “menjadi orang jawa”, bukan? Dalam
masyarakat kita, ada orang Jawa yang dianggap belum sepenuhnya “jawa”,
istilahnya “ora njawani”. Hal ini disebabkan oleh budi pekerti yang dianggap
belum sesuai dengan karakteristik khas orang jawa sesungguhnya. Menjadi orang
jawa bukan semata karena keturunan atau hubungan darah semata, tapi juga
karakter dan kehalusan budi yang sesuai dengan standar enjadi orang jawa. Orang
yang menikah dengan suku jawa, para pendatang yang tinggal di Jawa, bisa jadi
lebih “Jawa” ketimbang orang Jawa asli. Sementara orang keturunan jawa belum
tentu “njawani”.
Memang,
perbedaan karakter manusia itu sebuah niscaya tak terbantah. Jangankan dalam
masyarakat luas, satu keluarga yang terdiri dari beberapa orangpun memiliki
karakter yang berbeda satu sama lain. Namun, secara umum orang jawa memiliki
ciri khusus. Budi pekerti yang halus, dianggap pintar, dan bisa menempatkan
diri dimanapun. Sehingga jangan heran kalau pemuda pemudi jawa kerap menjadi
menantu idaman. #Ops
Menurut
para sesepuh dan pinisepuh, seperti yang disampaikan oleh Suryo Mentaram dalam
adagiumnya, ukuran pintar bagi orang jawa tidak cukup menjadikannya sebagai
“orang jawa”. Ya, karena bagi mereka, orang dianggap pintar ketika pandai
berhitung. Misal dengan mengukur gaji berapa, sekolah di amana, pangkat
seberapa tinggi, nilai berapa, harta sudah punya apa saja, semua diukur, ini di
sebut orang pintar. Segala sesuatu diukur dengan angka, semakin tinggi angka,
maka dianggap semakin sukseslah dia.
Nilai yang
lebih tinggi dari “pintar” adalah “lantip”. Yaitu orang yang mengerti, mau
bagaimana mengambil posisi diri, bagaimana menempatkan diri dalam masyarakat,
keluarga, lingkungan, dan sebagainya. Menjadi orang jawa tidak cukup hanya
menyandang predikat “pintar” dan “lantip”, tapi juga harus “waskita”, istilah
yang bisa diartikan: waspada. Ya, menjadi orang jawa tidak hanya harus pintar
dan mengerti posisi diri, tapi juga harus waspada, paham tujuan hidup ini dan
hendak kemana harus melangkahkan kaki.
Bagaimana
dengan kita, sudahkah “njawani”?
0 comments:
Post a Comment