Tidak hanya
satu atau dua, banyak orang bilang bahwa film yang diadopsi dari sebuah novel
itu kalah keren dari novelnya. Karena ketika membaca, otak kita bereaksi
membentuk imajinasi sesuai dengan deskripsi. Sibuk membayangkan berbagai macam
adegan, ekspresi tokoh, hingga berhasil berkhayal tentang isi dari penggalan
setiap cerita.
Begitu juga
yang terjadi pada Critical Eleven dan Cinta Lelaki Biasa, film ini diangkat dari
novel karya anak negeri. Keduanya banyak yang menilai tidak lebih baik dari
novel asli. Yah, meski sutradaranya mungin sudah berusaha sepenuh hati, siapa
yang bisa mengendalikan penilaian pribadi banyak orang? Tapi bukan soal
perbandingan antara novel dan film yang ingin kusampaikan disini.
Sedikit
catatan setelah melihat kedua film tersebut dalam waktu semalam, aku cenderung
suka memperhatikan alur ceritanya. Critical Eleven bercerita tentang Ale yang
keras, terkesan dingin pada banyak orang termasuk keluarganya, bertemu dan
jatuh cinta pada Anya dalam sebuah perjalanan di pesawat. Keduanya saling suka,
kemudian memutuskan untuk menikah.
Anya adalah
type istri yang baik, wanita mandiri dan sedikit keras kepala. Dia bersedia
mengikuti kemanapun suaminya melangkah, mendampinginya tanpa lelah, mengusir
bosan dengan berbagai kesibukan termasuk pekerjaan. Mereka harus tinggal di New
York setelah menikah demi pekerjaan. Semua itu bisa dijalani Anya dengan
“baik-baik saja”. Sehingga ketika dinyatakan hamil anak pertama, Anya merasa
semua baik-baik saja. Perhatian dan rasa khawatir Ale akan keselamatan istrinya
bahkan sering dianggap Anya berlebihan.
Keduanya
saling mencintai, sangat. Saling percaya, berusaha saling menguatkan, meski
riak-riak kecil perbedaan tentu tak ketinggalan mewarnai drama kehidupan.
Termasuk ketika Ale memaksa Anya untuk pindah ke Jakarta, karena disana Ale
bisa merasa lebih aman ketika harus meninggalkan Anya di rumah. Ada keluarga,
kakak, adik dan saudara-saudaranya yang bisa sewaktu-waktu menemani Anya jika
terjadi sesuatu.
Kehamilan Anya
dan kehidupan mereka berjalan baik, demikian juga pekerjaan, semua tampak
lancar. Sampai suatu hari, tiba-tiba Anya harus dilarikan ke Rumah Sakit dan
mendapati jantung bayinya berhenti berdetak. Orang tua mana yang tidak merasa
kehilangan buah hati, darah daging yang bahkan belum sempat mereka pinang walau
sesaat itu pergi?
Tidak ada hidup
tanpa ujian. Demikian juga kehidupan pernikahan. Tidak ada ibu hebat, istri
kuat, suami pembenari, teguh pendirian, rumah tangga harmonis, yang terbentuk
tanpa ujian. Semua perlu proses untuk saling menguatkan, mengambil keputusan
yang benar, dan tentu saja, melanjutkan perjalanan sampai batas kehidupan.
Lain cerita dengan
film Cinta Lelaki Biasa, Nania, mahasiswa arsitek, anak bungsu dari empat
bersaudara, putri dari pasangan konglomerat, bertemu dengan Rafli dalam sebuah
program magang. Rafli menjadi mentor Nania selama beberapa bulan. Selama itu
pula Nania belajar mengaduk semen, membuat bangunan yang kokoh, berinteraksi
dengan para pekerja, juga melihat kepribadian Rafli yang begitu sabar sekaligus
tegas.
Dua tahun
berlalu tanpa kontak, diam-diam mereka memendam perasaan yang sama. hingga
akhirnya Rafli berhasil menyingkirkan rasa takut untuk memulai hubungan yang
lebih serius dengan Nania. Nekat, Rafli percaya akan hatinya, bahwa niat yang
baik harus tetap dilaksanakan. Mencoba
dan gagal itu masih lebih baik daripada takut untuk mencoba, itu namanya kalah
sebelum perang. Masalah hasil serahkan pada Allah, bukankah tugas manusia
hanya berdo’a dan berusaha yang terbaik?
Rafli siap menerima penolakan keluarga Nania yang
tentu saja enggan menjadikan Rafli sebagai menantu. Apalagi mereka sedang
berusaha menjodohkan Nania dengan seorang dokter ahli saraf. Beruntung, Nania
teguh pendirian mempertahankan Rafli, akhirnya mereka menikah.
Benarlah bahwa
kehidupan kita yang sesungguhnya dimulai setelah menikah. Disanalah
kesempurnaan hidup bermula. Sempurna secara agama, sosial, dan juga rasa. Ada
suka dan duka saling terkait, saling melengkapi tanpa jeda. Ah, apa iya menikah
seindah itu?
Kenyataannya,
tidak. Setiap orang yang ingin menikah perlu menimbang, menyiapkan mental dan
spiritual, agar tetap tegar menghadapi kerasnya gelombang. Jika sudah sampai
pada keseimbangan antara keinginan dan kesiapan, saat itulah pernikahan harus
disegerakan. Dengan siapa? Allah lebih tahu jawabannya. Tugas kita adalah
meminta petunjuk dan yakin sepenuh hati.
Lalu masih
haruskah merasa takut bahkan sebelum memulai perjalanan?
Iya, rasa
takut itu harus tetap ada, agar hati merasa terjaga, agar jiwa tak terlena,
agar setiap langkah mantap mewujudkan tujuan yang sama. Kita hanya manusia
biasa, masalah itu kan selalu ada selama nyawa menyatu dengan raga.
Kedua film
tersebut menggambarkan bagaimana sepasang manusia berusaha bertahan dan saling
menguatkan ketika diterpa ujian. Keduanya sanggup bertahan, dengan cara yang
berbeda. Apakah karena penulis novel yang berbeda? Tentu saja, tapi bukan hanya
itu. Film adalah gambaran dari kehidupan nyata. Walaupun ada unsur fiksi, penyedap
imajinasi. Critical Eleven menyelesaikan masalah yang hadir tanpa melibatkan
peran agama. Sebaliknya, Cinta Lelaki Biasa menunjukkan betapa agama-lah yang
menguatkan Rafli untuk terus bertahan dan mencapai tepi badai kehidupan dengan
penuh kemenangan. Semua air mata, kesedihan, rasa sakit itu terbayar tuntas
ketika melihat bahwa tak ada yang sia-sia dari setiap usahanya mengembalikan
ingatan Nania yang amnesia akibat kecelakaan.
“Cinta itu bukan sesuatu yang bisa
dipelajari. Cinta memiliki cara sendiri untuk membuat kita saling mengerti,
menapaki hidup sepenuh hati, menguat bersama setiap kenangan yang tercipta dan
semakin berharga terasa setelah ujian yang berhasil kita lewati”
MAu ikut nonton? Boleh dong, mau streaming atau download, klik aja: Critical Eleven atau Cinta Lelaki Biasa
Uwaaa, rasanya pengen cepet ketemu jodoh yang Allah pilihkan untukku setelah melihat dua film ini. Baper? Pasti. Bukan untuk adegan romantisnya, tapi untuk satu pertanyaan: apakah antara keinginan dan kesiapan diri ini sudah seimbang untuk memutuskan segera menikah?
Uwaaa, rasanya pengen cepet ketemu jodoh yang Allah pilihkan untukku setelah melihat dua film ini. Baper? Pasti. Bukan untuk adegan romantisnya, tapi untuk satu pertanyaan: apakah antara keinginan dan kesiapan diri ini sudah seimbang untuk memutuskan segera menikah?
Mata sempurna
terbuka, keheningan tengah malam sedikit mencekam setelah suara anak kecil yang
melintas sepulang bermain terdengar di depan kamar. Anak siapa tengah malam
begini masih berisik di jalanan?
Ah, entahlah.
Kuambil wudhu, lalu kuizinkan diri mengadu pada sang pemilik waktu. Berharap
langit mendengar doa-doa dan pemiliknya memperkenankan pintaku. “Eh, kenapa
nontonnya film romance mulu sih? Update status, bahkan obrolan di group
akhir-akhir ini tampaknya baper mulu?” ini pertanyaan yang sering muncul dari
teman-teman belakangan. Ehm, terserah apa kata mereka. Jikapun ada yang
menyangka akan segera ada undangan nikah atas nama Sakifah, kuamini saja dalam
hati.
Tujuan melihat
film ini utamanya adalah untuk menambah referensi dan “feel” menulis novel. Iya, aku sedang berusaha menyelesaikan draft
sebuah novel. Mau tau judulnya? Jujur, aku masih bingung, antara: Jodoh
Online, Cinta Di Ujung Senja, Kekasih Maya, atau Pangeran Petruk? Ceritanya
tentang pernikahan online yang tidak mendapat restu keluarga mempelai wanita,
bahkan sang wanita ini dijodohkan dengan orang lain yang akhirnya mereka sama
suka. Kisah ini bukan semata tentang cinta, tapi juga perbedaan budaya dan karakter manusia dari dua negara, kesetiaan dan pengkhianatan, juga tentang bahagia dan air mata. Menurut kalian, judul apa yang paling tepat untuk kisah ini?
#OneDayOnePost
0 comments:
Post a Comment