“Pean ngga
pengen ketemu aku, ya?” Pertanyaan itu akhirnya meluncur juga, meski hanya
lewat udara. Ya, kami tidak benar-benar berjumpa. Hanya akun sosial media yang
aktif menunjukkan dia sedang dimana dan bagaimana.
Beberapa waktu, aku menunggu.
Tentu saja, menunggu jawaban dari pertanyaan itu. Sekian kali kubuka-tutup
aplikasi yang sudah kupercaya mengirimkan satu tanya. Namun hanya warna biru
menunjukkan ia sudah dibaca. Selebihnya? Tak ada jawaban yang kunanti sekian
lama.
Tiba-tiba aku
ingin tertawa. Ya, tertawa!
Ha ha ha ha ha
Sudah.
Lucu? Engga. Gemuruh dalam dada inilah jawabannya.
Rasa berkecamuk dalam hati menuntunku untuk menertawakan peristiwa yang janggal
di mata: pesan yang terbaca namun tak terbalas, padahal jelas pesan itu berisi
tanya yang membutuhkan jawaban segera.
Empat jam berlalu dari waktuku
menunggu. Nihil. Ah sudahlah. Terbukti sudah bahwa ia tak berkenan memberi
jawaban sekarang. Biarlah pergi sejauh yang dia bisa. Aku tak akan pernah
mengejarnya. Meski hatiku pernah merasa rindu tak terkira. Tapi untuk apa?
Sungguh, aku tak ingin menyiram luka dengan air garam yang menebas perih tak
terkira.
Padahal aku
berharap dia menjawab, “Kalau kau butuh aku, pasti aku datang.” Sahabat yang
baik harusnya begitu, kan? Bukan diam membayang kelam. Bukan acuh tak
tersentuh.
\
3 comments:
Hish... dicuekin...
Gak enak rasanya. Huhu
Koreksi diri kenapa dicuekin hhhh
Sakit, tapi tak berdarah huhuhu
Post a Comment