“Gimana mau
jadi menantunya orang jawa kalau kamu ngga bisa membedakan kunyit sama lengkuas.” Ejeknya. Aku tersenyum getir. Bagaimana mungkn
aku bisa tahu bumbu, sementara dua puluh tahun usiaku menghirup udara dunia,
tidak sekalipun mama mengizinkanku melakukan riset di dapur.
“Jangan, Ren. Biar
mama masak sndiri aja. Dapur ini jadi sempit
kalau buat berdua.” Begitu kata mama setiap kali aku mencoba membantunya. Akhirnya
aku beringsut ke kamar, menghabiskan waktu untuk membaca buku atau nonton film
streaming. Jauh lebih menyenangkan, bukan?
Sekarang, mana
mungkin aku terus-terusan “cupu” urusan dapur? Bisa-bisa ibunya Ilham tidak
menerimaku menjadi menantu! Ini bahaya. Kata Ilham, ibunya tipkal orang yang
keras dan teguh pendirian. Kalau sudah memutuskan sesuatu, tidak bisa diganggu
gugat leh siapapun. Apalagi urusan memilih menantu?
“Ibuku paling
suka sama gadis yang pandai memasak, Ren.” Begitu Ilham bilang tempo hari. Rumit!
Sungguh, urusan ini kenapa jadi rumit
sekali? Setelah lulus S1 jurusan sastra Indonesia, aku memilih menjadi wartawan
lepas salah satu media. Tentu saja, kesibukanku hampir tak mengenal waktu. Selama
ini aku lebih sibuk merayapi jalanan, mengamati peristiwa demi peristiwa, lalu
merangkainya menjadi baris-baris kata. Berlembar-lembar naskah itulah yang
akhirnya kugunakan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, termasuk makan. Aku tak
punya waktu dan memang tidak begitu tertarik dengan dunia dapur. Ah, apakah
perempuan harus selalu pandai memasak?
0 comments:
Post a Comment