Thursday, 3 March 2016

Kamu dan Sepucuk Rindu

| |






Berawal dari ungkapan kecewa, persahabatan kita merangkai bunga berwarna merah muda.
Kamu, teman seangkatan di SMA kala itu. Kebetulan sekali, seperti sudah direncanakan Tuhan, kita tergabung dalam organisasi yang sama. Tampak dimataku dirimu sebagai sosok yang angkuh dan penuh perhitungan. Hampir setiap kata senior selalu dikritisi. Di forum biasa tampak istimewa, dengan sejuta tanya dan ekspresi keras kepala yang tak sebanding dengan usia. Namun saat pelaksanaan agenda, sering sekali wajahmu menghilang dari pandangan mata. Lalu hatiku sering bertanya. Kemana dirimu sebenarnya?

Jujur aku tak suka. Karena posisimu sebagai ketua. Pantaskah tak menampakkan diri saat agenda terlaksana? Sedangkan aku sebagai bendahara, hampir menjadi  tumpuan semua tanggungjawab selama acara. Kamu kira, aku robot apa?
Huh, yang ada aku kesal setengah nusantara tercinta. Eh apa hubunganya?
Apalagi saat evaluasi, kamu tampil seolah menguasai semua khilaf kami. Ah, bijaksana sekali.
Kekesalan hatiku tak terhenti. Kutulis surat sebagai media curhat. Kuungkap semua kegalauan, satu kalimat yang sangat kuingat, bagaimana kamu bisa menjadi pemimpin yang baik, jika memimpin diri sendiri saja kamu keberatan?
Jelas sekali aku melihatmu keberatan menanggung amanah sebagai pemimpin. Dan atas nama semua derita yang kurasa akibat ulahmu, aku kecewa. Karena entah apa kegiatanmu diluar sana, sepertinya jauh lebih berharga.
Dalam penantian, aku takut kamu marah atas surat itu. Karena setelah surat itu  sampai, beberapa teman menemuiku, menuduhku sudah memicu kemarahanmu. Ah, rupanya kau biarkan mereka ikut membaca tulisanku. Mungkin begitulah lelaki menjalin pertemanan. Tapi biarlah, jikapun marah, aku tak akan bisa mencegah.
Tak berapa lama, kamu membalas tulisanku. Sama sekali tidak ada nada marah disana. Terjawab semua keluhanku, alasanmu meninggalkan agenda. Bahkan tantangan untuk menggantikan posisi sebagai ketua.
Sejak saat itu aku mulai mencoba mengerti posisi dirimu, prioritas waktu, juga cara berfikir yang menurutku, berbelit-belit. Sikap dingin yang menjadi ciri pribadimu, rupanya menarik perhatian teman-teman wanita seangkatan sampai adik kelas kita.
Ah, apa seistimewa itu sebenarnya dirimu? Dalam hati aku bicara, biasa saja. Tapi memang keras kepala dan sikap dinginmu mengundang perhatian, dan itu cukup menyita pandangan, sehingga suatu hari, aku memintamu tuk jadi sahabatku. Karena masalah yang tak bisa kutahan sendiri, dan aku butuh teman berbagi. Sedangkan kulihat pribadimu yang pandai menjaga rahasia.
Dan kamu terima.
Hemm.. meski tak seorangpun tahu, hatiku berbunga saat itu. Tak peduli pada konsekwensi yang kita buat: tidak ada istilah pacaran, apalagi ikatan perasaan, hanya murni sebagai teman.
Hari-hari berikutnya, sikapmu semakin manis. Bukan kepada mereka para wanita pemuja, tapi kepadaku. Sering puisimu mengungkap persahabatan kita, kekaguman yang meraja, dan rasa yang tercipta. Sampai ada yang bilang, kita sedang saling jatuh cinta. Itu teman-teman yang bilang ya, aku sih santai saja karena bagiku masih biasa. Wajar kan jika aku istimewa, karena diantara kita, tak ada orang ketiga.
Menjadi lebih istimewa, karena kamu buat sandi khusus untuk komunikasi kita. Seperti huruf jepang, hiragana katakana, tapi aku yakin orang jepang tak akan mampu membaca, apalagi mengerti maksudnya. Rahasia sekali ya? Padahal isinya memang sangat penting, bahkan lebih penting dari sekedar isi Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Maka tak seorangpun teman kita izinkan tahu kuncinya. Romantis, kata mereka. Untunglah, bukan olokan sinis yang sering kudapat saat teman-teman tahu tentang kedekatan kita.
Saat ulang tahunku tiba. Aku tahu kamu tidak akan membiarkanku berkeliaran tanpa acara. Maka kuputuskan langsung pulang seusai pelajaran. Huh, aku sempat menyesal membiarkanmu mengikuti langkahku sampai ke kos. Karena disana, kamu membawa pasukan untuk menyiramku dengan air dan tepung. Kamu pikir aku adonen kue? Bahkan teman-teman kos mengikuti jejak setelahnya.
Mereka tidak membiarkanku keluar dari kamar mandi dan menyembunyikan hampir semua pakaianku dari almari. Jahat sekali ya? Tidak, nyatanya aku cukup bahagia. Dibalik semua penderitaan dari ulah teman seharian, malamnya aku bisa membuka semua kado yang mereka berikan. Dan tentu saja, ada kado darimu, yang aku terima bahkan seminggu sebelumnya, dengan satu syarat, boleh kubuka saat masanya tiba.
Dari beberapa teman ku terima berbagai bungkusan, ada kotak pensil beserta isinya, buku, dompet, mainan dan hiasan. Dan darimu, aku menerima sehelai kaos panjang warna biru muda. Anggun sekali melihatnya. Tapi sepertinya lebih besar dari ukuran tubuhku. Haha, kamu bercanda? Tentu saja kamu tak bisa mengira soal ukuran karena tidak membawaku saat belanja. Tapi tak mengapa, kamu memang tidak suka aku pakai baju kekecilan. Dan dengan begiitu, artinya baju itu akan terpakai lama sampai nanti aku dewasa, masih bisa memakainya. Ah, betapa panjang pemikiranmu kawan.
Masuk tahun akhir sekolah, ini pertama dan terakhir kalinya kita duduk di kelas yang sama. Jurusan yang sama, dan tentu, tugas yang sama. Rupanya susasana sangat mendukung kebersamaan kita, hingga penjelasan para guru dan tugas dari mereka, tampaknya tidak lebih penting dari cerita yang kita urai dalam sandi yang saling bertukar sepanjang jam pelajaran. Untung, tidak ketahuan. Ah walaupun seandainya ketahuan, para dewan guru tentu saja tidak ada yang bisa mengerti isinya, karena sekali lagi, itu rahasia diantara kita.
Menjelang perpisahan, ujian akhir harus ditaklukkan. Untuk itu kita sering taruhan. Siapa yang melampaui batas minimal kelulusan, berhak menerima satu coklat dari yang kalah. Ah, rupanya keberuntungan berpihak padaku saat itu. Karena jika dihitung dari try out sampai ujian sekolah, semua ada sekitar sepuluh kali ujian. Dan aku dapat 8 cokleat batangan. Seminggu penuh aku menanti cokelat sesuai perjanjian. Tapi seolah kamu mengabaikannya. Apa daya, susah memang punya teman pelupa. Dan aku bukan rentenir yang suka menagih, jadi kubiarkan saja. Meski kesal sebenarnya.
Sampai hari kedelapan aku menanti, aku masih menanti coklat dan perayaan atas perasaan menang. Namun sampai pulang sekolah, tak ada tanggapan. Maka jangan heran, perasaan sebal mengurangi keinginan untuk kembali mengirai cerita dalam sandi seperti biasa. Tapi selesai kegiatan ekstra, kamu memberiku bungkusan kado berbentuk kotak saat usai kegiatan ekstra. Sepanjang jalan pulang aku penasaran, mungkin ini cokleat sesuai perjanjian? Tapi tidak, rupanya benda keras ini lebih berat dari puluhan cokleat. Sampai dirumah, kubuka dan..... ternyata sebuah buku warna merah muda, “Menjadi Muslimah Paling Bahagia di Dunia” karya Dr. Aidh Abdullah Al Qorni. Darahku terkesiap. Ini pasti jauh lebih berharga dari puluhan batang cokelat!.
Dan diakhir cerita perjalanan kita di SMA, kau beri aku surat dalam bahasa indonesia. Awalnya biasa saja, kata pengantar dari sebuah pidato dalam rangka perpisahan. Kau benar, aku harus lebih siap menghadapi perpisahan. Menyedihkan memang, jika nanti akan hadir hari-hari tanpa balasan sandi, tanpa cerita, tanpa melihat wajahmu tertawa, tapi aku merasa semua berjalan begitu wajar. Bukankah semua ini hanya bagian dari sepenggal perjalanan hidup? Sampai pada bagian akhir surat itu, di paragraf terakhir kamu utarakan rasa, “maafkan aku telah mencintaimu dan maafkan aku pernah menyakitimu”
Kalimat itu sarat makna, kurasa. Hingga hampir tak percaya kamu yang menuliskannya. Tapi untuk apa? Toh setelah SMA, kita harus berpisah untuk meraih cita. Lalu mungkin saja, di tempat masing-masing nantinya kita bertemu belahan jiwa. Jadi tak ada gunanya kita buat perjanjian cinta. Semua akan berakhir begitu saja. Jika kunyatakan cinta disaat yang sama, akankah “jadian” kita berjalan selamanya? Mungkin, tidak. Dan aku terlalu takut kehilangan, bukankah persahabatan jauh lebih berharga daripada pacaran yang belum tentu berakhir di pelaminan?
Selanjutnya selepas masa SMA aku memilih kuliah dan kamu jadi anggota TNI. Dua profesi baru yang jauh berbeda. Karena aku menapaki idealisme teori, sedangan kamu disana harus menyelami idealisme rasa cinta pada negeri. Dua dasar pemikiran yang sering bertentangan saat berhadapan dengan kepentingan.
Lalu apa? Teori idealis yang ingin kubagi, kamu jauhi. Bukan hanya teori yang membuatku semakin tak mengerti. Tapi rasanya kamu sangat jauh dari hati. Kenapa dan harus bagaimana, adalah dua kalimat tanya yang tak pernah kutemui jawabanya. Hingga kepada diri sendiri, kutemui asa yang bermuara. Saat kamu jauh disana, baru kusadari ada rasa yang terlanjur tercipta. Tanpa sedetikpun aku mampu menafikannya.
Iya, rasa yang begitu kuat meraja, rindu yang membiru, ingin sekali selalu bertemu denganmu. Dan tanpa hadirmu, tubuhku serasa ingin membatu, dan hati ini mulai membeku. Entah apa yang ada di benakmu saat itu, yang pasti aku tak bisa mengerti dirimu, dan begitu sebaliknya. Mungkin jarak yang jauh dimata, dan pertemuan yang sangat jarang terlaksana menjauhkan hati kita. Tapi bisa apa? Aku bukan tuhan yang bisa bertindak semaunya. Ah, biarlah ini jadi bagian dari perjalanan kita.
Rasa istimewa yang harus kuakui adanya, mencipta rindu tak terkira. Tidakkah engkau merasa yang sama?
Sering anganku bermuara pada sosokmu, membayangkan kita kembali malangkah beriringan. Mengurai cerita, merangkai mimpi untuk masa depan. Tapi rupanya, semua itu sebatas bayangan. Karena dalam kesempatan dimana kita dipertemukan, sikap acuhmu tetap merajai dan menyisakan kecewa yang harus kurasa.
Sampailah kita pada suatu peristiwa, dimana hatiku tak sanggup lagi menjaga rasa. Bukan, bukan karena tak lagi cinta. Tapi lihatlah, bagaimana menahan rasa, hingga aku harus menikam rindu yang hadir disetiap detiknya. Lihatlah, seberapa besar luka yang tercipta? Saat kau utarakan kata, bahwa aku bukan lagi siapa-siapa. Dan itu berarti, selama ini tak punya arti apa-apa.
Seandainya nampak kasat mata, mungkin harusnya hati sudah enggan untuk menyapa. tapi untunglah, hati ini bukan buatan manusia. Sifat tuhan ada dalam setiap ciptaanNya. Lalu aku belajar melepaskan setiap asa yang pernah tercipta. Berharap Tuhan berkenan mengganti dengan yang jauh lebih baik nanti. Ikhlas tanpa syarat, sebagai titian menuju jalan taubat. Atas segala harap, dan segala bentuk mimpi yang tercipta begitu saja.
Aku tahu, kamu belum siap. Untuk menjadi lebih dari sekedar sahabat. Karena itu, obrolan kita adalah sebatas kepentingan. Dan disini, hatiku juga masih enggan mengikat janji. Entah dimana, dengan siapa, atau kapan ikatan cinta itu akan menjadi realita. Saat ini aku hanya ingin menikmati mimpi, yang mungkin saja bisa lebih indah seiring bertambahnya usia. Sekarang, nanti, dan selamanya, kamu adalah sahabat terbaik yang pernah singgah dihati.
Kamu, adalah sahabat terbaikku. Yang selalu bersedia menjadi pendukung setiap kebaikan, dan pengingat dari kehilafan yang kadang kuperbuat. Yang bersedia membantuku mewujudkan cita, tanpa ada pamrih disana. Yang menunjukkanku kebenaran, meski kadang pahit yang harus kutelan. Yang meski tanpa ungkapan cinta, tapi jelas rasa itu jadi bagian dari perjalanan.
Lalu apa yang menjadi rencana Tuhan didepan sana, biar tetap menjadi rencanaNya. Kita hanya hamba yang ingin mengabdi sepenuh hati, lalu berharap yang terbaik selalu terjadi.
Aku tak lagi peduli, pada rasa yang kamu simpan sendiri.
Aku tak lagi peduli, tentang rencana yang tak pernah kau bagi.
Sekarang siapapun dan dimanapun kamu, yang tersimpan dalam memoriku adalah pribadi terbaikmu. Meski perpisahan sering kita jelang, namun sesungguhnya tak pernah sekalipun ikatan persahabatan ini ingin menjauhkan hubungan. Dalam kelemahanku, kamu selalu hadir menguatkan. Dalam keterbatasanku, kamu selalu bergegas memperluas jalan. Dalam pertanyaan yang kadang membingungkan, kau hadir dengan jawaban sederhana dan menyederhanakan keterbatasan. Dan tentang perasaan, aku hanya berserah pada takdir Tuhan.
Tetaplah seperti itu, menjaga hatiku dari manisnya rindu. Tetaplah jauh dariku, agar semakin bermakna saat bertemu. Tetaplah menjadi bayang dalam setiap langkahku, agar hati ini tetap merasa terharu. Dan pada rembulan di langit senja, kutitipkan mimpi menjulang ke angkasa. Tentang cerita kita, apapun yang terjadi didepan sana. Apapun yang akan kauputuskan nantinya, semoga membuat kita selalu bahagia.
Tak ada penyesalan yang perlu menyiksa. Tak ada air mata tanpa bahagia. Dan tak ada cela yang harus kita bagi dalam cerita. Biar, biarlah semua berjalan seperti kehendak semesta, karena iman yang kita pertahankan, karena misi hidup yang harus kita selesaikan. Aku mencintaimu karenaNya, karena rasa yang diberikanNya pada hatiku, ada tertuju padamu. Meski untuk masa depan, jika harus menyelami pribadi lain dalam pernikahan, aku hanya bisa menyimpanmu dalam kenangan. Tak secuilpun ingin ku sisakan kebencian, atau prasangka tanpa alasan. Karena kuyakin kesempurnaan hanya milik tuhan.


#oneDayOnePost
#MenulisSetiapHari
#BahagiaItuBerbagi
#CintaItuMemberi

0 comments:

Post a Comment

Popular Posts

Blogger templates

Blogroll

About

Search This Blog

Powered by Blogger.
 

Designed by: Compartidísimo
Images by: DeliciousScraps©