“Dek, coba tengok adekmu di asrama. Katanya celana seragam
hilang. Padahal kemarin baru dibelikan tiga”.
Oh, hilang (lagi). Pikirku.
Ini bukan kejadian pertama atau kedua ia kehilangan.
Sebelumnya ada ATM, camdig, buku, uang, bahkan beberapa minggu yang lalu dompet
lengkap bersama isinya lenyap. Padahal bukan uang pribadi saja yang hilang. Di
dalamnya ada uang organisasi yang tidak sedikit jumlahnya.
Semua kejadian itu membuatku banyak berfikir. Selama hidup
di asrama (dulu) aku tak pernah kehilangan separah itu. Begitu juga adik yang
lain, alhamdulillah tidak harus kehilangan karena tak terbayang bagaimana
perasaan orang tua saat anaknya yang jauh dimata kehilangan barang berharga.
Lalu siapa yag salah sebenarnya? Anaknya atau asramanya
yang tidak “sehat”? aku mencoba menyikapi masalah ini se-objektif mungkin.
Meskipun rasanya tak karuan jika (lagi-lagi) si adek kehilangan barang berharga
diasrama. Saat kutemui ia bercerita, “seperti dijarah kak.. isi lemariku. Tidak
hanya celana seragam yang hilang, tapi juga makanan dan beberapa gantungan
pakaian”. “kok bisa? ..” aku melongo. “iya...ngga tau..tau-tau udah begitu.
Lemariku terbuka”, Katanya pasrah.
Ia memang punya karakter kalem, tidak suka ribut dan jauh
sekali dari kesan kasar. Banyak menurun
sifat dari mamanya, mungkin. Apakah karakter itu yang membuat temannya
berfikir bahwa dia adalah salah satu “sasaran empuk?” ah entahlah. Aku tidak
ingin ber-su’udzon.
Tapi bagiku, ini aneh. Bukankah “harusnya” asrama memiliki
segudang peraturan yang harus ditaati oleh penghuninya? Serangkaian proses
pengawasan yang membuat setiap anak tak berani banyak tingkah dihadapan
musyrif/pembinanya? Bukankah seharusnya, asrama cukup mampu mencetak generasi
muda yang begitu dekat dengan agamanya? Ibadah tepat waktu, mandiri,
menghormati sesama, termasuk mencegah dirinya melakukan hal-hal kriminal,
seperti mencuri.
Baik, jika saja adek -atau mungkin juga anak lain- punya
sifat teledor, bukankah seharusnya asrama berhasil menciptakan kontrol sosial
di lingkungannya? Kontrol sosial, semacam rasa saling percaya dan memiliki yang
tinggi pada sesama, hingga seperti keluarga, dimana anggota yang satu tak
pernah ingin atau berniat mencelakai anggota lain. Jika melihat sesuatu yang
salah, minimal akan mengingatkan dan membantu anggota lain untuk saling
memperbaiki diri.
Jika ada teman yang kehilangan, artinya mereka semua juga
merasa kehilangan. Membantu mencari, dan tidak perlu bersembunyi. Jika ada
teman yang kesusahan, semua berbondong menawarkan bantuan, tidak acuh, apalagi
mencaci. Jika melihat ada teman yang salah, maka mengingatkan adalah cara
terbaik menjaga persahabatan. Jika ada yang merasa bersalah, tak enggan meminta
maaf dan memaafkan. Itulah sikap muslim sejati.
Disinilah sebenarnya, sekali lagi menurut saya, begitu
penting peran pembina di asrama. Sangat penting bahkan.
Pembina-lah yang punya tugas paling berat mengawal
kehidupan berasrama supaya sesuai dengan tujuan diadakannya asrama itu sendiri,
untuk membina. Yang sebelumnya nakal atau suka melanggar jadi taat aturan, yang
biasanya bangun kesiangan jadi bangun tepat waktu, dan sebagainya. Yang
biasanya egois jadi senang berbagi dan menghargai kawan. Dan percayalah, tugas
berat itu hanya diawal, sampai pembina berhasil menjalankan sistem pengawasan
diasrama. Maka ketika kebiasaan itu telah terbangun dalam sistem yang kuat,
selanjutnya pengawasan akan jauh lebih mudah.
Pembina bertugas membangun kepercayaan, mengeratkan
persaudaraan, dan mengikat mereka dalam rasa kekeluargaan. Bukan sekedar untuk
memperbaiki penampilan, tapi biarlah pembinaan itu lahir karena kuatnya
ketaatan, bahwa semua upaya ini adalah bagian dari pengabdian.
Asrama adalah miniatur kehidupan nyata. Di lingkungan
keluarga, tetangga, teman dekat, atau siapa saja, ada mereka yang baik hati,
suka memuji dan berbagi, ada pula yang hobby iri hati, dengki, bahkan suka
menghakimi sendiri. Begitu pula diasrama. Ada yang malas mandi, ada yang ingin
menguasai fasilitas umum sendiri, ada yang suka ngerumpi, ada pula yang tak
punya empati, bahkan ada pula yang berbakat jadi... pencuri. Maaf, tapi itulah
faktanya. Dimanapun asrama berada, sama dengan diluar sana, dimanapun tinggal,
harus waspada, karena tak setiap orang bisa dipercaya.
Lalu kembali ke pembina. Kalau diawal, pembina berhasil mengambil
hati dan rasa percaya setiap anggota binaannya, maka akan jauh lebih mudah
memberi pembinaan kepada mereka. Tapi jika tidak, sebaiknya para pembina
berfikir ulang, menjadi pembina sekedar untuk memenuhi kewajiban kontrak kerja
atau lillahi ta’ala?
Tentu setiap pembina punya cara, yang mungkin berbeda.
Setelah rasa percaya anggota binaannya tak perlu diragukan lagi, selanjutnya
pembina harus punya sistem pengawasan dan pembinaan. Sistem pengawasan akan
sangat berfungsi karena pada dasarnya sifat manusia bisa berubah, yang awal
tampak baik bisa jadi sebaliknya. Mungkin yanga wal biasa saja, aslinya memang
begitu. Sistem pengawasan bisa disusun
berdasarkan karakteristik anggota. Terapkan cara paling jitu agar mereka saling
percaya, saling menjaga, layaknya saudara. Iya mereka memang saudara, seiman.
Proses ini mungkin akan berjalan lama, karena membangun
kepercayaan antar anggota tak bisa selesai sekejap saja. Ada banyak hal yang
akan jadi pertimbangan seseorang untuk percaya pada lawan bicaranya. Pastikan
setiap pembina punya cara.
Selanjutnya, bangun sistem pengawasan. Bukan untuk
memunculkan rasa curiga antar tetangga. Tapi jauh lebih dari itu, sistem ini
akan membangun rasa percaya, bahwa ada pengawasan lain yang maha sempurna.
Jadikan sebagian dari mereka-yang bisa benar-benar dipercaya- untuk jadi agen
dan mata-mata. Para pembina bisa belajar ke pondok-pondok yang lebih tua dan
lebih baik manajemen pembinaannya agar tak salah menyikapi kesalahan para
anggota.
Sangat fatal akibatnya, jika keadaan dimana asrama tak
berfungsi sebagaimana seharusnya, dibiarkan berlarut-larut. Lalu apa gunanya
anak dimasukkan asrama, kalau disana tak mendapat pembinaan dan harus banyak
kehilangan? Pembinaan rasa ikhlas? Uh, percayalah, rasa ikhlas itu lebih baik
diajarkan dengan cara yang lebih elegan, bukan dengan pembiaran kasus
pencurian. Mungkin akan jauh lebih baik dan lebih aman, jika asrama tak lagi
berfungsi untuk membina, anak-anak itu dibiarkan tinggal di kos-kosan yang
privasinya jauh lebih terjaga?
Lalu tentang sistem pembianaan, minimal sepekan sekali,
pembina punya waktu bersama para anggotanya. Rasio antara pembina dengan
anggota juga perlu diperhatikan. Akan jauh lebih efektif ketika pembinaan
dilakukan dalam kelompok-kelompok kecil yang setiap kelompok beranggota kurang
dari 10 orang. Pertemuan pekanan itu harus punya nilai istimewa bagi setiap
pribadi. Ukuran keberhasilannya dalah ketika sesama anggota merasa nyaman
saling berbagi, merasa percaya diri dan memiliki mimpi, dan anggota yang lain
saling mendukung, hingga rasanya kelompok itulah representasi keluarga kecil di
asrama. Saudara yang saling percaya dan menguatkan imannya.
Jika pembina hadirnya berkala, tak tentu waktunya, melihat
para siswa biasa saja, taka da ikatan batin diantara mereka, lalu buat apa ada
asrama? Percayalah, lembaga sekeren apapun akan terabaikan oleh zaman, jika tak
mampu bertahan. Akan sayangs ekali perjuangan para pendahulunya, yang membangun
dengan keikhlasan, tenaga, dan air mata..jika akhirnya melihat hasil karya
mereka terabaikan oleh generasi berikutnya.
Maaf, ini sekedar pendapat saja. Tanpa menyebutkan sumber
cerita. Karena bukan bertujuan mencemarkan nama lembaga meski sebagian cerita
berasal dari fakta. Tapi berharap siapapun yang membaca, dan berfikir untuk menitipkan pendidikan anak diasrma, bisa lebih selektif memilih
asrama, dengan memperhatikan pola pembinaan didalamnya. Hanya agar, tak ada
“korban” berikutnya.
Bagaimanapun, asrama tetap menjadi alternatif pendidikan
yang baik sampai saat ini, dengan catatan –hanya jika- dikelola oleh para
pembina yang mengerti benar pentingnya pembinaan, mereka yang niat dan imannya
terjaga dalam keikhlasan, mereka yang menyayangi atas dasar iman. Tapi tak
sedikit asrama yang “ternyata” hasilnya tak seindah harapan orang tua, bahkan
jauh dari tujuan utama lembaga mendirikannya. Lalu apa sebenarnya tujuan
dipertahankanya asrama? Hanya kamuflase pendidikan semata?
Ah sudahlah, ini sekedar coretan kekesalan.
Kesal melihat pembina yang setengah hati mengabdi. Kesal
melihat asrama yang jauh dari harapan hati. Melihat anak-anak yang terkesan
tanpa suara tapi terselip diantara mereka nama yang tak mampu mengendalikan
tangan dan hatinya. Kesal karena,.... tak ada yang bisa kulakukan untuk merubah
keadaan itu. Kesal, sekaligus takut, akankah keadaan ini berlarut?
0 comments:
Post a Comment