Ya, telingaku
tak salah dengar. Kalimat itu meluncur begitu tegas, “Adek ngga mau shalat!”. Mendengar
kaliat itu dari seorang muslim, tentu ada rasa kesal yang menjalar. Wajar. Karena
shalat adalah salah satu ibadah yang “tidak bisa ditawar”.
Tapi mendengar
itu dari lisan seorang anak, tentu kita tidak bisa menyikapinya dengan cara
orang dewasa. Sore itu, hanya aku dan adik tinggal di rumah ini. Adik sepupu,
mama dan ayahnya ke luar kota selama 3-4 hari, dengan tujuan berbeda. Beruntung,
kali ini adik tidak lagi marah karena ditinggal orang tua. Mungkin karena sudah
cukup terbiasa setelah sebelumnya ditinggal haji lebih dari 30 hari, mungkin
juga sudah mulai nyaman denganku, jadi ketika orang tuanya tidak ada, dia tetap
merasa aman dan nyaman.
Sore itu,
setelah acara drama adik merajuk minta dibuatkan kolak yang membuat
telapak tanganku dicium pisau, dia asyik menikmati semangkuk kolak kacang hijau
kesukaannya sambil nonton my little pony.
Adzan maghrib berkumandang. Dia harus menepati janji yang telah diikrarkan
sebelumnya, boleh nonton tv sampai adan berkumandang sambil makan. Nah, adzan
itu membuatku menagih janjinya. “Dek, sudah adzan, tadi janji apa?” ujarku pelan
sambil mengerjapkan mata, dia menjawab datar, “Matikan TV-nya ta?”
“Iya, terus kita
shalat ya, ke musholla?” Dia mengangguk. Ternyata tak sulit. Oke, aku mengambil
air wudhu dan menawarinya sekalian, tapi dia tidak mau ambil wudhu. Memaksanya pasti
tak akan baik, bisa gagal rencana ke musholla. Sambil bersiap mengenakan
mukena, kuajak adik juga mengenakan mukenanya, dia menolak sambil menjawab
tegas, “Adek ngga mau shalat!” diiringi teriakan. Aku tertegun sejenak. Bisa
jadi perang nih kalau dipaksa.
“Adek, tau ngga,
makhluk Allah yang ngga mau shalat itu namanya apa?” Dia diam, sambil cemberut.
“Namanya setan,
adek ngga mau kan jadi temannya? Yuk berangkat, keburu telat kita nanti…”
Ujarku sambil menggandeng tangannya. Sedikit tak peduli dengan raut wajahnya
yang tertekuk. Mukenanya yang masih terlipat rapi dalam tas tetap kubawa, anak
kecil biasanya cepat berubah pikiran. Siapa tahu nanti sampai di musholla dia
mau pakai, kan?
“Gendong….” Dia
mulai merajuk. Duh!
“Ngga ah, kalau
adek ngga mau ikut sahalt jalan sendiri ke musholla-nya, tinggal beberapa
langkah doang kan…” Aku menolak rajukannya. Dia masih cemberut, mulut kecil itu
semakin mengerucut. Aku ingin tertawa menatapnya, tapi dia pasti tak suka
ditertawakan saat sedang kesal. Jadi cukup kutahan saja. “Ayo cepet, pakai
sandalnya, keburu telaattt…ayo cepet cepet, hurry up please….” Kututupi rasa
ingin tertawa itu dengan menarik tangannya dan bergegas. Dia menurut,
melangkahkan kaki menuju musholla yang hanya beberapa langkah dari rumah. Ah,
dasar anak-anak.
Sesampainya di
musholla, kubiarkan di berekspresi. Berjalan-jalan, memperhatikan sekitar,
sampai bermain sendiri. Masuk rakaat kedua, dia mulai bermain menyentuh
mukenaku, lalu masuk. Aku mengenakan mukena parasit (dengan kerudung di
dalamnya, biar ngga terawang) warna pink, warna kesukaan adik (aku juga suka,
sih). Dia berandai-andai sedang masuk dalam tenda. Ya, imajinasi anak memang
sedikit absurd. Mungkin kita dulu juga begitu. Tak kusangka, dia mengikuti gerakan
shalat, pelan-pelan mengikuti imam, dengan tetap bersembunyi di dalam mukena. Bagiku
tak masalah, meski akhirnya dia berkeringat karena cuaca memang sedikit panas.
Tidak masalah
meski shalatku sedikit terganggu karena mukena yang kadang tertarik akibat ulah
adik. Ngga bisa khusyuk, dong? Ehm, kekhusyuk’an macam apa yang sebenarnya kita
cari? Bukankan dalam sepi dan sendiripun hati dan imajinasi kita masih bisa
berlari? Bagiku, khusyu’ itu ada dalam ketenangan hati dan keyakinan, bahwa
shalat itu adalah moment penting mengadukan diri pada sang pencipta,
menyerahkan dunia dan segala prasangka atasnya, lalu berserah dalam do’a-do’a.
Rasanya tenang,
senang, sedikit drama tadi berhasil membuatnya melaksanakan shalat. Memang perlu
sedikit dipaksa agar anak terbiasa. Sebisa mungkin, usahakan “paksaan” ‘itu
tetap menyenangkan bagi anak. Karena jika dibiarkan, kasihan ketika nanti
mereka besar tidak mengerti pentingnya menjaga shalat.
0 comments:
Post a Comment