Monday, 30 April 2018

Buat Engkau yang Memilih Pergi

| |


Entah apa yang sedang terjadi di rumah ini. Aku tak benar-benar mengerti. Salahkah rumah yang menjadi sebaik-baik tempat singgah, atau memang penghuninya yang mulai tidak betah? Kalau tidak betah, apa sebabnya?

Aku sudah mencoba bertanya, kenapa? Tapi jawabannya begitu datar: tidak apa-apa. Ah, bukankah ketika wanita mengatakan tidak apa-apa, seringkali berarti sebaliknya? Aku ingin bertanya lebih jauh, tapi kupikir, kalau seseorang sudah menutup pintu tanya, pantaskah terus bertanya? Tentu saja tidak.

Maka untuk kalian yang memilih pergi, aku tak ingin menahan hadirmu disini. Kubiarkan kalian pergi, menuruti kata hati. Aku tak berhak bertanya lagi, bukan? Tak ada pintu tanya yang terbuka. Jadi sebaiknya aku tersenyum, berharap kalian baik-baik saja.  Silakan pergi, turuti kata hati. Suatu saat jika kau ingin kembali, pintu rumah selalu terbuka, pun kalau kau tak bis amasuk sendiri, masih ada para penjaga yang setia menanti.

Rumah ini ada karena kita terus bersama. Sekarang, apa artinya jika sebagian tak tinggal di sana? Tentu saja, suasana tak akan lagi sama. ceria kita berbeda. Canda tawa berkurang begitu saja. Ada yang hilang, menyisakan ruang kosong dalam jeda yang panjang. Tanya yang menggantung di langit peristiwa, seolah sia-sia.

Apa yang sebenarnya sedang kalian cari? Kepuasan hati? Atau rumah lain dalam sebuah janji? Ah, semoga jika ada janji yang harus ditepati, engkau segera tahu harus kembali, ke rumah ini. Aku tak ingin menahan kalian, tapi tak bisa menafikan sedih di hati. Kata pergi, selalu berhasil menyisakan luka tak terperi. Jujur, aku ingin kalian segera kembali.

Kepergian yang tiba-tiba, tanpa rencana dan penjelasan yang penuh logika, adalah seperti kepergian hujan di bulan desember. Hampir saja peristiwa itu kuanggap mustahil. Mengingat bahwa Desember adalah teman hujan yang paling setia, paling nerima. Kapanpun hujan turun, Desember selalu menyambut sepenuh hati. Sepenuh cinta, tanpa syarat yang harus dipenuhi. Hujan, ya hujan saja. Seolah ia turun selalu dengan sepenuh bahagia. Tak peduli genangan air setelahnya. Tak peduli bah menggulung apa saja yang dilaluinya. Hujan dan desember, tak terpisah.


Lalu jika tiba-tiba hujan memilih pergi, kau tahu apa yang terjadi pada Desember? Ia dilanda sepi. Sendiri. seperti kehilangan separuh hati. Bukankah ini menyedihkan sekali?


0 comments:

Post a Comment

Popular Posts

Blogger templates

Blogroll

About

Search This Blog

Powered by Blogger.
 

Designed by: Compartidísimo
Images by: DeliciousScraps©