“Aya..ayo parkir
sini. Tolong itu geser dikit ke selatan, le.”
Ujar sang bapak kepada anaknya. Di jawa, panggilan “le” ditujukan kepada anak
lelaki, singkatan dari “thole”. Aku parkir sembarangan, karena memang lokasinya
sedang penuh. Ah, sudah mirip emak-emak ya, pagi-pagi ke pasar, parkir
sembarangan, ngga mikir itu nanti ada
truk besar lewat terus nyeggol sepeda motor, gimana?
Kan ada tukang
parkir, batinku. Lagipula si bapak langganan sudah siap merapikan motor yang
kubawa. Setelah mencabut anak kunci, aku ngeloyor pergi, masuk ke dalam pasar
mencari beberapa bahan yang harus kubeli pagi ini.
Bapak tukang
parkir itu, aku tak tahu namanya. Tapi kami cukup akrab karena sejak tinggal di
sini, aku jadi sering main ke pasar. Main? Belanja lah, calon emak yang baik. Eh,
bukan. Ini hanya karena tuntutan kebutuhan. Awalnya aku asal parkir, ada banyak
tukang parkir yang menjaga “wilayah” masing-masing di depan pasar tradisional
dekat rumah paman. Sampai akhirnya ketika belanja bareng umik, beliau
menyarankan untuk parkir di tempat bapak itu, karena lebih dekat dengan pintu
masuk juga sih. Jadi langganan deh. Kata umik, bapak itu dulu murid umik waktu
sekolah, dan pemuda yang biasa membantu menata motor adalah anaknya. Usianya
sang bapak mungkin sekitar 50 tahun, atau lebih. Sementara anaknya, sekitar 20
tahun-an, mungkin. Jadilah bapak-anak berprofesi sebagai tukang parkir. Aku hanya
mengangguk-angguk sok ngerti waktu mendengar cerita umik.
Ah, pagi ini
tidak banyak yang harus kubeli. Hanya bahan sayur lodeh termasuk cingur, bumbu,
tomat, tempe, dan jagung manis. Eh ya, aku pengen beli udang. Sepertinya enak
digoreng sama tepung bumbu. Tidak butuh waktu lebih dari setengah jam untuk
mendapat semua bahan yang kubutuhkan (meskipun sampai di rumah, aku baru ingat
ketinggalan beli kelapa parut buat santan, duh. Tapi tak masalah, di lemari dapur
masih ada empat bungkus Kara yang siap digunakan, alhamdulillah).
Saat keluar dan
menata belanjaan, bapak tukang parkir sedang santai. “Udah belanjanya neng?”
tanyanya ramah. Aku menjawab santun, “Sampun,
pak.” Beliau mungkin sudah hafal dengan wajahku. Ya, secara sering parkir di
situ. Sambil memutar motor sesuai arah tujuan, dan aku bersiap naik, tiba-tiba
bapak itu bertanya, “Sampean dereng sima,
nggeh?”
What?
Aku hanya
mengernyitkan dahi. Dulu waktu awal-awal ke pasar, beliau tidak mengenalku
sampai aku ke pasar bareng umik. Besoknya
ke pasar lagi sendiri beliau tanya, “Oh, jadi sampean yang tunggu di rumah
selama ditinggal haji?” aku hanya tersenyum, “Nggeh, ngerencangi umik kalian abah.” Setelah itu, tak ada dialog
khusus yang kuingat. Lalu, kenapa pagi ini tiba-tiba beliau bertanya “hal aneh”
semacam itu?
Aku hanya
tersenyum lebar menanggapinya. “Dereng,
pak.” Jawabku masih sedikit ragu, kenapa bapak ini bertanya begitu?
“Lha pripun, dipadosaken nopo? Njaluk joko,
ta dudo, ono kabeh nek gelem.” Tanpa basa-basi, aku tergelak. Apaan coba?
"Pangestunipun mawon, pak." Ujarku singkat, memohon agar beliau berkenan mendoakanku, beliau
tersenyum. “Iyo, tak dungakno nduk.”
Apa sebenarnya yang membuat seseorang tergerak
hatinya untuk mendoakan? Rasa iba, kasih sayang tanpa rencana? Atau murni
karena hati itu digerakkan olehNya?
“Monggo, pak.” Aku berpamitan. “Iyo, nduk.” Ujar sang bapak sambil
menahan laju kendaraan di belakangnya agar lebih pelan saat aku masuk ke badan
jalan. Masih dengan senyum tidak jelas, kutarik gas menuju pertigaan sambil
menggerakkan tombol sein ke kanan.
Sepanjang jalan
aku masih tak mengerti kenapa ada kejadian aneh pagi ini. Tapi prasangkaku
tetap memimpin diri: kita tak pernah tahu, dari lisan siapa soa itu
dikabulkanNya. Maka teruslah berprasangka baik, menjaga hubungan baik dengan
siapapun. Maka rencana-rencana baik itu akan berjalan baik dengan sendirinya,
insya Allah.
1 comments:
Tawaran luarbiasa
Post a Comment