Tak
perlu besar, yang penting cukup untuk menampung keluarga inti dan tamu yang
datang berkunjung. Entah itu saudara, sahabat, atau siapapun yang membutuhkan
bantuan.
Ada kamar utama, dan satu kamar untuk setiap anak. Satu kamar lagi untuk tamu. Ruangan lain bisa menyesuaikan sesuai dengan kemampuan. Soal ruang keluarga dan ruang tamu misalnya, bisa dijadikan satu jika keuangan belum memungkinkan untuk memisahkannya. Dapur dan ruang makan, bisa juga diakali supaya mempermudah akses, keduanya selalu perlu terhubung, bukan? Begitu juga dengan kamar mandi dan tempat mencuci, yang penting ada tempat menjemur yang langsung disiram matahari. Setiap ruangan, kalau bisa memiliki jendela yang cukup besar agar sirkulasi udara berjalan dengan baik.
Ada kamar utama, dan satu kamar untuk setiap anak. Satu kamar lagi untuk tamu. Ruangan lain bisa menyesuaikan sesuai dengan kemampuan. Soal ruang keluarga dan ruang tamu misalnya, bisa dijadikan satu jika keuangan belum memungkinkan untuk memisahkannya. Dapur dan ruang makan, bisa juga diakali supaya mempermudah akses, keduanya selalu perlu terhubung, bukan? Begitu juga dengan kamar mandi dan tempat mencuci, yang penting ada tempat menjemur yang langsung disiram matahari. Setiap ruangan, kalau bisa memiliki jendela yang cukup besar agar sirkulasi udara berjalan dengan baik.
Kupikir,
lebih nyaman tinggal di rumah berdinding tinggi. Kalau rumah nenek di Jombang,
menurut sejarah dibangun oleh arsitek Belanda, sekarang umurnya lebih dari 100
tahun, memang berdinding tebal dan tinggi. Lebarnya setara dua batu bata besar yang
disusun berjajar sepanjang bangunan, luar dan dalam. Tinggi lantai dari tanah
sekitar 1 meter, dari lantai itu sampai menyentuh atap, tinggi dinding sekitar
5 meter. Entah seberapa dalam pondasinya, aku tidak pernah menggali atau
bertanya kepada siapapun. Rumahku kelak, mungkin tak perlu setinggi itu, sekitar
4 meter tinggi dinding dari lantai, cukuplah. Kalau mau lebih, boleh juga.
dinding yang tinggi dapat mendinginkan udara di ruangan, aku suka udara yang
sejuk di rumah. Sebisa mungkin sejuk yang alami, tanpa alat buatan yang bisa
saja menguras energi listrik.
Rumah
sederhana itu tidak perlu berdinding marmer, berlantai kaca, atau berhias lampu
gantung yang menawan. Bukankah kekayaan pemiliknya lebih baik diukur dengan
seberapa bermanfaat sang pemilik dan harta yang dimiliki untuk sesama? Untuk itu,
tidak harus semua perabot yang mengisinya bernilai mahal. Yang penting, setiap
benda yang masuk ke dalam rumah dapat bermanfaat dan berfungsi maksimal. Mulai dari
ruang paling depan hingga paling belakang, akan kupastikan hanya benda yang
punya manfaat boleh menempati. Lebih dari itu, akan kupersilakan mereka memilih
tempat di belahan bumi yang lain.
Buku,
mesin jahit dan alat dapur mingkin akan menjadi alat yang wajib menghuni rumah
kami. Duhai calon suamiku yang kelak menjadi imam di rumah kita, izinkanlah
istrimu kelak tetap menekuni hobinya membaca, berkreasi degan mesin jahit dan melakukan
berbagai eksperimen masakan dengan alat dapur yang tersedia. Jikapun alat yang
dibutuhkannya belum ada, biarkan istrimu ini menabung dari hasil jerih payahnya
sendiri. atau jika kau ingin membantu mengisi rumah dengan apa-apa yang istrimu
butuhkan, aku akan bahagia sekali.
Soal
bentuk dan warna isi rumah, biar nanti kudiskusikan lebih detail dengan suami. Aku
tak ingin memikirkan semuanya sendiri. Belahan jiwa dan pendamping hidup adalah
orang yang paling berhak mengambil separuh dari kehidupanku. Maka bersama dengan
pilihan dan kebijakannya pula, aku ingin kami selalu bahagia apapun yang
terjadi.
Semoga
dia sepakat, rumah itu berdiri agak jauh dari jalan besar. Jika tanah tempat
berdirinya ada di tepi jalan sekalipun, rumah itu akan tetap berdiri dengan
jarak yang memungkinkan beberapa mobil dapat parkir dengan aman di depan rumah.
Itu berarti aku berharap adanya pekarangan yang cukup luas. Ya, karena selain
untuk parkir, pekarangan rumah akan kufungsikan sebagai apotek hidup dan sumber
makanan cadangan.
Apotek
hidup itu akan kuisi dengan berbagai tanaman obat, mulai dari umbi-umbian yang “pasaran”
seperti kunyit, jahe, kencur, daun jeruk, serai, sampai daun sirih, binahong,
lengkuas, kunyit putih, temu lawak, jeruk lemon, juga daun ungu. Sedangkan untuk
sumber makanan cadangan akan kuisi dengan tanaman cabai, tomat, buah
kelengkeng, mangga, pisang, srikaya, sirsak, buah tin, dan kalau ada lahan yang
cukup luas bisa kutanami dengan pohon matoa. Oh ya, aku juga ingin menanam
bunga melati dan mawar agar menjadi pemanis diantara berbagai tanaman.
Entah
berapa ratus atau ribu persegi tanah yang akan kami butuhkan untuk semua itu. Bukankah
ini masih mimpi? Biarkan saja mimpiku berkelana dulu. Menjelajahi setiap
jengkal dalam kepala, lalu menuangkannya dalam tulisan. Biarkan mimpi ini
mengendap, lalu menguar liar, hingga menemani setiap langkah dan angan yang
melayang, dan suatu saat menjadi kenyataan.
Rumah
impian ini bisa jadi mahal, jika kita mengukurnya dari ketidakberdayaan untuk
mewujudkan. Tapi bisa jadi murah sekali, jika kita optimis menjadikannya pasti.
Duhai seseorang yang menjadi suami dan pemimpinku nanti, izinkan mimpi ini
tidak menjadi milikku sendiri. Karena aku tak pernah suka hidup sendiri selama
ini, karena kita harus mewjudkannya bersama suatu hari nanti.
15 comments:
Assalamualaikum
Mantap 😍
aamiin semoga terwujud mimpinya..
Semangat mba...
Semangat mba...
Setiap orang punya mimpi. Semoga mimpi mbak segera terwujud. Aamiin
Waaah... Sudah banyak sekali planning rumah impiannya. Semoga yang baik-baik segera terwujud Kak. Aamiin
Aku yang tak punya mimpi ini, sangat iri melihat mimpi yang begitu indah.
Semangaaat meraih impian kak:)
Never underestimate the power of the dream. Mimpi itu punya kekuatannya, saya percaya itu. Saya suka postingan ini. Top! Terima kasih sudah berbagi dan sudah mengingatkan saya pentingnya bermimpi dan terus menjaga mimpi ini.
Semangattt
amin, semoga lekas tercapai ya. bagus cara menangkan mimpinya dalam tulisan.
Semangat kak, semoga mimpinya segera terwujud. Aamiin
Semoga mimpinya lekas terwujud mba,
Amiin
Syemangaaat...next cerita ditunggu yaa ;)
Post a Comment