Monday, 25 December 2017

Cinta Pertama

| |



“Kok ngga habis?” Entah sejak kapan dia berdiri di belakangku, sambil berkacak pinggang begitu. Aku terperanjat. Untung ngga punya penyakit jantung sehingga rasa terkejut itu tidak berdampak parah padaku.


“Eh? Udah kenyang.” Jawabku asal, sambil menatap sedih sekitar satu centong nasi, setengah ekor ikan, sambal, dan kuah sayur sawi yang tampak bening diatas selembar daun pisang. Kami sedang berkemah. Jadi jangan tanya kenapa makan dengan alas daun, bukan piring? Pun tak perlu tanya mengapa kuah sayur sawi putihnya bening. Karena sesungguhnya, panitia memasak sayuran yang memang banyak ditanam oleh petani di sekitar area perkemahan itu asal jadi. Hanya diberi bumbu garam dan bawang, lalu ditambah irisan cabai, kemudian dihidangkan. Sialnya, kami harus makan semua menu itu tanpa kecuali. Adanya ikan goreng adalah berkah dengan jalan cerita tersendiri. Yang jelas, sudah kumakan sedikit jatah makan siang menjelang sore itu. Sisanya entah harus kuapakan. Sampai iba-tiba, Pukan datang.

“Ayo, habiskan. Nanti disuruh push-up, lhoh?” Dia menakutiku dengan peraturan yang memang harus kami taati dalam perkemahan ini. Setiap porsi makan yang sudah diambil, harus habis. Tidak boleh tersisa walau satu upa (bbulir nasi). Jika itu terjadi dan panitia tahu, apalagi sampai membuangnya, alamat kami akan mendapat hukuman push up atau sit-up sebanyak bulir nasi yang kami sisakan. Sungguh, aku tahu eraturan itu. Tapi apa daya ketika perutku enggan menerima?

“Ngga mau, ngga habis.” Jawabku malas. Dia melangkah ke depanku. Lalu duduk. Kuperhatikan tingkahnya dengan seksama. Diseretnya lembar daun pisang itu tanpa permisi. Lalu dibaginya nasi,s edikit untukku, yang banyak untuknya. Sayur lebih banyak untuknya, sedangkan untukku hanya dua potong saja. Lalu ikan goreng itu, diserahkannya di bagian yang dekat denganku. “Yuk, tak bantuin.” Katanya akhirnya. Aku bengong.

Sejak kapan dia punya inisiatif begini?

“Ayuk, keburu ntar dimarahi senior. Cepat habiskan.” Nada eprintahnya pelan, tapi tak bisa kubantah. Perlahan kumakan juga bagianku yang sedikit itu. Lalu ikannya kucuil sedikit, sisanya kuberikan pula padanya, tanpa kata.

“Ciee, romantisnya….” Tiba-tba terdengar suara tak jauh dari tempat kami makan. Ucup! Mukaku merah padam. Untung bagian nasiku sudah habis, tinggal punya pukan yang masih beberap asuap lagi.

“Suapi sekalian dong, ah.” Katanya menambahkan. Pukan hanya tersenyum melihatnya.  Aku melirik mau-malu.

“Terima kasih, membuatku tidak kena hukuman kali ini.” Kalimat itu hanya bergaung dalam hati, mengiringi langkahnya yang pergi beberapa saat kemudian.
***

Maafkan aku telah mencintaimu, dan maafkan aku pernah menyakitimu. Pertemuan itu ad akerena telah terencana sempurna.

Penggalan surat itu kembali kubaca pelan. Namun berkali-kali sudah kubaca, tak juga kupahami artinya. Sementara massa-masa kami akan sering bertemu, bercanda bersama, akan segera menjadi prasasti tanpa rupa. Lalu untuk apa ia tulis kalimat itu tanpa janji atau pinta?

Apakah itu sekedar ungkapan rasa? Tapi untuk apa?

Sampai bertahun kemudian, baru kusadari bahwa hadirnya begitu berarti. Sikapnya banyak memberi arti, mengajari arti dewasa dan bijak menyikapi setiap tantangan yang harus kuhadapi. Pukan, menjadi prasasti tapa rupa yang kemudian harus pergi.

Iya, sosoknya telah pergi dari angan dan bayang semu tentang sosok lelaki dalam hidupku. Dia sudah sibuk dengan dunianya sendiri, begitu juga denganku. Bertahun berlalu, aku tak pernah bisa mengerti betapa lemot pemahamanku saat itu. Apa jadinya jika kukatakan bahwa aku juga mencintainya? Ah, bukankah kita tak boleh berandai-andai agar tak tercipta luka? Saat itu, kami masih sama-sama sangat belia. Jauh dari rasa dewasa apalagi bijaksana menyikapi rasa.

Sekarang?

Kami sama-sama insaf diri. Kejadian itu sudah sangat lama berlalu. Mungkin memang ada rasa yang pernah tercipta. Namun ia telah menjadi bagian dari masa yang tak akan kembali selamanya. Lalu soal masa depan? Pun kami tak bisa berspekulasi terlalu dini. Biarlah waktu menunjukkan jati diri, tentang siapa yang harus kami cintai nanti.

Bagi seorang wanita, cinta adalah sosok pertama yang menyentuhnya.

Entah dari mana kalimat itu pertam akali kudengar, namun kupikir benar. Rasa yang tercipta tanpa adanya sentuhan dan kepastian ikatan, tak berarti apa-apa bagi seorang wanita. Itulah kenapa rasionya, lebih banyak wanita setia ketimbang laki-laki yang mudah mengobral rasa. Atau ini jug ahanya spekulasiku saja?

Entahlah. Satu hal yang pasti, tak ingin kubebani diri dengan rasa yang belum pasti. Biarkan cinta dalam diri ini menjadi sejati hanya untuk pasangan yang halal, sehingga masa depan kami tak dihantui oleh makhluk aneh tak kasat mata.


Lalu biarkan kami menyebut cinta sejati itu sebagai yang pertama, untuk selamanya.

#OneDayOnePost
#TantanganFiksi
#FirstLove

1 comments:

Wiwid Nurwidayati said...

Pukan?

Post a Comment

Popular Posts

Blogger templates

Blogroll

About

Search This Blog

Powered by Blogger.
 

Designed by: Compartidísimo
Images by: DeliciousScraps©