Ku letakkan sapu dan
kembali ke kamar, selama perjalanan terasa jantung berdegup lebih kencang.
Semakin kencang dan tubuh semakin lemas. Kubaringkan diri di kamar. Adik yang
kebetulan lewat kupanggil agar mengabarkan umi yang sedang di dapur bahwa aku
tak enak badan.
Umi segera datang, menanyakan kondisiku. Dalam rasa lemas tak mampu lagi aku menjawab, hanya kupandang matanya, mengisyaratkan bahwa aku baik-baik saja. Terlihat raut cemas diwajahnya. Beliau raba keningku, tangan, kaki, semuanya dingin. Aku pucat, pasti. Kuraih tangannya dan kuletakkan diatas dada. Agar beliau tahu apa yang kurasa. Dadaku berdegurp kencang seolah tak terkendali. Terlihat aneh karena degup jantung itu mampu menggerakkan tubuhku jauh lebih cepat dari degup jantung normal.
Ah, bagaimana aku harus bercerita? Kau tahu, gelombang elektromagnetik yang ada di buku fisika? Dug dug- dug-dug-dug dug-.... begitu bunyinya, dengan tinggi gelombang yang mungkin 2 atau 3 kali lebih tinggi dari biasanya. Seperi ombak yang menari riang. Aliran darah melambat, seolah enggan berputar lebih cepat. Otomatis aliran oksigen ke otak semakin berkurang, otomatis menurunkan konsentrasi dan kesadaran.
Rasanya tangan dan kaki semakin dingin, umi mengambil selimut dan menutupkannya ditubuhku, menambah dengan bantal dacron diatasnya. Tubuhku sudah semakin sulit bergerak, tak ada tenaga. Mata hanya terpejam dan sesaat kemudian, tak tahu apa yang harus kulakukan. Mungkinkah malaikat maut sudah dalam perjalanan untuk menjemputku? Batinku berbisik lirih.
Oh Allah, rasanya aku tak kuat lagi. Tak ada yang harus kupertahankan disini. Tubuh ini, nyawa ini, juga semua yang ada dikamar ini tak pernah benar-benar kumiliki. Ayah dan ibu yang kusayangi adik yang kubanggakan, dan nenek yang banak mengajari, semua bukan milikku, tapi milikMu. Tak ada yang harus kupertahankan disini...
Jika engkau berkenan mengambilku kali ini, aku tak akan melawan, karena tak ada hakku untuk itu. Jika engkau berkenan, hanya satu pintaku... izinkan aku menghadapMu dengan penuh cinta, harapan akan ridhaMu yang jauh lebih sempurna dari dunia dan isinya. Semua dosa yang pernah kuperbuat, mungkin akan cukup membawaku ke neraka. Tapi apagunanya sekarang, tak ada lagi waktu untuk menghapus catatan kelam. Aku pasrah....
Tapi kenapa sosok asing itu tak kunjung datang? Walau samar terdengar, aku masih berada di alam sadar.
Kukumpulkan tenaga untuk membuka mata. Kulihat ayah, ibu, nenek, adik, semakin cemas. Aku berusaha tersenyum, semua kan baik-baik saja. Kuambil HP untuk sekedar mengabarkan kepada kepala sekolah bahwa aku tak bisa masuk hari ini. Tanpa banyak penjelasan. Syukurlah, beliau mengizinkan. Meski aku tak peduli diizinkan atau tidak, jelas hari itu tak akan bisa berangkat.
Sudah beberapa kali seperti ini. Tak lama lagi pasti rasa mual yang menghampiri, lalu semua isi perut memaksa untuk keluar beberapa kali. Hingga lambung benar-benar kosong. Kemudian umi datang membawa air rebusan kacang hijau dicampur gula, air putih, dan makanan yang kira-kira bisa kuterima. Begitu juga kali ini. Semua kan baik-baik saja dan berjalan seperti seharusnya. Durasi serangan itu berkisar antara 6-8 jam, setelah itu semua kembali normal. Detak jantung tak lagi melompat riang, darah mengalir deras hingga ke otak, semua tampak lebih jelas kupandang. Seperti tak ada apa-apa sebelumnya.
Kupejamkan mata kembali, mencoba berserah lagi. Aku tak ingin memaksakan diri. Biarlah terjadi apa yang seharusnya terjadi. Saat itu dan setelahnya, tak pernah sanggup kutuliskan pengalaman ini. Rasanya seperti akan terulang lagi. Dan sejujurnya aku belum siap untuk mati, di usia ini. Belum sempurna agamaku, belum cukup bekalku, belum banyak manfaat hidupku, dan belum lagi urusan dosa... ah aku malu jika mengingatnya.
Beberapa kali serangan itu menghampiri, kadang dua minggu sekali, kadang berselang beberapa bulan. Maka setiap kali terjadi ayah ingin membawaku ke dokter. Memeriksa kondisiku, tentu saja. Ayah mana yang siap kehilangan putri tunggalnya tanpa usaha mempertahankan jika masih bisa? Tapi aku selalu menolak. Pertama memang karena aku tak suka minum obat. Tak suka melihat alat di rumah sakit, apalagi membayangkan semua itu menempel ditubuhku. Bukan sembuh mungkin yang kudapat. Ini bukan sakit fisik, renungku suatu hari.
Hanya sekali ayah berhasil memaksaku berangkat ke klinik dekat rumah saat serangan seperti itu terjadi. Karena tanpa rencana, serangan itu datang saat aku dirumah tetangga. Untungnya itu masih saudara, jadilah aku merepotkan banyak orang. Setelah kondisiku agak stabil (selesai keluar semua isi perut dan detak jantung tak lagi melompat-lompat) ayah memaksaku langsung ke klinik sebelum pulang. Tekanan darahku dibawah 90, bu bidan yang sedang berjaga hanya memberiku vitamin dan tablet tambah darah. Nah jika dalam kondisi yang sudah “hampir” stabil begitu tekanan darahku sangat rendah, apalah yang sebenarnya terjadi saat aku “colaps” sebelumnya? Kenapa tubuhku seolah ditempa hantaman keras dan tak berdaya melawan tiba-tiba?
Makanan, tak ada yang salah. Apa yang kumakan juga orang lain makan. Olahraga, pasti bukan penyebabnya. Aku masih meluangkan waktu beberapa menit seminggu untuk meregangkan tubuh dan berusaha menjaga agar semuanya tetap seimbang. Mungkin beban pikiran, kalau ini banyak sekali yang diluar kendali.
Hari dan bulan terus berganti, hingga tiga tahun aku bertahan untuk mengabdi. Sampai satu pertanyaan yang selalu mengusik hati, haruskah aku terus bertahan disini atau menjauh dari semua ini? Serangan itu kadang datang kembali, terutama saat kondisi emosi dan tubuh tidak stabil. Menjadi guru, sejujurnya bukan bagian dari cita-cita meskipun aku menikmatinya. Latar belakang pendidikan sebelumnya tidak ada hubungan sama sekali dengan pengabdian ini. Jika aku terus bertahan, mungkin sebaiknya aku mengambil studi bidang pendidikan agar sejalan dengan apa yang kubutuhkan. Namun jika kutinggalkan, aku bisa kembali ke barisan para pejuang ekonomi islam.
Aku semakin takut, jika terus bertahan serangan itu akan datang lagi dan lagi. Pasti akhirnya, mau tak mau harus ke rumah sakit. Berhadapan dengan alat rekam jantung, minimal. Rasanya, lebih baik aku tak tau semua itu.
Dan, disinilah aku sekarang. Memilih untuk meninggalkan pengabdian. Bukan karena tak sayang pada pendidikan. Tapi memilih untuk meningkatkan kapasitas dan kemampuan. Tentang rasa sakit itu, alhamdulillah selama pindah ke tanah kelahiran belum sekalipun serangan itu menghampiri. Dan semoga, tidak lagi.
Meski aku tau konsekwensinya, harus pandai menjaga diri, pola makan, olah raga, dan pasti.. emosi.
Hmm... maaf jika terlalu panjang. Inilah cerita tentang pengalamanku...
#ODOP
#Pengalaman
0 comments:
Post a Comment