Selesai semua tanggugjawab hari ini.
Saatnya santai. Buka hp, on-kan mobile data. Selancar di dumay sambil nunggu
chat masuk. Tumben FB-ku sepi. Coba cek siapa yang online ah...
Wow, ada kakak kelas yang tempo hari
ngobrol. Setelah lama tak bersua, beberapa kali sudah kembali menyapa.
sebaiknya hari ini kusapa dulu kali ya... salam, sent.
Kembali ku telusuri chatroom dari
aplikasi yang lain. Membaca banyak pesan yang tertunda karena seharian tadi
kumatikan datanya. Tak lama...
Ping.
“Dek, aku baru tahu. Riwayat
kesehatanku turun. Bahkan buruk sekali”.
“Ada apa mas?”. Aku yang tadinya
hanya ingin bercanda menyapanya, kini mengernyitkan dahi. Menatap serius layar
kotak di depan mataku. Tak lama angka 1 warna merah kembali menyala.
“Tadi siang aku ke dr.Farid, beliau
dokter yang merawat bapak dan kakaku sebelum meninggal akibat gagal ginjal”. Ia
menambahkan emoticon sedih di belakang kalimatnya. Sementara disini aku masih
belum mengerti arah pembicaraan ini.
“Terus?” ku ketikkan kata itu
setelah beberapa detik menunggu tulisannya tak muncul lagi.
...
Hening.
“Dr, Farid menjatuhkan vonis gagal
ginjal padaku, stadium empat. Rasanya dunia ini sudah runtuh menimpaku. Kau
tahu, rasa sakit di pinggang ini sudah kurasakan sejak enam tahun yang lalu.
Namun selama ini kukira itu sakit pinggang biasa. Makanya tak pernah sekalipun periksa.
Tapi karena sejak kemarin terasa semakin menyiksa, kuberanikan diri ke rumah
sakit menemuinya”.
Aku tertegun, tak tahu harus
membalas apa.
“Dek, dr.Farid bilang minggu depan
aku harus mulai cuci darah. Dengan kondisi satu ginjal yang sudah tidak
berfungsi normal, aku harus cuci darah seminggu sekali. Itu mungkin akan
membuatku bertahan sekitar enam bulan lagi. Atau jika tanpa cuci darah, umurku
hanya bertahan sekitar 2-3 bulan lagi paling lama”.
Aku masih tak bisa menjawab apapun.
Jantungku berdetak semakn kencang. Bergemuruh.
“Dek, masih ingat soal Hasna kan?
Betapa lucunya ia sekarang. Kau tahu, aku masih ingin melihatnya tumbuh dewasa,
menjadi wanita shalihah yang kubanggakan. Aku masih ingin bersamanya dek,
mendampinginya menapaki usia. Tapi kenapa semua ini menimpaku? Apakah karena
aku terlalu banyak dosa? Apa ini akibat perbuatanku di masa lalu? Aku hancur.
Tanpa orang tua, tanpa saudara. Dan maaf, hanya padamu aku berani bercerita.
Aku tak punya siapa-siapa”.
Hatiku memanas, mencairkan rasa iba
yang sejak tadi bingung harus mengatakan apa. Dia memang bukan siapa siapa.
Hanya kenalan yang lama tak bersua. Beberapa minggu sebelumnya, ia bercerita
tentang istri yang tak lagi bisa menemaninya. Bukan karena tak setia, tapi
entah karena apa. Sang istri memutuskan kembali kepada orang tua dan tak ingin
hidup bersamanya lebih lama. Mungkin karena kondisi keuangan, pundi-pundi
tabungan telah merangggas bersama mahkota dunia yang tak lagi disandangnya. Ah,
lupakan soal istrinya. Kasihan. Diatas surat keputusan cerai, telah terbubuh
tanda tangan. Itu sudah berarti sebuah keputusan.
Dengan menandatangani surat cerai
itu, ia telah mendukung permohonan istrinya untuk melepas ikatan pernikahan, ia
telah putuskan untuk meninggalkan wanita yang dinikahinya empat tahun lalu, ia
telah memutuskan untuk menjadi duda. Tapi kau tahu, perceraian tidak akan
pernah bisa memisahkan hubungan orang tua dengan darah dagingnya. Hasna tetap
anaknya. Gadis cilik yang hampir berusia dua tahun itu permata hatinya. Dan
kini, haruskah ia tinggalkan?
Oh Allah, dulu aku melihatnya
sebagai kakak kelas yang gagah. Bagus perangainya, elok rupanya. Ia idaman
banyak gadis. Sikapnya yang ramah tentu membuat banyak wanita terpesona. Meski
banyak juga yang diam-diam patah hati tanpa sempat mengutarakan isi hati
padanya.
“Dek, kamu tau....Linda kakak teman
seangkatanmu itu, dia cinta pertamaku” lain waktu dia bercerita tentang
kenangan masa SMA
“Ah, pantas... mbak Linda kan cantik,
tinggi, anak orang kaya pula. Kurang apa coba? Hahahha..” aku menimpalinya.
Aku senang bercanda dengannya.
Melupakan sejenak rutinitas yang sering membuat pusing kepala. Ia juga banyak
bercerita, meski ku tanggapi sambil tertawa. Tapi kini, canda itu seolah
terhenti. Bukan salah waktu yang menghentikan keramahannya. Tapi penyakit itu, telah
mengambil keceriaannya dariku. Tak ada lagi sapaan bahagia, tak ada lagi canda
tawa bersama, meski di dunia maya. Oh kakak, seandainya boleh kuambil rasa
sakitmu, ingin sekali segera kubuang kelaut, batinku menggerutu.
Apa yang harus kulakukan? Membiarkannya
pasrah menjemput maut?
Tidak!! Aku tak bisa!!!
Aku ingin dia tetap hidup.
Untuk Hasna anaknya, untuk masa
depannya, juga untuk diriku... yang tak punya sosok kakak sebenarnya. Hatiku
kelu memikirkannya.
Kasihan Hasna, ia tak terbiasa hidup
dengan bundanya. Ia sangat menyayangi ayahnya, tapi apa yang harus dihadapinya?
Kehilangan sosok ayah, baginya akan terasa kehilangan lebih dari separuh dunia.
Hatiku miris membayangkan.
“kak...”
“iya dek...”
Singkat. Senyap. Aku tak tau
bagaimana harus mengatakannya.
“jangan nyerah ya...”
“iya kakak tau...”
“kak...”
“hmm...”
“kasian Hasna... bagaimana masa
depannya jika tanpa ayah? Kakak tau bagaimana bundanya.. aku khawatir bundanya
tak bisa mendidik dan menyayanginya seperti yang sudah kakak lakukan..”
Keluhku menggantung. Tak seharsnya
aku mengganggunya dengan kekhawatiran macam itu. Bagaimana jika sakitnya
kambuh? Ah, bodohnya aku!
“Dek, buat Hasna sudah ku tinggalkan
sedikit tabungan dan sebidang tanah. Memang ngga banyak sih.. tapi semoga
berguna buat dia nanti kalau sudah dewasa. Kakak ngga bisa ninggalin banyak
buat Hasna” kupikir,,,, disana ia sedang menahan air mata saat mengetik.
Ini seperti salam perpisahan.
Alangkah beruntungnya mereka, seperti kakak ini, yang matinya sudah
“terjadwal”. Seolah ia tau kapan akan mennggalkan dunia dan isinya. Lalu
bersiap menghadapinya. Alangkah baik Allah padanya, saat kami yang sehat tak
tahu harus mati kapan, mereka bahkan bisa merencanakan amal apa saja yang bisa
dibawa nantinya.
“Dek, apa nanti disana aku masih
bisa melihatnya tumbuh dewasa, menikah, jatuh cinta...? ah cukuplah aku bisa
mengawasinya. Nanti kalau ada yang salah, mungkin aku bisa minta bantuan
malaikat agar menegurnya” ia berkhayal... seolah sudah sangat siap meninggalkan
semuanya. Padahal nyatanya, ia masih punya banyak waktu sampai beberapa bulan
kedepan. Ngomong apa sih ini kakak? Aku mulai sebal.
“Kak, iya kakak bisa lihat Hasna,
mungkin. Tapi kan Hasna ngga tau kalau ayahnya masih ngawasi? Ia sudah dewasa,
mungkin sudah punya ayah pengganti dari bundanya” aku berseloroh. Tak berfikir
kalau yang di seberang sana mungkin malah nelangsa membaca....
“Lalu apa yang harus kulakukan agar Hasna
tak lupa? Aku ayahnya dek, setidaknya aku masih bisa berharap do’a darinya
kan?”
...
to be continue.... ke Surat Buat Hasna -2
#ODOP
2 comments:
Part 1 uda merembes
Baca ini bikin nyesek. Ingat almarhum Bapakku. Beliau juga pernah mengalami cuci darah. Selang-selang yang dialiri darah. Ruangan hemodialisa. Kenangan itu ...
Hiks.
Post a Comment