Seringkali kita,
atau saya saja, mengeluh ketika dipaksa melakukan sesuatu. Sedang enak tidur
misalnya, dibangunkan dan dipaksa untuk segera mandi, membantu orang tua.
Sedang sibuk dengan pekerjaan, dipaksa membantu hal lain yang tidak ada
hubungannya dengan pekerjaan. Sedang dalam perjalanan, dipaksa untuk berdiri
karena kursi penuh atau ada orag lain yang lebih prioritas mendapat tempat
duduk. Tidak enak, ya?
Dipaksa memang
tidak enak. Terutama saat awal pemaksaan itu terjadi. Rasanya berat sekali
menjalani sesuatu yang tidak sesuai dengan keinginan hati. Apalagi bagi orang
yang moody, saya contohnya. Ah, ingin
sekali rasanya menolak untuk melakukan hal itu. Tapi saat dipikir lagi, ya
memang harus diselesaikan. Sesuatu itu harus dilakukan, tidak bisa tidak, jika
ada tujuan yang jelas ingin dicapai.
Seperti saat
ini, dipaksa menulis. Rasanya berat sekali. Mau menulis apa bingung,
mengetikkan kata pertama seperti mencari jarum di tumpukan jerami, sulit
sekali. Tapi menyadari akibat jika tidak menulis hari ini, hati ciut kembali.
Tidak mau menulis berarti mengorbankan sebulan dalam kelas fiksi berlalu
sia-sia. Ups, mungkin tidak benar-benar sia-sia. Masih banyak ilmu yang sudah
terlanjur didapat di kelas ini. Tapi sungguh, jika tidak berhasil menulis hari
ini dan memenuhi target minimal posting, tidak bisa lanjut dan ikut project
antologi. Ngeri, kan?
Ya, setidaknya
bagi saya. Padahal ini kesempatan langka, menggorskan tinta bersama teman-teman
dari ODOP 5. Kalau tidak sekarang, kapan lagi? bisa jadi virus malas kian
menjadi. Jadi sebaiknya, lakukan saja meski terpaksa. Ingat akibat jika tidak
bisa mendapat tiket lanjut di kelas ini: kick
out!
Oke, jadi saya
harus bersyukur kali ini. Dipaksa berarti saya berkarya. Melakukan sesuatu yang
baik dengan dipaksa masih lebih baik dibanding melakukan hal buruk meski tidak
terpaksa, bukan? Ah, iya sajalah. Biar cepat urusannya. Ingat, dapat tiket
lanjut kelas = buat antologi lagi. jadi, harus semangat!
Bersyukur,
membuat hati merasa lebih ridha melakukan setiap hal meski awalnya terpaksa.
Tentu ini berakibat baik pula bagi hasilnya. Bukankah sesuatu yag dikerjakan
dalam keadaan tenang dan tidak kemerungsung
itu lebih baik dan indah? Bersykur juga bisa membuat keadaan terasa lebih
baik. Meskipun mungkin lelah, karena melakukan hal diluar ekspektasi itu
menyita lebih banyak tenaga. Tapi tak mengapa. Anggap saja olahraga, ya?
1 comments:
Bener banget mbak syakif, bersyukur bisa mengenal odop, tapi sayang saya ndak bisa ikut ampe waktu kemarin, karena ada Kuliah kerja nyata di pelosok, walhasil di sono gk ada sinyal, tapi aku udh izin ke mba hanum dkk, katanya nnti suruh ikut odop6 aja. Mbak nanti silakan main dan berkunjung ke gubuk maya ku kalau mbak berkenan dan ndak sibuk heheh di www.kangsanikradu.blogspot.com
Post a Comment