Berawal
dari ungkapan kecewa, persahabatan kita merangkai bunga berwarna merah muda.
Kamu,
teman seangkatan di SMA kala itu. Kebetulan sekali, seperti sudah direncanakan
Tuhan, kita tergabung dalam organisasi yang sama. Tampak dimataku dirimu
sebagai sosok yang angkuh dan penuh perhitungan. Hampir setiap kata senior
selalu dikritisi. Di forum biasa tampak istimewa, dengan sejuta tanya dan
ekspresi keras kepala yang tak sebanding dengan usia. Namun saat pelaksanaan
agenda, sering sekali wajahmu menghilang dari pandangan mata. Lalu hatiku
sering bertanya. Kemana dirimu sebenarnya?
Jujur
aku tak suka. Karena posisimu sebagai ketua. Pantaskah tak menampakkan diri
saat agenda terlaksana? Sedangkan aku sebagai bendahara, hampir menjadi tumpuan semua tanggungjawab selama acara.
Kamu kira, aku robot apa?
Huh,
yang ada aku kesal setengah nusantara tercinta. Eh apa hubunganya?
Apalagi
saat evaluasi, kamu tampil seolah menguasai semua khilaf kami. Ah, bijaksana
sekali.
Kekesalan
hatiku tak terhenti. Kutulis surat sebagai media curhat. Kuungkap semua
kegalauan, satu kalimat yang sangat kuingat, bagaimana kamu bisa menjadi
pemimpin yang baik, jika memimpin diri sendiri saja kamu keberatan?
Jelas
sekali aku melihatmu keberatan menanggung amanah sebagai pemimpin. Dan atas
nama semua derita yang kurasa akibat ulahmu, aku kecewa. Karena entah apa kegiatanmu
diluar sana, sepertinya jauh lebih berharga.
Dalam
penantian, aku takut kamu marah atas surat itu. Karena setelah surat itu sampai, beberapa teman menemuiku, menuduhku
sudah memicu kemarahanmu. Ah, rupanya kau biarkan mereka ikut membaca tulisanku.
Mungkin begitulah lelaki menjalin pertemanan. Tapi biarlah, jikapun marah, aku
tak akan bisa mencegah.
Tak
berapa lama, kamu membalas tulisanku. Sama sekali tidak ada nada marah disana. Terjawab
semua keluhanku, alasanmu meninggalkan agenda. Bahkan tantangan untuk
menggantikan posisi sebagai ketua.
Sejak
saat itu aku mulai mencoba mengerti posisi dirimu, prioritas waktu, juga cara
berfikir yang menurutku, berbelit-belit. Sikap dingin yang menjadi ciri
pribadimu, rupanya menarik perhatian teman-teman wanita seangkatan sampai adik
kelas kita.
Ah,
apa seistimewa itu sebenarnya dirimu? Dalam hati aku bicara, biasa saja. Tapi
memang keras kepala dan sikap dinginmu mengundang perhatian, dan itu cukup
menyita pandangan, sehingga suatu hari, aku memintamu tuk jadi sahabatku.
Karena masalah yang tak bisa kutahan sendiri, dan aku butuh teman berbagi.
Sedangkan kulihat pribadimu yang pandai menjaga rahasia.
Dan
kamu terima.
Hemm..
meski tak seorangpun tahu, hatiku berbunga saat itu. Tak peduli pada konsekwensi
yang kita buat: tidak ada istilah pacaran, apalagi ikatan perasaan, hanya murni
sebagai teman.
Hari-hari
berikutnya, sikapmu semakin manis. Bukan kepada mereka para wanita pemuja, tapi
kepadaku. Sering puisimu mengungkap persahabatan kita, kekaguman yang meraja, dan
rasa yang tercipta. Sampai ada yang bilang, kita sedang saling jatuh cinta. Itu
teman-teman yang bilang ya, aku sih santai saja karena bagiku masih biasa.
Wajar kan jika aku istimewa, karena diantara kita, tak ada orang ketiga.
Menjadi
lebih istimewa, karena kamu buat sandi khusus untuk komunikasi kita. Seperti
huruf jepang, hiragana katakana, tapi aku yakin orang jepang tak akan mampu
membaca, apalagi mengerti maksudnya. Rahasia sekali ya? Padahal isinya memang
sangat penting, bahkan lebih penting dari sekedar isi Dekrit Presiden 5 Juli
1959. Maka tak seorangpun teman kita izinkan tahu kuncinya. Romantis, kata
mereka. Untunglah, bukan olokan sinis yang sering kudapat saat teman-teman tahu
tentang kedekatan kita.
Saat
ulang tahunku tiba. Aku tahu kamu tidak akan membiarkanku berkeliaran tanpa
acara. Maka kuputuskan langsung pulang seusai pelajaran. Huh, aku sempat
menyesal membiarkanmu mengikuti langkahku sampai ke kos. Karena disana, kamu
membawa pasukan untuk menyiramku dengan air dan tepung. Kamu pikir aku adonen
kue? Bahkan teman-teman kos mengikuti jejak setelahnya.
Mereka
tidak membiarkanku keluar dari kamar mandi dan menyembunyikan hampir semua
pakaianku dari almari. Jahat sekali ya? Tidak, nyatanya aku cukup bahagia.
Dibalik semua penderitaan dari ulah teman seharian, malamnya aku bisa membuka
semua kado yang mereka berikan. Dan tentu saja, ada kado darimu, yang aku
terima bahkan seminggu sebelumnya, dengan satu syarat, boleh kubuka saat
masanya tiba.
Dari
beberapa teman ku terima berbagai bungkusan, ada kotak pensil beserta isinya,
buku, dompet, mainan dan hiasan. Dan darimu, aku menerima sehelai kaos panjang
warna biru muda. Anggun sekali melihatnya. Tapi sepertinya lebih besar dari
ukuran tubuhku. Haha, kamu bercanda? Tentu saja kamu tak bisa mengira soal
ukuran karena tidak membawaku saat belanja. Tapi tak mengapa, kamu memang tidak
suka aku pakai baju kekecilan. Dan dengan begiitu, artinya baju itu akan
terpakai lama sampai nanti aku dewasa, masih bisa memakainya. Ah, betapa panjang
pemikiranmu kawan.
Masuk
tahun akhir sekolah, ini pertama dan terakhir kalinya kita duduk di kelas yang
sama. Jurusan yang sama, dan tentu, tugas yang sama. Rupanya susasana sangat
mendukung kebersamaan kita, hingga penjelasan para guru dan tugas dari mereka,
tampaknya tidak lebih penting dari cerita yang kita urai dalam sandi yang
saling bertukar sepanjang jam pelajaran. Untung, tidak ketahuan. Ah walaupun
seandainya ketahuan, para dewan guru tentu saja tidak ada yang bisa mengerti
isinya, karena sekali lagi, itu rahasia diantara kita.
Menjelang
perpisahan, ujian akhir harus ditaklukkan. Untuk itu kita sering taruhan. Siapa
yang melampaui batas minimal kelulusan, berhak menerima satu coklat dari yang
kalah. Ah, rupanya keberuntungan berpihak padaku saat itu. Karena jika dihitung
dari try out sampai ujian sekolah, semua ada sekitar sepuluh kali ujian. Dan
aku dapat 8 cokleat batangan. Seminggu penuh aku menanti cokelat sesuai
perjanjian. Tapi seolah kamu mengabaikannya. Apa daya, susah memang punya teman
pelupa. Dan aku bukan rentenir yang suka menagih, jadi kubiarkan saja. Meski
kesal sebenarnya.
Sampai
hari kedelapan aku menanti, aku masih menanti coklat dan perayaan atas perasaan
menang. Namun sampai pulang sekolah, tak ada tanggapan. Maka jangan heran,
perasaan sebal mengurangi keinginan untuk kembali mengirai cerita dalam sandi
seperti biasa. Tapi selesai kegiatan ekstra, kamu memberiku bungkusan kado
berbentuk kotak saat usai kegiatan ekstra. Sepanjang jalan pulang aku
penasaran, mungkin ini cokleat sesuai perjanjian? Tapi tidak, rupanya benda
keras ini lebih berat dari puluhan cokleat. Sampai dirumah, kubuka dan.....
ternyata sebuah buku warna merah muda, “Menjadi Muslimah Paling Bahagia di
Dunia” karya Dr. Aidh Abdullah Al Qorni. Darahku terkesiap. Ini pasti jauh lebih
berharga dari puluhan batang cokelat!.
Dan diakhir
cerita perjalanan kita di SMA, kau beri aku surat dalam bahasa indonesia.
Awalnya biasa saja, kata pengantar dari sebuah pidato dalam rangka perpisahan. Kau
benar, aku harus lebih siap menghadapi perpisahan. Menyedihkan memang, jika
nanti akan hadir hari-hari tanpa balasan sandi, tanpa cerita, tanpa melihat
wajahmu tertawa, tapi aku merasa semua berjalan begitu wajar. Bukankah semua
ini hanya bagian dari sepenggal perjalanan hidup? Sampai pada bagian akhir
surat itu, di paragraf terakhir kamu utarakan rasa, “maafkan aku telah
mencintaimu dan maafkan aku pernah menyakitimu”
Kalimat
itu sarat makna, kurasa. Hingga hampir tak percaya kamu yang menuliskannya.
Tapi untuk apa? Toh setelah SMA, kita harus berpisah untuk meraih cita. Lalu
mungkin saja, di tempat masing-masing nantinya kita bertemu belahan jiwa. Jadi
tak ada gunanya kita buat perjanjian cinta. Semua akan berakhir begitu saja.
Jika kunyatakan cinta disaat yang sama, akankah “jadian” kita berjalan
selamanya? Mungkin, tidak. Dan aku terlalu takut kehilangan, bukankah
persahabatan jauh lebih berharga daripada pacaran yang belum tentu berakhir di
pelaminan?
Selanjutnya
selepas masa SMA aku memilih kuliah dan kamu jadi anggota TNI. Dua profesi baru
yang jauh berbeda. Karena aku menapaki idealisme teori, sedangan kamu disana
harus menyelami idealisme rasa cinta pada negeri. Dua dasar pemikiran yang
sering bertentangan saat berhadapan dengan kepentingan.
Lalu
apa? Teori idealis yang ingin kubagi, kamu jauhi. Bukan hanya teori yang
membuatku semakin tak mengerti. Tapi rasanya kamu sangat jauh dari hati. Kenapa
dan harus bagaimana, adalah dua kalimat tanya yang tak pernah kutemui jawabanya.
Hingga kepada diri sendiri, kutemui asa yang bermuara. Saat kamu jauh disana,
baru kusadari ada rasa yang terlanjur tercipta. Tanpa sedetikpun aku mampu
menafikannya.
Iya,
rasa yang begitu kuat meraja, rindu yang membiru, ingin sekali selalu bertemu
denganmu. Dan tanpa hadirmu, tubuhku serasa ingin membatu, dan hati ini mulai
membeku. Entah apa yang ada di benakmu saat itu, yang pasti aku tak bisa
mengerti dirimu, dan begitu sebaliknya. Mungkin jarak yang jauh dimata, dan
pertemuan yang sangat jarang terlaksana menjauhkan hati kita. Tapi bisa apa?
Aku bukan tuhan yang bisa bertindak semaunya. Ah, biarlah ini jadi bagian dari
perjalanan kita.
Rasa
istimewa yang harus kuakui adanya, mencipta rindu tak terkira. Tidakkah engkau
merasa yang sama?
Sering
anganku bermuara pada sosokmu, membayangkan kita kembali malangkah beriringan.
Mengurai cerita, merangkai mimpi untuk masa depan. Tapi rupanya, semua itu
sebatas bayangan. Karena dalam kesempatan dimana kita dipertemukan, sikap
acuhmu tetap merajai dan menyisakan kecewa yang harus kurasa.
Sampailah
kita pada suatu peristiwa, dimana hatiku tak sanggup lagi menjaga rasa. Bukan,
bukan karena tak lagi cinta. Tapi lihatlah, bagaimana menahan rasa, hingga aku
harus menikam rindu yang hadir disetiap detiknya. Lihatlah, seberapa besar luka
yang tercipta? Saat kau utarakan kata, bahwa aku bukan lagi siapa-siapa. Dan
itu berarti, selama ini tak punya arti apa-apa.
Seandainya
nampak kasat mata, mungkin harusnya hati sudah enggan untuk menyapa. tapi untunglah,
hati ini bukan buatan manusia. Sifat tuhan ada dalam setiap ciptaanNya. Lalu
aku belajar melepaskan setiap asa yang pernah tercipta. Berharap Tuhan berkenan
mengganti dengan yang jauh lebih baik nanti. Ikhlas tanpa syarat, sebagai
titian menuju jalan taubat. Atas segala harap, dan segala bentuk mimpi yang
tercipta begitu saja.
Aku
tahu, kamu belum siap. Untuk menjadi lebih dari sekedar sahabat. Karena itu,
obrolan kita adalah sebatas kepentingan. Dan disini, hatiku juga masih enggan
mengikat janji. Entah dimana, dengan siapa, atau kapan ikatan cinta itu akan
menjadi realita. Saat ini aku hanya ingin menikmati mimpi, yang mungkin saja
bisa lebih indah seiring bertambahnya usia. Sekarang, nanti, dan selamanya,
kamu adalah sahabat terbaik yang pernah singgah dihati.
Kamu,
adalah sahabat terbaikku. Yang selalu bersedia menjadi pendukung setiap
kebaikan, dan pengingat dari kehilafan yang kadang kuperbuat. Yang bersedia
membantuku mewujudkan cita, tanpa ada pamrih disana. Yang menunjukkanku
kebenaran, meski kadang pahit yang harus kutelan. Yang meski tanpa ungkapan
cinta, tapi jelas rasa itu jadi bagian dari perjalanan.
Lalu
apa yang menjadi rencana Tuhan didepan sana, biar tetap menjadi rencanaNya.
Kita hanya hamba yang ingin mengabdi sepenuh hati, lalu berharap yang terbaik
selalu terjadi.
Aku
tak lagi peduli, pada rasa yang kamu simpan sendiri.
Aku
tak lagi peduli, tentang rencana yang tak pernah kau bagi.
Sekarang
siapapun dan dimanapun kamu, yang tersimpan dalam memoriku adalah pribadi
terbaikmu. Meski perpisahan sering kita jelang, namun sesungguhnya tak pernah
sekalipun ikatan persahabatan ini ingin menjauhkan hubungan. Dalam kelemahanku,
kamu selalu hadir menguatkan. Dalam keterbatasanku, kamu selalu bergegas
memperluas jalan. Dalam pertanyaan yang kadang membingungkan, kau hadir dengan
jawaban sederhana dan menyederhanakan keterbatasan. Dan tentang perasaan, aku
hanya berserah pada takdir Tuhan.
Tetaplah
seperti itu, menjaga hatiku dari manisnya rindu. Tetaplah jauh dariku, agar
semakin bermakna saat bertemu. Tetaplah menjadi bayang dalam setiap langkahku,
agar hati ini tetap merasa terharu. Dan pada rembulan di langit senja,
kutitipkan mimpi menjulang ke angkasa. Tentang cerita kita, apapun yang terjadi
didepan sana. Apapun yang akan kauputuskan nantinya, semoga membuat kita selalu
bahagia.
Tak
ada penyesalan yang perlu menyiksa. Tak ada air mata tanpa bahagia. Dan tak ada
cela yang harus kita bagi dalam cerita. Biar, biarlah semua berjalan seperti
kehendak semesta, karena iman yang kita pertahankan, karena misi hidup yang
harus kita selesaikan. Aku mencintaimu karenaNya, karena rasa yang diberikanNya
pada hatiku, ada tertuju padamu. Meski untuk masa depan, jika harus menyelami
pribadi lain dalam pernikahan, aku hanya bisa menyimpanmu dalam kenangan. Tak
secuilpun ingin ku sisakan kebencian, atau prasangka tanpa alasan. Karena
kuyakin kesempurnaan hanya milik tuhan.
#oneDayOnePost
#MenulisSetiapHari
#BahagiaItuBerbagi
#CintaItuMemberi
0 comments:
Post a Comment