“Kok ngga
habis?” Entah sejak kapan dia berdiri di belakangku, sambil berkacak pinggang
begitu. Aku terperanjat. Untung ngga punya penyakit jantung sehingga rasa terkejut
itu tidak berdampak parah padaku.
“Eh? Udah kenyang.”
Jawabku asal, sambil menatap sedih sekitar satu centong nasi, setengah ekor
ikan, sambal, dan kuah sayur sawi yang tampak bening diatas selembar daun
pisang. Kami sedang berkemah. Jadi jangan tanya kenapa makan dengan alas daun,
bukan piring? Pun tak perlu tanya mengapa kuah sayur sawi putihnya bening. Karena
sesungguhnya, panitia memasak sayuran yang memang banyak ditanam oleh petani di
sekitar area perkemahan itu asal jadi. Hanya diberi bumbu garam dan bawang, lalu
ditambah irisan cabai, kemudian dihidangkan. Sialnya, kami harus makan semua
menu itu tanpa kecuali. Adanya ikan goreng adalah berkah dengan jalan cerita
tersendiri. Yang jelas, sudah kumakan sedikit jatah makan siang menjelang sore
itu. Sisanya entah harus kuapakan. Sampai iba-tiba, Pukan datang.
“Ayo, habiskan.
Nanti disuruh push-up, lhoh?” Dia menakutiku dengan peraturan yang memang harus
kami taati dalam perkemahan ini. Setiap porsi makan yang sudah diambil, harus
habis. Tidak boleh tersisa walau satu upa
(bbulir nasi). Jika itu terjadi dan panitia tahu, apalagi sampai
membuangnya, alamat kami akan mendapat hukuman push up atau sit-up sebanyak bulir
nasi yang kami sisakan. Sungguh, aku tahu eraturan itu. Tapi apa daya ketika
perutku enggan menerima?
“Ngga mau,
ngga habis.” Jawabku malas. Dia melangkah ke depanku. Lalu duduk. Kuperhatikan tingkahnya
dengan seksama. Diseretnya lembar daun pisang itu tanpa permisi. Lalu dibaginya
nasi,s edikit untukku, yang banyak untuknya. Sayur lebih banyak untuknya,
sedangkan untukku hanya dua potong saja. Lalu ikan goreng itu, diserahkannya di
bagian yang dekat denganku. “Yuk, tak bantuin.” Katanya akhirnya. Aku bengong.
Sejak kapan
dia punya inisiatif begini?
“Ayuk, keburu
ntar dimarahi senior. Cepat habiskan.” Nada eprintahnya pelan, tapi tak bisa
kubantah. Perlahan kumakan juga bagianku yang sedikit itu. Lalu ikannya kucuil sedikit,
sisanya kuberikan pula padanya, tanpa kata.
“Ciee, romantisnya….”
Tiba-tba terdengar suara tak jauh dari tempat kami makan. Ucup! Mukaku merah
padam. Untung bagian nasiku sudah habis, tinggal punya pukan yang masih beberap
asuap lagi.
“Suapi
sekalian dong, ah.” Katanya menambahkan. Pukan hanya tersenyum melihatnya. Aku melirik mau-malu.
“Terima kasih,
membuatku tidak kena hukuman kali ini.” Kalimat itu hanya bergaung dalam hati,
mengiringi langkahnya yang pergi beberapa saat kemudian.
***
Maafkan aku telah mencintaimu, dan maafkan
aku pernah menyakitimu. Pertemuan itu ad akerena telah terencana sempurna.
Penggalan surat
itu kembali kubaca pelan. Namun berkali-kali sudah kubaca, tak juga kupahami
artinya. Sementara massa-masa kami akan sering bertemu, bercanda bersama, akan
segera menjadi prasasti tanpa rupa. Lalu untuk apa ia tulis kalimat itu tanpa
janji atau pinta?
Apakah itu
sekedar ungkapan rasa? Tapi untuk apa?
Sampai
bertahun kemudian, baru kusadari bahwa hadirnya begitu berarti. Sikapnya banyak
memberi arti, mengajari arti dewasa dan bijak menyikapi setiap tantangan yang harus
kuhadapi. Pukan, menjadi prasasti tapa rupa yang kemudian harus pergi.
Iya, sosoknya
telah pergi dari angan dan bayang semu tentang sosok lelaki dalam hidupku. Dia sudah
sibuk dengan dunianya sendiri, begitu juga denganku. Bertahun berlalu, aku tak
pernah bisa mengerti betapa lemot pemahamanku saat itu. Apa jadinya jika kukatakan
bahwa aku juga mencintainya? Ah, bukankah kita tak boleh berandai-andai agar
tak tercipta luka? Saat itu, kami masih sama-sama sangat belia. Jauh dari rasa
dewasa apalagi bijaksana menyikapi rasa.
Sekarang?
Kami sama-sama
insaf diri. Kejadian itu sudah sangat lama berlalu. Mungkin memang ada rasa
yang pernah tercipta. Namun ia telah menjadi bagian dari masa yang tak akan
kembali selamanya. Lalu soal masa depan? Pun kami tak bisa berspekulasi terlalu
dini. Biarlah waktu menunjukkan jati diri, tentang siapa yang harus kami cintai
nanti.
Bagi seorang wanita, cinta adalah sosok
pertama yang menyentuhnya.
Entah dari
mana kalimat itu pertam akali kudengar, namun kupikir benar. Rasa yang tercipta
tanpa adanya sentuhan dan kepastian
ikatan, tak berarti apa-apa bagi seorang wanita. Itulah kenapa rasionya, lebih
banyak wanita setia ketimbang laki-laki yang mudah mengobral rasa. Atau ini jug
ahanya spekulasiku saja?
Entahlah. Satu
hal yang pasti, tak ingin kubebani diri dengan rasa yang belum pasti. Biarkan cinta
dalam diri ini menjadi sejati hanya untuk pasangan yang halal, sehingga masa
depan kami tak dihantui oleh makhluk aneh tak kasat mata.
Lalu biarkan
kami menyebut cinta sejati itu sebagai yang pertama, untuk selamanya.
#OneDayOnePost
#TantanganFiksi
#FirstLove
1 comments:
Pukan?
Post a Comment