Wednesday, 8 November 2017

Antara Critical Eleven, Cinta Lelaki Biasa dan Judul (calon) Novel

| |



Tidak hanya satu atau dua, banyak orang bilang bahwa film yang diadopsi dari sebuah novel itu kalah keren dari novelnya. Karena ketika membaca, otak kita bereaksi membentuk imajinasi sesuai dengan deskripsi. Sibuk membayangkan berbagai macam adegan, ekspresi tokoh, hingga berhasil berkhayal tentang isi dari penggalan setiap cerita.


Begitu juga yang terjadi pada Critical Eleven dan Cinta Lelaki Biasa, film ini diangkat dari novel karya anak negeri. Keduanya banyak yang menilai tidak lebih baik dari novel asli. Yah, meski sutradaranya mungin sudah berusaha sepenuh hati, siapa yang bisa mengendalikan penilaian pribadi banyak orang? Tapi bukan soal perbandingan antara novel dan film yang ingin kusampaikan disini.

Sedikit catatan setelah melihat kedua film tersebut dalam waktu semalam, aku cenderung suka memperhatikan alur ceritanya. Critical Eleven bercerita tentang Ale yang keras, terkesan dingin pada banyak orang termasuk keluarganya, bertemu dan jatuh cinta pada Anya dalam sebuah perjalanan di pesawat. Keduanya saling suka, kemudian memutuskan untuk menikah.

Anya adalah type istri yang baik, wanita mandiri dan sedikit keras kepala. Dia bersedia mengikuti kemanapun suaminya melangkah, mendampinginya tanpa lelah, mengusir bosan dengan berbagai kesibukan termasuk pekerjaan. Mereka harus tinggal di New York setelah menikah demi pekerjaan. Semua itu bisa dijalani Anya dengan “baik-baik saja”. Sehingga ketika dinyatakan hamil anak pertama, Anya merasa semua baik-baik saja. Perhatian dan rasa khawatir Ale akan keselamatan istrinya bahkan sering dianggap Anya berlebihan.

Keduanya saling mencintai, sangat. Saling percaya, berusaha saling menguatkan, meski riak-riak kecil perbedaan tentu tak ketinggalan mewarnai drama kehidupan. Termasuk ketika Ale memaksa Anya untuk pindah ke Jakarta, karena disana Ale bisa merasa lebih aman ketika harus meninggalkan Anya di rumah. Ada keluarga, kakak, adik dan saudara-saudaranya yang bisa sewaktu-waktu menemani Anya jika terjadi sesuatu.

Kehamilan Anya dan kehidupan mereka berjalan baik, demikian juga pekerjaan, semua tampak lancar. Sampai suatu hari, tiba-tiba Anya harus dilarikan ke Rumah Sakit dan mendapati jantung bayinya berhenti berdetak. Orang tua mana yang tidak merasa kehilangan buah hati, darah daging yang bahkan belum sempat mereka pinang walau sesaat itu pergi?

Tidak ada hidup tanpa ujian. Demikian juga kehidupan pernikahan. Tidak ada ibu hebat, istri kuat, suami pembenari, teguh pendirian, rumah tangga harmonis, yang terbentuk tanpa ujian. Semua perlu proses untuk saling menguatkan, mengambil keputusan yang benar, dan tentu saja, melanjutkan perjalanan sampai batas kehidupan.

Lain cerita dengan film Cinta Lelaki Biasa, Nania, mahasiswa arsitek, anak bungsu dari empat bersaudara, putri dari pasangan konglomerat, bertemu dengan Rafli dalam sebuah program magang. Rafli menjadi mentor Nania selama beberapa bulan. Selama itu pula Nania belajar mengaduk semen, membuat bangunan yang kokoh, berinteraksi dengan para pekerja, juga melihat kepribadian Rafli yang begitu sabar sekaligus tegas.

Dua tahun berlalu tanpa kontak, diam-diam mereka memendam perasaan yang sama. hingga akhirnya Rafli berhasil menyingkirkan rasa takut untuk memulai hubungan yang lebih serius dengan Nania. Nekat, Rafli percaya akan hatinya, bahwa niat yang baik harus tetap dilaksanakan. Mencoba dan gagal itu masih lebih baik daripada takut untuk mencoba, itu namanya kalah sebelum perang. Masalah hasil serahkan pada Allah, bukankah tugas manusia hanya berdo’a dan berusaha yang terbaik?

Rafli  siap menerima penolakan keluarga Nania yang tentu saja enggan menjadikan Rafli sebagai menantu. Apalagi mereka sedang berusaha menjodohkan Nania dengan seorang dokter ahli saraf. Beruntung, Nania teguh pendirian mempertahankan Rafli, akhirnya mereka menikah.

Benarlah bahwa kehidupan kita yang sesungguhnya dimulai setelah menikah. Disanalah kesempurnaan hidup bermula. Sempurna secara agama, sosial, dan juga rasa. Ada suka dan duka saling terkait, saling melengkapi tanpa jeda. Ah, apa iya menikah seindah itu?

Kenyataannya, tidak. Setiap orang yang ingin menikah perlu menimbang, menyiapkan mental dan spiritual, agar tetap tegar menghadapi kerasnya gelombang. Jika sudah sampai pada keseimbangan antara keinginan dan kesiapan, saat itulah pernikahan harus disegerakan. Dengan siapa? Allah lebih tahu jawabannya. Tugas kita adalah meminta petunjuk dan yakin sepenuh hati.

Lalu masih haruskah merasa takut bahkan sebelum memulai  perjalanan?

Iya, rasa takut itu harus tetap ada, agar hati merasa terjaga, agar jiwa tak terlena, agar setiap langkah mantap mewujudkan tujuan yang sama. Kita hanya manusia biasa, masalah itu kan selalu ada selama nyawa menyatu dengan raga.

Kedua film tersebut menggambarkan bagaimana sepasang manusia berusaha bertahan dan saling menguatkan ketika diterpa ujian. Keduanya sanggup bertahan, dengan cara yang berbeda. Apakah karena penulis novel yang berbeda? Tentu saja, tapi bukan hanya itu. Film adalah gambaran dari kehidupan nyata. Walaupun ada unsur fiksi, penyedap imajinasi. Critical Eleven menyelesaikan masalah yang hadir tanpa melibatkan peran agama. Sebaliknya, Cinta Lelaki Biasa menunjukkan betapa agama-lah yang menguatkan Rafli untuk terus bertahan dan mencapai tepi badai kehidupan dengan penuh kemenangan. Semua air mata, kesedihan, rasa sakit itu terbayar tuntas ketika melihat bahwa tak ada yang sia-sia dari setiap usahanya mengembalikan ingatan Nania yang amnesia akibat kecelakaan.

“Cinta itu bukan sesuatu yang bisa dipelajari. Cinta memiliki cara sendiri untuk membuat kita saling mengerti, menapaki hidup sepenuh hati, menguat bersama setiap kenangan yang tercipta dan semakin berharga terasa setelah ujian yang berhasil kita lewati”

MAu ikut nonton? Boleh dong, mau streaming atau download, klik aja: Critical Eleven atau Cinta Lelaki Biasa

Uwaaa, rasanya pengen cepet ketemu jodoh yang Allah pilihkan untukku setelah melihat dua film ini. Baper? Pasti. Bukan untuk adegan romantisnya, tapi untuk satu pertanyaan: apakah antara keinginan dan kesiapan diri ini sudah seimbang untuk memutuskan segera menikah?

Mata sempurna terbuka, keheningan tengah malam sedikit mencekam setelah suara anak kecil yang melintas sepulang bermain terdengar di depan kamar. Anak siapa tengah malam begini masih berisik di jalanan?

Ah, entahlah. Kuambil wudhu, lalu kuizinkan diri mengadu pada sang pemilik waktu. Berharap langit mendengar doa-doa dan pemiliknya memperkenankan pintaku. “Eh, kenapa nontonnya film romance mulu sih? Update status, bahkan obrolan di group akhir-akhir ini tampaknya baper mulu?” ini pertanyaan yang sering muncul dari teman-teman belakangan. Ehm, terserah apa kata mereka. Jikapun ada yang menyangka akan segera ada undangan nikah atas nama Sakifah, kuamini saja dalam hati.


Tujuan melihat film ini utamanya adalah untuk menambah referensi dan “feel” menulis novel. Iya, aku sedang berusaha menyelesaikan draft sebuah novel. Mau tau judulnya? Jujur, aku masih bingung, antara: Jodoh Online, Cinta Di Ujung Senja, Kekasih Maya, atau Pangeran Petruk? Ceritanya tentang pernikahan online yang tidak mendapat restu keluarga mempelai wanita, bahkan sang wanita ini dijodohkan dengan orang lain yang akhirnya mereka sama suka. Kisah ini bukan semata tentang cinta, tapi juga perbedaan budaya dan karakter manusia dari dua negara, kesetiaan dan pengkhianatan, juga tentang bahagia dan air mata. Menurut kalian, judul apa yang paling tepat untuk kisah ini?

#OneDayOnePost

0 comments:

Post a Comment

Popular Posts

Blogger templates

Blogroll

About

Search This Blog

Powered by Blogger.
 

Designed by: Compartidísimo
Images by: DeliciousScraps©