“Dia mencintaimu”
aku berusaha mengucapkannya dengan nada datar.
“Apa? Emang siapa
dia? Aku tak merasa pernah memberi harapan apapun padanya. Dengar, kalau sa’dia
yang kamu maksud, gadis itu tak lebih sebagai teman baik bagiku”
“Oh....”, aku tak
ingin membantahnya.
Ah, lelaki. Kenapa
sulit sekali bagimu mengerti?
Bahkan sesuatu yang sangat jelas diantara kalian
telah terjadi, kenapa engkau tak juga menyadari? Lalu apa arti persahabatan
kalian selama ini? Benarkah sebatas teman? Atau aku yang tak mengerti?
“Tapi,...........”
aku ingin menjelaskan sesuatu pada sosok didepanku.
“Sudahlah, jangan
membahas soal perasaan ya? Bicara yang lainnya saja”
“Dengar Tamam,
sampai kapan kamu akan mengelak?”
“Aku tidak sedang
mengelak. Hanya sedang tak ingin membahasnya. Apa itu salah?”
“Tentu saja tidak.
Tapi jelas kamu sudah menyiakan waktu”
“Hah? Apa maksudmu?”
wajah penasaran itu membuatku kesal. Uh, ingin sekali aku menjitaknya.
“Kalau kamu cukup
peduli dengan hatimu, luangkan waktu sejenak untuk mendengarku. Duduklah sini,
biar ku jelaskan”. Susah memang berbicara dengan orang yang menjunjung tinggi
logikanya.
Aku sudah siap jika
Tamam menolak permintaanku, seperti biasa. Toh memang aku tahu dia sibuk
akhir-akhir ini. Ah bukan, lelaki ini memang selalu sibuk dengan pekerjaan,
teman, dan semua hal yang baginya menyenangkan. Bahkan mungkin tak sempat
memikirkan masa depan hatinya sendiri. Tapi rupanya tidak kali ini. Rasa
bimbang yang tadi berhasil kuciptakan mengusik hatinya, membuatnya melangkah
mendekatiku dan duduk di hadapanku.
“Baik, aku siap
mendengarkan” ia menatapku dalam. Baiklah, semoga penjelasanku dapat membuka
mata hatinya.
“Hmm, begini Tamam.
Aku mengenal kalian, maksudku kamu dan Dia. Sudah lama sekali, bukan?”
“Ya, lalu?”
“aku melihat, ada
semacam chemistry diantara kalian. Apa kamu tidak merasakannya?”
“Chemistry apa yang
kamu maksud? Dia memang teman baik, baik sekali malah. Aku belum pernah melihat
teman perempuan yang lebih baik dari nya. Dia baik, hatinya tulus, kuat, dan
mandiri. Tapi maaf, untuk chemistry yang kau maksud, aku tak mengerti”
“Huh, payah sekali
kamu ini. Coba renungkan baik-baik, apa kamu mengaguminya? Jawab jujur ya,
karena aku melihatmu begitu”
Lama ia termenung,
mungkin bimbang antara jawaban iya atau tidak.
“Ayolah, jangan
lama-lama.... kamu tingggal jawab ya atau tidak. Kalau menurutku sih iya, tapi
itu butuh kejujuranmu untuk mengakuinya” aku menghardiknya.
“Ummm.... “
“Berat sekali
mengatakan iya. Tapi jelas terasa, sejujurnya aku tak bisa mengatakan tidak”
akhirnya ia buka suara.
“Tuh, kan? Sudah
jelas sekali. Betapa egoisnya kamu. Mengakui kekaguman saja sulitnya minta
ampun. Ok, kesimpulannya iya. Kamu mengaguminya. Sekarang pertanyaan kedua dan
ketiga, apa kamu merasa nyaman saat bersama dan ingin selalu bersamanya?”
“Ah, sudahlah. Aku
banyak pekerjaan sekarang. Lain kali saja kita bahas lagi , ya.” Sambil berdiri
ia katakan itu. Lalu manatapku dengan tatapan yang tak kumengerti artinya. Aku
balas menatapnya, mencoba meyakinkanhatinya. Tapi rupanya ia tetap belum
mengerti, sambil beranjak pergi. Ah, kupikir ia bukan tak mengerti. Ia hanya
tak percaya pada hatinya sendiri, dan ingin menghindar kali ini.
Lihat saja, akan ada
saat dimana kau tak bisa membantah isi hatimu sendiri! Aku menyumpah dalam
hati.
Memang aku bukan
siapa-siapa, sebenarnya. Bukan saudara, bukan tetangga, apalagi orang tua
mereka. Hanya teman. Tapi bagiku, mereka lebih dari teman biasa. Mereka
istimewa. Karakter mereka yang kuat membuatku diam-diam mengagumi, berdoa dalam
hati agar suatu hari, tuhan berkenan meluluhkan hati dan menyatukan keduanya
dalam pernikahan. Ah, semoga saja. Aku tersenyum sendiri memikirkan mereka di
sepanjang jalan pulang.
Pertemuan dengan Tamam
tadi menguatkan sebagian hipotesisku, bahwa sebenarnya ada cinta yang istimewa
diantara mereka. Tamam, jelas ia merasakan meski berat mengakuinya. Tinggal
Dia, ah semoga saja aku bisa jadi perantara yang menyatukan mereka. (bersambung)
0 comments:
Post a Comment