Masih jam 10
pagi. Aku menikmati lembar demi lembar buku berjudul “Why I Became a Muslim”
karya Ian Nisbet, seorang muallaf dari Inggris yang memilih memeluk Islam
setelah perjalanan panjangnya mencari keyakinan dan ideologi yang paling logis.
Dulu, ia adalah remaja yang egosentris, menyukai music rap dan hip hop yang
banyak meyuarakan ketidakadilan sosial dan cenderung rasis. Namun hidupnya
terasa hampa, sementara keluarga dan para pendeta yang ditemuinya tak mampu memberi
penjelasan yang memuaskan logikanya dari banyak pertanyaan yang timbul tentang
agama. Buku ini bukan sekedar perjalanan spiritual penulisnya, tapi juga sebuah
proses penerimaan dan pelaksanaan ideologi yang diabadikan. Bahasanya agak
berat, membahas berbagai ideologi dan begitu banyak pertanyaan tantang politik,
kepentingan sosial, juga keyakinan dan perdebatan yang tak berujung di kalangan
pemeluk agama asalnya. Sampai ia menemukan islam, mendalaminya, kemudian
meyakininya sebagai agama paripurna. Sungguh, buku ini membawaku pada
perjalanan hidup penulisnya.
Naskah buku ini,
pertama kali ditulis oleh Ian Nisbet di penjara Mesir saat menjadi Tapol
(Tahanan Politik), dalam bentuk surat yang ditujukan kepada anak semata
wayangnya. Agar anaknya yang saat itu masih kecil, kelak tahu bahwa sang ayah
memeluk islam setelah perjalanan panjang dan bukan tanpa alasan yang kuat. Ayahnya
memeluk islam dengan penuh kesadaran, dan rela mati demi agama yang dicintainya
itu. Ia takt ahu kapan akan bebas dari penjara, entah masih punya kesempatan bertemu
lagi atau tidak dengan anaknya. Maka surat itulah satu-satunya perantara dengan
sang anak, sebagai warisan pengetahuan dan ideologi yang sungguh, layak
diabadikan.
Belum sampai
pada halaman akhir buku ini, aku tak begitu menyadari ayah yang masuk kamar dan
duduk di belakangku. “Lagi nulis, atau baca apa?” Sapanya membuatku sedikit
kaget. “Eh, Cuma buku.” Karena ngga tanya buku apa atau dari siapa, kuteruskan
saja membaca. Beberapa detik kemudian baru kusadari, kalau ayah sampai masuk
kamar dan duduk, pasti ada sesuatu yang ingin beliau bicarakan denganku. “Ada
apa, yah?” Tanyaku sambil memutar tubuh.
“Carikan ayah
tiket. Bisa?” Aku mengernyitkan dahi. Rupanya sudah tiba waktu ayah harus
benar-benar melakukan perjalanan panjang lagi. “Jadi? Sekarang?” Tanyaku
meyakinkan. Aku sudah biasa ditinggal ayah pergi jauh, lama, entah ke luar kota
atau keluar pulau, bahkan ke luar negeri, sejak kecil. Jadi moment seperti ini,
tak lagi membuatku ingin menangis. Hehe, kan sudah gede? Ah, baginya aku selalu
anak kecil kok.
“Iya. Berapa?”
aku mengambil gawai yang tergeletak agak di tengah kasur. “Buat besok?” Tanyaku
sambil membuka aplikasi. Ayah hanya menggumam mengiyakan. “920, 926, 1.114,
pilih mana?” Tanyaku sambil mengutak atik gawai. “Batik air jam berapa?” Aku
mengecek jadwal. “Umm… 15.50, sampai sana malam, transit dulu.”
“Sebentar, ayah
tanya teman dulu.” Kudengar ayah melakukan panggilan dan berdiskusi dengan temannya.
“Coba cek kalau jadwal hari ini?” aku kembali mengubah jadwal, melakukan
pencarian sesuai permintaan. “850, jam 16.20, malah lebih murah ya?” gumamku. Diskusi
mereka terus berlanjut, sampai beberapa detik kemudian, “Oke, ambil yang hari
ini.”
Eh?
Rencana berangkat
hari sabtu berubah cepat. Aku tahu, ayah adalah orang yang selalu siap dengan
perubahan, sikapnya selalu berusaha tenang, segmenting apapun keadaannya. Langkahnya
penuh perhitungan, terutama soal estimasi waktu. Kami masih berdiskusi
menentukan jadwal berangkat sampai beberap amenit kemudian.
“Oke, kiki
antar. Tapi mandi dulu, bentar ya?” Ayah hanya tertawa mengetahui anak gadisnya
belum mandi hingga matahari tinggi begini. Padahal biasanya sudah rapi sejak
pagi. Aku bergegas menyambar handuk dan membasuh diri. Tahu, ayah tak suka
menunggu. Beberapa menit kemudian,aku sudah rapi lengkap dengan kerudung,
mengambil jaket, sementara ayah juga hampir selesai berkemas.
Kami selesai
persiapan bersama. Lalu kucari ibu untuk berpamitan. Rencana awal, kuantar ayah
ke bandara. Khawatir kalau jalanan macet dan terlambat sampai bandara juanda,
pakai motor kan lebih mudah nyelip. Meski awalnya ayah agak meragukanku,
khawatir aku sakit karena puasa begini motoran sendiri nanti pulangnya, kan
lumayan jauh dari bandara ke rumah. Tapi kuyakinkan, aku baik-baik saja.
Di tengah jalan,
rupanya ayah berubah pikiran. “Sampai Tjiwi aja, ya. Nanti ayah ngebis. Kamu biar
ngga kesorean juga sampai rumah.” Aku hanya meggumam. Terserah ayah, deh. Tak aka
nada gunanya berdebat kalau ayah sudah ambil keputusan. Lagipula, kan enak aku
tetap bisa tarawih malam ini.
Otomatis,
rencana bertemu seseorang di Surabaya gagal. Tak masalah, lagipula dia bilang, “Aku
malu ketemu Kifah.” Jadi, baiklah. Mungkin memang belum waktunya, atau ngga
nasibnya ketemu. Hehehe.. begitu mudah
Allah merealisasikan sebuah rencana, maka aku yakin, mudah pula bagi Allah
mengganti satu rencana dengan rencana lain sesuai kehendakNya.
Sepanjang jalan
pulang, setelah mampir membeli pesanan ayah untuk nenek, aku terus menghitung
harapan dan merantai do’a. mumpung puasa, kesempatan safar, semoga do’a demi do’a
diijabahNya. Mau tau do’anya apa saja? Rahasia, ah. Biarlah jadi nyata setiap
yang terbaik dariNya untukku. Untuk kita semua juga. ingat, semua terjadi
karena Allah . Segala sesuatu bisa datang dengan tiba-tiba, bisa juga pergi
dengan tiba-tiba. Kita harus selalu siap sedia.
Sementara kutulis
catatan ini, ayah sedang transit ke penerbangan berikutnya dan adzan isya’
berkumandang. Saatnya tarawih, dan ingat target tilawahku hari ini masih
menanti untuk diselesaikan. Hiks, semoga bisa selesai nanti. Amminn..
#Ramadhan
#Story
0 comments:
Post a Comment