Pulau baru sudah
terbentuk. Kata orang-orang modern, itu namanya proyek reklamasi. Mengubah laut
jadi daratan, membuatnya memungkinkan jadi tempat tinggal. Bukan hanya itu,
pulau baru tersebut dijadikan lahan bisnis, “pabrik uang baru” bagi sebagian
kalangan yang konon layak disebut sebagai investor. Ah, betapa banyak orang
yang menyayangkan terciptanya proyek baru itu. Apa salahnya?
Ribuan penduduk local
yang mendiami bibir pantai dekat area reklamasi harus menerima imbasnya. Mereka
kini tak punya tempat tinggal, kehilangan pekerjaan, bahkan mungkin harapan dan
masa depan. Bagaimana nasib anak-anak mereka? Apa dosa mereka sehingga seolah “dibuang”
begitu saja demi ambisi sebagian kecil penguasa?
Belum lagi
dampak lingkungan yang ditimbulkan. Biota laut dan ekosistem di area reklamasi
dan sekitarnya harus musnah. Berapa juta makhluk yang harus jadi korban? Ah,
ngilu rasanya membayangkan. Perihnya jerit tangis dan keluh mereka, siapa yang
bisa menyelamatkan? Bukankah menyelamatkan satu kehidupan setara dengan menjaga
keamanan seluruh alam? Tentu saja hal itu berlaku sebaliknya. Satu kehidupan
yang musnah sia-sia berarti hancurnya kehidupan seluruh alam. Ya, kehidupan
nyata memang masih tampak baik-baik saja. Namun kehidupan dalam hati, mungkin
sudah mulai mati.
Siapa yang patut
disalahkan? Pemerintah? Oh, please. Pemerintah
bukan tak mau tahu soal semacam ini. Siapa lagi yang memberi izin jika bukan
mereka? Kalaupun tidak ada izin (karena dalih yang saling lempar antara Lembaga
satu dengan Lembaga lain), apakah proyek ini berjalan tanpa izin, lalu bangunan
demi bangunan itu berdiri ajaib begitu saja?
Sudahlah, tak
ada gunanya kita berdebat lebih panjang. Kalau pemerintah bisa “membenarkan
diri” dengan berjalannya proyek ini, tentu kita (atau hanya sebagian dari kita)
juga bisa bersikukuh bahwa proyek ini berjalan di tempat dan cara yang salah!
Tapi percuma. Apa
gunanya kita mendebat mereka (siapapun yang terlibat dalam proyek ini) jika
mereka bersikukuh tetap melanjutkan dengan segudang alasan, Sementara kita
berniat membatalkan tanpa dukungan kekuasaan?
Cukup, sudah
cukup. Yang perlu kita lakukan bukan lagi berdebat. Sudah saatnya kita fokus pada
solusi, apa yang bisa kita lakukan untuk mempertahankan keutuhan negeri
tercinta? Menyelamatkannya dari tangan asing dan aseng yang kian hari kian
semena-mena terhadap bangsa kita? Ah, entah omelan ini tertuju kepada siapa. Mungkin
tulisan ini juga sekedar ungkapan kejengkelan dalam hati saja. Tapi bukankah
kekuatan-kekuatan besar berasal dari kemauan yang diutarakan?
Yuk, mari terus
memperbaiki diri, memperbaiki bangsa kita agar tak mudah terpedaya. Yang harus
kita lakukan adalah menjaga diri dan orang-orang sekitar kita dari kebodohan. Ya,
itulah pangkal dari kekuatan: ilmu. Tanpa ilmu, kita hanya gelas kaca kosong
yang jika ditumbangkan, bisa pecah berkeping-keping lalu layak untuk dibuang,
tanpa perasaan.
Mari terus
belajar, tentang politik, ekonomi, literasi, perdagangan, apapun yang bisa kita
pelajari, dari manapun sumbernya, layak kita terima dengan filter iman yang
kuat. Ya, keyakinan kita perlu diperkuat, agar tak salah memilih dan memilah
jalan. Ah, semakin banyak yang ingin disampaikan, semakin bingung bagaimana mengatur
kalimat. Semoga kau mengerti, sobat.
Biarlah mereka
meneruskan pembangunan demi pembangunan, mewujudkan cita-cita, menciptakan
negara dalam negara. Toh penguasa kita mengizinkan? Mereka tak akan tersentuh
hukum dan suara kita akan tetap terabaikan. Lebih baik bagi kita untuk menyusun
cita-cita yang tak kalah istimewa, menyebarluaskan pemahaman kita dengan cara
yang tak biasa namun banyak diterima, kemudian perlahan tapi pasti, kita miliki
kekuatan tak kasat mata, siap memutarbalikkan fakta, mengembalikan kebenaran
pada tempatnya. Lakukan apa yang bisa kita lakukan, Jangan melakukan dan mengatakan apa yang tidak ada pada diri kita, Allah tak suka kan?
Bingung? Mari kita
diskusikan.
1 comments:
Heemm... pening juga. Tapi yah benar, lakukan apa yg bisa kita lakukan.
Post a Comment