Entah apa yang
sedang terjadi di rumah ini. Aku tak benar-benar mengerti. Salahkah rumah yang
menjadi sebaik-baik tempat singgah, atau memang penghuninya yang mulai tidak
betah? Kalau tidak betah, apa sebabnya?
Aku sudah mencoba
bertanya, kenapa? Tapi jawabannya begitu datar: tidak apa-apa. Ah, bukankah
ketika wanita mengatakan tidak apa-apa, seringkali berarti sebaliknya? Aku ingin
bertanya lebih jauh, tapi kupikir, kalau seseorang sudah menutup pintu tanya,
pantaskah terus bertanya? Tentu saja tidak.
Maka untuk
kalian yang memilih pergi, aku tak ingin menahan hadirmu disini. Kubiarkan
kalian pergi, menuruti kata hati. Aku tak berhak bertanya lagi, bukan? Tak ada
pintu tanya yang terbuka. Jadi sebaiknya aku tersenyum, berharap kalian
baik-baik saja. Silakan pergi, turuti
kata hati. Suatu saat jika kau ingin kembali, pintu rumah selalu terbuka, pun
kalau kau tak bis amasuk sendiri, masih ada para penjaga yang setia menanti.
Rumah ini ada
karena kita terus bersama. Sekarang, apa artinya jika sebagian tak tinggal di
sana? Tentu saja, suasana tak akan lagi sama. ceria kita berbeda. Canda tawa
berkurang begitu saja. Ada yang hilang, menyisakan ruang kosong dalam jeda yang
panjang. Tanya yang menggantung di langit peristiwa, seolah sia-sia.
Apa yang
sebenarnya sedang kalian cari? Kepuasan hati? Atau rumah lain dalam sebuah
janji? Ah, semoga jika ada janji yang harus ditepati, engkau segera tahu harus
kembali, ke rumah ini. Aku tak ingin menahan kalian, tapi tak bisa menafikan
sedih di hati. Kata pergi, selalu berhasil menyisakan luka tak terperi. Jujur,
aku ingin kalian segera kembali.
Kepergian yang
tiba-tiba, tanpa rencana dan penjelasan yang penuh logika, adalah seperti
kepergian hujan di bulan desember. Hampir saja peristiwa itu kuanggap mustahil.
Mengingat bahwa Desember adalah teman hujan yang paling setia, paling nerima. Kapanpun hujan turun, Desember
selalu menyambut sepenuh hati. Sepenuh cinta, tanpa syarat yang harus dipenuhi.
Hujan, ya hujan saja. Seolah ia turun selalu dengan sepenuh bahagia. Tak peduli
genangan air setelahnya. Tak peduli bah menggulung apa saja yang dilaluinya.
Hujan dan desember, tak terpisah.
Lalu jika
tiba-tiba hujan memilih pergi, kau tahu apa yang terjadi pada Desember? Ia
dilanda sepi. Sendiri. seperti kehilangan separuh hati. Bukankah ini
menyedihkan sekali?
0 comments:
Post a Comment