Tuesday, 15 March 2016

sadarlah, itu cinta (2)

| |



Sebenarnya profesiku bukan mak comblang. Di perempatan pusat kota, aku seorang pegawai kantor pos. Tugasku melayani pelanggan dan memenuhi keperluan mereka. Ada yang ingin mengirim dokumen, paket, wesel, dan sebagainya. Bertemu dengan banyak orang setiap hari adalah salah satu hobbyku. Dengan begitu aku bisa diam-diam mengamati karakter mereka, belajar memahami dan melayani mereka dengan sikap yang baik. Lalu aku menulis cerita dan mengirimkannya ke majalah atau tabloid mingguan. Lumayan lah buat menambah uang jajan. 


Dan soal misiku untuk alih profesi sementara menjadi mak comblang antara Tamam dan Dia, bukan tanpa alasan. Sebenarnya aku hanya ingin membalas kebaikan mereka yang selama ini sangat baik padaku. Seringkali jika aku kesulitan, mereka membantuku. Dan itu mereka lakukan sejak kami sama duduk di bangku SMA, sepuluh tahun yang lalu. Hingga sekarnag aku sudah menikah dan punya seorang putra. Aku ingin mereka bahagia dengan berkeluarga. Bukan alasan klise, kan? Jika aku ingin menyatukan mereka, karena itulah hal terbaik yang mungkin bisa ku lakukan untuk membalas kebaikan mereka.

Besok akan kucoba menemui sa’dia di sekolahnya. Semoga ada jalan untuk menyatukan dua insan yang dilanda cinta dalam egois yang meraja. Aku melangkah riang mendekati rumah.
***

“Assalamu’alaikum...” wajah teduh dalam balutan kerudung yang anggun itu menyapaku. Sahabat yang ku sayangi, sa’dia menyapaku setelah sekitar 10 menit menunggunya di kantor.

“wa’alaikumsalam...alhamdulillah, akhirnya bisa ketemu juga sama ustadzah” aku berdiri memeluknya erat.

“maaf ya say nunggu lama.. tadi mastiin anak-anak dijemput semua... baru bisa balik kantor. Eh ternyata dirimu sudah disini. Tumben, ada apa? Eh ayo duduk.. sebentar ya ku ambilkan minum”

“eh iya terima kasih, aku lagi kangen aja makanya nyempetin mampir sini. Hehee.. “
Ia kembali dari ruang sebelah yang di sekat triplek sebagai pembatas, membawa dua botol teh dingin dan meletakkannya di meja.

“ah, ngga biasanya. Kalau cuma kangen kan kamu biasanya cuma telepon atau ngajak chatting.” Tatapan jernih matanya menyelidikiku. Membuatku tak mampu berbohong.

“ada apa say? Kamu ada masalah? Hmm...diminum dulu gih, nanti ceritalah, siapa tahu aku bisa membantu” aku kagum padanya. Aku tahu ia bukan manusia tanpa masalah. Tapi ia tak peduli keadaannya sendiri, masalah orang lain selalu mendapat perhatian cukup darinya. Tapi kali ini, memang bukan masalah yang ingin kuadukan.

Kuambil botol teh dingin itu, membuka dan meneguknya perlahan setelah mengucap basmallah. Kulirik Dia juga melakukan hal yang sama. Alhamdulillah, cukup sebagai pelepas dahaga di siang yang terik ini.

Aku tersenyum menatapnya, “Dia, aku kangen sama kamu. Kangen sama Tamam dan masa kita di SMA. Ah, seandainya saja ku bisa membawa waktu berputar kembali, aku hanya ingin mengulang masa itu bersama kalian berdua.”

Dia terkekeh. “Kamu kenapa say? Kok tiba—tiba jadi melow gitu sih”

“He.. aku, entah ya..akhir-akhir ini keinget kalian berdua terus”
“kok bisa, kenapa? Boleh aku tahu, apa yang kamu pikirkan soal aku dan Tamam?” wajahnya berubah lebih serius.

“ Ummm, kamu memang selalu bisa membaca pikiranku Dia. Lihat saja.. sudah seperti paranormal. Dan celakanya, aku harus mengakuinya kali ini” aku hampir saja tertawa lepas mengatakannya. Kalau saja tidak ingat sedang di kantor sekolah.

“hemm.... Tamam kenapa say?” wajahnya menunjukkan raut khawatir.

“tenang saja, Tamam baik. Katanya minggu depan mau berangkat tugas lagi. Kemana sih?”

“Flores, sampai sepuluh bulan kedepan rencananya”

“ahay, ternyata kau masih sama. Eh, kalian maksudku. Tamam bahkan tak menjawab saat kutanya tugas kemana. Tapi denganmu, apapun kamu tahu tentangnya. Seolah kamu selalu di sampingnya”

Aku mengerlingkan mata menggodanya. Dia tersipu.

“Biasa aja laah, hmm... kupikir ada kabar apa yang bikin kamu kesini hari ini” ia mencoba mengalihkan perhatian.

“Err, iya maaf.. aku bercanda. Begini, aku sedang berfikir kerasa bagaimana caranya supaya kamu dan Tamam segera menikah.”

“Hahhh??? Apaaaa?” Dia terbelalak

“Eits, tenaaaang,, jangan marah yaa...” aku mengatupkam tanganku di mulutnya. Hampir saja ia histeris, alangkah buruk kalau sampai ada orang lain yang mendengar. Untunglah Dia sudah punya ruangan khusus di sekolah itu. Posisi guru kelas memberinya ruang gerak yang cukup di kantor dengan meja dan kursi warna abu-abu. Meski tak luas, kantornya bahkan jauh lebih rapi dibanding dapurku dirumah. Ah, kenapa tiba-tiba keinget dapur yang “rapi” itu lagi?

“aku kesini untuk ......... memastikan perasaanmu”. Susah payah kurangkai kalimat itu, lalu meluncur terbata.

Dia mengernyit tak mengerti.

“Lebih tepatnya memastikan perasaan kalian berdua” aku menatapnya serius. Berharap semua akan berjalan lancar.

“apa pentingnya, Nia? Toh semua sudah jelas, kan? Kau tahu, Tamam tidak punya perasaan khusus buatku. Aku juga, ah biarlah semua jadi masalalu Nia... “ ia tersenyum datar, sama sekali tak menggambarkan perasaan hatinya. Tapi aku tak sehari dua hari mengenalnya. Ia butuh usaha lebih keras jika ingin menyembunyikan perasaannya dihadapanku. 

(bersambung) 

#ODOP

0 comments:

Post a Comment

Popular Posts

Blogger templates

Blogroll

About

Search This Blog

Powered by Blogger.
 

Designed by: Compartidísimo
Images by: DeliciousScraps©