Friday, 11 March 2016

Miniatur itu bernama asrama

| |



“Dek, coba tengok adekmu di asrama. Katanya celana seragam hilang. Padahal kemarin baru dibelikan tiga”.
Oh, hilang (lagi). Pikirku.

Ini bukan kejadian pertama atau kedua ia kehilangan. Sebelumnya ada ATM, camdig, buku, uang, bahkan beberapa minggu yang lalu dompet lengkap bersama isinya lenyap. Padahal bukan uang pribadi saja yang hilang. Di dalamnya ada uang organisasi yang tidak sedikit jumlahnya.

Semua kejadian itu membuatku banyak berfikir. Selama hidup di asrama (dulu) aku tak pernah kehilangan separah itu. Begitu juga adik yang lain, alhamdulillah tidak harus kehilangan karena tak terbayang bagaimana perasaan orang tua saat anaknya yang jauh dimata kehilangan barang berharga.

Lalu siapa yag salah sebenarnya? Anaknya atau asramanya yang tidak “sehat”? aku mencoba menyikapi masalah ini se-objektif mungkin. Meskipun rasanya tak karuan jika (lagi-lagi) si adek kehilangan barang berharga diasrama. Saat kutemui ia bercerita, “seperti dijarah kak.. isi lemariku. Tidak hanya celana seragam yang hilang, tapi juga makanan dan beberapa gantungan pakaian”. “kok bisa? ..” aku melongo. “iya...ngga tau..tau-tau udah begitu. Lemariku terbuka”, Katanya pasrah.

Ia memang punya karakter kalem, tidak suka ribut dan jauh sekali dari kesan kasar. Banyak menurun  sifat dari mamanya, mungkin. Apakah karakter itu yang membuat temannya berfikir bahwa dia adalah salah satu “sasaran empuk?” ah entahlah. Aku tidak ingin ber-su’udzon.

Tapi bagiku, ini aneh. Bukankah “harusnya” asrama memiliki segudang peraturan yang harus ditaati oleh penghuninya? Serangkaian proses pengawasan yang membuat setiap anak tak berani banyak tingkah dihadapan musyrif/pembinanya? Bukankah seharusnya, asrama cukup mampu mencetak generasi muda yang begitu dekat dengan agamanya? Ibadah tepat waktu, mandiri, menghormati sesama, termasuk mencegah dirinya melakukan hal-hal kriminal, seperti mencuri.

Baik, jika saja adek -atau mungkin juga anak lain- punya sifat teledor, bukankah seharusnya asrama berhasil menciptakan kontrol sosial di lingkungannya? Kontrol sosial, semacam rasa saling percaya dan memiliki yang tinggi pada sesama, hingga seperti keluarga, dimana anggota yang satu tak pernah ingin atau berniat mencelakai anggota lain. Jika melihat sesuatu yang salah, minimal akan mengingatkan dan membantu anggota lain untuk saling memperbaiki diri.

Jika ada teman yang kehilangan, artinya mereka semua juga merasa kehilangan. Membantu mencari, dan tidak perlu bersembunyi. Jika ada teman yang kesusahan, semua berbondong menawarkan bantuan, tidak acuh, apalagi mencaci. Jika melihat ada teman yang salah, maka mengingatkan adalah cara terbaik menjaga persahabatan. Jika ada yang merasa bersalah, tak enggan meminta maaf dan memaafkan. Itulah sikap muslim sejati.

Disinilah sebenarnya, sekali lagi menurut saya, begitu penting peran pembina di asrama. Sangat penting bahkan.

Pembina-lah yang punya tugas paling berat mengawal kehidupan berasrama supaya sesuai dengan tujuan diadakannya asrama itu sendiri, untuk membina. Yang sebelumnya nakal atau suka melanggar jadi taat aturan, yang biasanya bangun kesiangan jadi bangun tepat waktu, dan sebagainya. Yang biasanya egois jadi senang berbagi dan menghargai kawan. Dan percayalah, tugas berat itu hanya diawal, sampai pembina berhasil menjalankan sistem pengawasan diasrama. Maka ketika kebiasaan itu telah terbangun dalam sistem yang kuat, selanjutnya pengawasan akan jauh lebih mudah.

Pembina bertugas membangun kepercayaan, mengeratkan persaudaraan, dan mengikat mereka dalam rasa kekeluargaan. Bukan sekedar untuk memperbaiki penampilan, tapi biarlah pembinaan itu lahir karena kuatnya ketaatan, bahwa semua upaya ini adalah bagian dari pengabdian.

Asrama adalah miniatur kehidupan nyata. Di lingkungan keluarga, tetangga, teman dekat, atau siapa saja, ada mereka yang baik hati, suka memuji dan berbagi, ada pula yang hobby iri hati, dengki, bahkan suka menghakimi sendiri. Begitu pula diasrama. Ada yang malas mandi, ada yang ingin menguasai fasilitas umum sendiri, ada yang suka ngerumpi, ada pula yang tak punya empati, bahkan ada pula yang berbakat jadi... pencuri. Maaf, tapi itulah faktanya. Dimanapun asrama berada, sama dengan diluar sana, dimanapun tinggal, harus waspada, karena tak setiap orang bisa dipercaya.

Lalu kembali ke pembina. Kalau diawal, pembina berhasil mengambil hati dan rasa percaya setiap anggota binaannya, maka akan jauh lebih mudah memberi pembinaan kepada mereka. Tapi jika tidak, sebaiknya para pembina berfikir ulang, menjadi pembina sekedar untuk memenuhi kewajiban kontrak kerja atau lillahi ta’ala?

Tentu setiap pembina punya cara, yang mungkin berbeda. Setelah rasa percaya anggota binaannya tak perlu diragukan lagi, selanjutnya pembina harus punya sistem pengawasan dan pembinaan. Sistem pengawasan akan sangat berfungsi karena pada dasarnya sifat manusia bisa berubah, yang awal tampak baik bisa jadi sebaliknya. Mungkin yanga wal biasa saja, aslinya memang begitu.  Sistem pengawasan bisa disusun berdasarkan karakteristik anggota. Terapkan cara paling jitu agar mereka saling percaya, saling menjaga, layaknya saudara. Iya mereka memang saudara, seiman.

Proses ini mungkin akan berjalan lama, karena membangun kepercayaan antar anggota tak bisa selesai sekejap saja. Ada banyak hal yang akan jadi pertimbangan seseorang untuk percaya pada lawan bicaranya. Pastikan setiap pembina punya cara.

Selanjutnya, bangun sistem pengawasan. Bukan untuk memunculkan rasa curiga antar tetangga. Tapi jauh lebih dari itu, sistem ini akan membangun rasa percaya, bahwa ada pengawasan lain yang maha sempurna. Jadikan sebagian dari mereka-yang bisa benar-benar dipercaya- untuk jadi agen dan mata-mata. Para pembina bisa belajar ke pondok-pondok yang lebih tua dan lebih baik manajemen pembinaannya agar tak salah menyikapi kesalahan para anggota.

Sangat fatal akibatnya, jika keadaan dimana asrama tak berfungsi sebagaimana seharusnya, dibiarkan berlarut-larut. Lalu apa gunanya anak dimasukkan asrama, kalau disana tak mendapat pembinaan dan harus banyak kehilangan? Pembinaan rasa ikhlas? Uh, percayalah, rasa ikhlas itu lebih baik diajarkan dengan cara yang lebih elegan, bukan dengan pembiaran kasus pencurian. Mungkin akan jauh lebih baik dan lebih aman, jika asrama tak lagi berfungsi untuk membina, anak-anak itu dibiarkan tinggal di kos-kosan yang privasinya jauh lebih terjaga?

Lalu tentang sistem pembianaan, minimal sepekan sekali, pembina punya waktu bersama para anggotanya. Rasio antara pembina dengan anggota juga perlu diperhatikan. Akan jauh lebih efektif ketika pembinaan dilakukan dalam kelompok-kelompok kecil yang setiap kelompok beranggota kurang dari 10 orang. Pertemuan pekanan itu harus punya nilai istimewa bagi setiap pribadi. Ukuran keberhasilannya dalah ketika sesama anggota merasa nyaman saling berbagi, merasa percaya diri dan memiliki mimpi, dan anggota yang lain saling mendukung, hingga rasanya kelompok itulah representasi keluarga kecil di asrama. Saudara yang saling percaya dan menguatkan imannya.

Jika pembina hadirnya berkala, tak tentu waktunya, melihat para siswa biasa saja, taka da ikatan batin diantara mereka, lalu buat apa ada asrama? Percayalah, lembaga sekeren apapun akan terabaikan oleh zaman, jika tak mampu bertahan. Akan sayangs ekali perjuangan para pendahulunya, yang membangun dengan keikhlasan, tenaga, dan air mata..jika akhirnya melihat hasil karya mereka terabaikan oleh generasi berikutnya.

Maaf, ini sekedar pendapat saja. Tanpa menyebutkan sumber cerita. Karena bukan bertujuan mencemarkan nama lembaga meski sebagian cerita berasal dari fakta. Tapi berharap siapapun yang membaca, dan berfikir untuk menitipkan pendidikan anak diasrma, bisa lebih selektif memilih asrama, dengan memperhatikan pola pembinaan didalamnya. Hanya agar, tak ada “korban” berikutnya. 

Bagaimanapun, asrama tetap menjadi alternatif pendidikan yang baik sampai saat ini, dengan catatan –hanya jika- dikelola oleh para pembina yang mengerti benar pentingnya pembinaan, mereka yang niat dan imannya terjaga dalam keikhlasan, mereka yang menyayangi atas dasar iman. Tapi tak sedikit asrama yang “ternyata” hasilnya tak seindah harapan orang tua, bahkan jauh dari tujuan utama lembaga mendirikannya. Lalu apa sebenarnya tujuan dipertahankanya asrama? Hanya kamuflase pendidikan semata?

Ah sudahlah, ini sekedar coretan kekesalan.

Kesal melihat pembina yang setengah hati mengabdi. Kesal melihat asrama yang jauh dari harapan hati. Melihat anak-anak yang terkesan tanpa suara tapi terselip diantara mereka nama yang tak mampu mengendalikan tangan dan hatinya. Kesal karena,.... tak ada yang bisa kulakukan untuk merubah keadaan itu. Kesal, sekaligus takut, akankah keadaan ini berlarut?


0 comments:

Post a Comment

Popular Posts

Blogger templates

Blogroll

About

Search This Blog

Powered by Blogger.
 

Designed by: Compartidísimo
Images by: DeliciousScraps©