Sebenarnya profesiku
bukan mak comblang. Di perempatan pusat kota, aku seorang pegawai kantor pos.
Tugasku melayani pelanggan dan memenuhi keperluan mereka. Ada yang ingin
mengirim dokumen, paket, wesel, dan sebagainya. Bertemu dengan banyak orang
setiap hari adalah salah satu hobbyku. Dengan begitu aku bisa diam-diam
mengamati karakter mereka, belajar memahami dan melayani mereka dengan sikap
yang baik. Lalu aku menulis cerita dan mengirimkannya ke majalah atau tabloid
mingguan. Lumayan lah buat menambah uang jajan.
Dan soal misiku untuk
alih profesi sementara menjadi mak comblang antara Tamam dan Dia, bukan tanpa
alasan. Sebenarnya aku hanya ingin membalas kebaikan mereka yang selama ini
sangat baik padaku. Seringkali jika aku kesulitan, mereka membantuku. Dan itu
mereka lakukan sejak kami sama duduk di bangku SMA, sepuluh tahun yang lalu.
Hingga sekarnag aku sudah menikah dan punya seorang putra. Aku ingin mereka
bahagia dengan berkeluarga. Bukan alasan klise, kan? Jika aku ingin menyatukan
mereka, karena itulah hal terbaik yang mungkin bisa ku lakukan untuk membalas
kebaikan mereka.
Besok akan kucoba
menemui sa’dia di sekolahnya. Semoga ada jalan untuk menyatukan dua insan yang
dilanda cinta dalam egois yang meraja. Aku melangkah riang mendekati rumah.
***
“Assalamu’alaikum...”
wajah teduh dalam balutan kerudung yang anggun itu menyapaku. Sahabat yang ku
sayangi, sa’dia menyapaku setelah sekitar 10 menit menunggunya di kantor.
“wa’alaikumsalam...alhamdulillah,
akhirnya bisa ketemu juga sama ustadzah” aku berdiri memeluknya erat.
“maaf ya say nunggu
lama.. tadi mastiin anak-anak dijemput semua... baru bisa balik kantor. Eh
ternyata dirimu sudah disini. Tumben, ada apa? Eh ayo duduk.. sebentar ya ku
ambilkan minum”
“eh iya terima kasih,
aku lagi kangen aja makanya nyempetin mampir sini. Hehee.. “
Ia kembali dari ruang
sebelah yang di sekat triplek sebagai pembatas, membawa dua botol teh dingin
dan meletakkannya di meja.
“ah, ngga biasanya.
Kalau cuma kangen kan kamu biasanya cuma telepon atau ngajak chatting.” Tatapan
jernih matanya menyelidikiku. Membuatku tak mampu berbohong.
“ada apa say? Kamu ada
masalah? Hmm...diminum dulu gih, nanti ceritalah, siapa tahu aku bisa membantu”
aku kagum padanya. Aku tahu ia bukan manusia tanpa masalah. Tapi ia tak peduli
keadaannya sendiri, masalah orang lain selalu mendapat perhatian cukup darinya.
Tapi kali ini, memang bukan masalah yang ingin kuadukan.
Kuambil botol teh dingin
itu, membuka dan meneguknya perlahan setelah mengucap basmallah. Kulirik Dia
juga melakukan hal yang sama. Alhamdulillah, cukup sebagai pelepas dahaga di
siang yang terik ini.
Aku tersenyum
menatapnya, “Dia, aku kangen sama kamu. Kangen sama Tamam dan masa kita di SMA.
Ah, seandainya saja ku bisa membawa waktu berputar kembali, aku hanya ingin
mengulang masa itu bersama kalian berdua.”
Dia terkekeh. “Kamu
kenapa say? Kok tiba—tiba jadi melow gitu sih”
“He.. aku, entah
ya..akhir-akhir ini keinget kalian berdua terus”
“kok bisa, kenapa? Boleh
aku tahu, apa yang kamu pikirkan soal aku dan Tamam?” wajahnya berubah lebih
serius.
“ Ummm, kamu memang
selalu bisa membaca pikiranku Dia. Lihat saja.. sudah seperti paranormal. Dan
celakanya, aku harus mengakuinya kali ini” aku hampir saja tertawa lepas
mengatakannya. Kalau saja tidak ingat sedang di kantor sekolah.
“hemm.... Tamam kenapa
say?” wajahnya menunjukkan raut khawatir.
“tenang saja, Tamam
baik. Katanya minggu depan mau berangkat tugas lagi. Kemana sih?”
“Flores, sampai sepuluh
bulan kedepan rencananya”
“ahay, ternyata kau
masih sama. Eh, kalian maksudku. Tamam bahkan tak menjawab saat kutanya tugas
kemana. Tapi denganmu, apapun kamu tahu tentangnya. Seolah kamu selalu di
sampingnya”
Aku mengerlingkan mata
menggodanya. Dia tersipu.
“Biasa aja laah, hmm...
kupikir ada kabar apa yang bikin kamu kesini hari ini” ia mencoba mengalihkan
perhatian.
“Err, iya maaf.. aku
bercanda. Begini, aku sedang berfikir kerasa bagaimana caranya supaya kamu dan
Tamam segera menikah.”
“Hahhh??? Apaaaa?” Dia
terbelalak
“Eits, tenaaaang,,
jangan marah yaa...” aku mengatupkam tanganku di mulutnya. Hampir saja ia
histeris, alangkah buruk kalau sampai ada orang lain yang mendengar. Untunglah
Dia sudah punya ruangan khusus di sekolah itu. Posisi guru kelas memberinya
ruang gerak yang cukup di kantor dengan meja dan kursi warna abu-abu. Meski tak
luas, kantornya bahkan jauh lebih rapi dibanding dapurku dirumah. Ah, kenapa
tiba-tiba keinget dapur yang “rapi” itu lagi?
“aku kesini untuk
......... memastikan perasaanmu”. Susah payah kurangkai kalimat itu, lalu
meluncur terbata.
Dia mengernyit tak
mengerti.
“Lebih tepatnya
memastikan perasaan kalian berdua” aku menatapnya serius. Berharap semua akan
berjalan lancar.
“apa pentingnya, Nia?
Toh semua sudah jelas, kan? Kau tahu, Tamam tidak punya perasaan khusus buatku.
Aku juga, ah biarlah semua jadi masalalu Nia... “ ia tersenyum datar, sama
sekali tak menggambarkan perasaan hatinya. Tapi aku tak sehari dua hari
mengenalnya. Ia butuh usaha lebih keras jika ingin menyembunyikan perasaannya
dihadapanku.
(bersambung)
#ODOP
#ODOP
0 comments:
Post a Comment