Monday, 4 April 2016

Reduksi Korupsi

| |




Kalau lihat berita di TV, koran, atau timeline dan trending topic sekarang, apa yang lebih dominan?


Selain berita tentang pelaksanaan UN, kabar tentang korupsi dan reklamasi masih mendominasi. Terutama berita tentang korupsi, seolah tak pernah mati dari negeri ini. Satu ditangkap, diadili, menyeret banyak nama lain yang harus ikut dihakimi. Satu kasus belum usai, terbongkar kasus lain yang tak kalah menuntut emosi. 

Apakah korupsi sudah jadi budaya di negeri ini?

Suap menyuap dan penyalahgunaan fasilitas negara oleh pejabat juga tak mau kalah unjuk gigi di layar TV. Ada yang minta fasilitas akomodasi  di luar negeri pakai surat resmi, ada yang tertangkap tangan serah terima uang di kamar mandi, semua “dipaksa” jadi makanan berita sehari-hari.

Entah kemana rasa malu yang harusnya jadi bagian dari harga diri.

Mbok ya, berita itu di penuhi kabar tentang peningkatan prestasi generasi? Perkembangan teknologi, atau apalah yang ngga  bikin jeri.  Itu sih maunya aku. Hehe

Indonesia, negeri tercinta yang “sesungguhnya” kaya raya namun tak berdaya. Menawarkan pesona yang melenakan, namun sesungguhnya sedang dihantam ancaman. Bayangkan kalau berjalan terus seperti ini hingga lima puluh tahun kedepan. Apa jadinya Indonesia? Inikah hasil revolusi mental yang diusung penguasa saat pemilu tiba?

Akankah semua ini berubah dengan sendirinya?

Maksudku, bisakah secara alami Indonesia memperbaiki diri menjadi seperti negara-negara lain yang bebas dari korupsi, suap menyuap, gitu.

Oh please? Kapan yaa korupsi berhasil di reduksi?

Mungkinkah? Mungkinlah! Apa sih yang ngga mungkin di dunia ini? Bukankah semua berawal dari mimpi? Setidaknya, jadikan Indonesia bebas korupsi itu di dalam mimpi. *Eh

Jadi begini, dalam ilmu kimia, dikenal istilah aksi-reaksi. Pencampuran unsur tertentu akan menimbulkan reaksi. Dalam istilah sosiologi, dikelas adanya kaidah kausalitas. Hukum sebab akibat. Dan dalam pembahasan tentang fenomena kehidupan, dikenal istilah hukum karma. Weeh, ini nyambungnya apa ya sama korupsi?

Iyapp, cerdas!! 

Ada sebab yang bisa meng”akibat”kan sesuatu. Ada “aksi” jika berharap timbuk reaksi. Ada “perilaku” yang menimbulkan kejadian serupa. Lalu soal korupsi?

Kita tak perlu menyalahkan para pendahulu, yang melahirkan generasi berbudaya korupsi saat ini. Tak perlu menyalahkan para guru, yang entah kenapa beberapa dekade lalu sebagian dari mereka cenderung membiarkan para  siswanya menyusun strategi contekan saat ujian. Tak perlu menyalahkan pemeritah juga. Tak perlu menyalahkan siapa-siapa, percuma. Hanya membuang energi negatif saja. Anggap saja semua sudah berbuat baik seperti “seharusnya”.

Maka mari kita mulai, mereduksi korupsi.

Pertama, dari diri sendiri, biasakan jujur. Membuang sampah pada tempatnya meski tak seorangpun mengawasi. Berkata jujur meski akibatnya harus ada yang tersakiti. Jujur pada diri sendiri, akan menambah ketenangan hati.

Kedua, dari diri sendiri (lagi). Tularkan energi kejujuran itu pada orang lain. Maksudnya? Buat orang lain juga terbiasa jujur. Orang tua bisa membiasakan jujur pada anaknya, dengan tidak membohongi mereka. Para karyawan bisa menjadi contoh dari temannya, minimal membuat orang lain selalu ingin jujur padanya. Para manajer, pejabat, termasuka sisten rumah tangga? Ah, bisa! Jujur itu membawa manfaat bagi semua. Meski proses untuk menjadikannya budaya mungkin -bisajadi- harus menoreh luka. Jurjur harus dilakukan pada tempatnya. Apalagi para guru, bisa menjadikan kejujuran itu harga tinggi yang harus dibayar oleh siswanya. Di beberapa universitas –termasuk kampus saya- sedang mengupayakan agar jujur membudaya. Para pelaku plagiasi (mudah bagi dosen dan akademisi untuk mengetahui sebuah karya itu plagiasi atau bukan) harus menerima konsekwensi tegas, drop out.

Ketiga, sistemik. Kehidupan manusia di dunia, disadari atau tidak, digerakkan oleh dua kekuatan utama. Pertama kekuatan pribadi, kedua sistem. Tentang pribadi sudah kita bahas tadi, pengaruhnya sebatas pada diri sendiri dan orang disekitarnya. Jika seseorang punya jaringan luas, semakin luas pula pengaruhnya. Namun seluas apapun pengaruh seseorang, katakanlah pemimpin negara atau dunia, masih lebih luas kekuatan sistem dalam mempengaruhi pola hidup manusia. Andai saja aturan wajib membuang sampah pada tempatnya diindonesia tegas berlaku sejak puluhan tahun silam, dan ilegal logging mendapat pengawasan yang tepat, mungkin kita tak perlu menjumpai yang namanya banjir saat ini. Mungkin.

Korupsi merajalela di negeri ini salah satunya karena lemahnya sistem pengawasan. Disamping faktor pribadi, tentunya. Andai setiap penduduk Indonesia menyadari bahwa jujur adalah bagian dari harga diri dan hukum harus ditegakkan dan tak ada celah untuk suap menyuap dan sejenisnya, maka orang-orang yang melakukan korupsi akan malu setidaknya pada dirinya sendiri, dan tak mau melakukan korupsi meski kesempatan terbuka luas.

Maka, upaya pemberantasan korupsi, UN jujur dengan sistem komputer, pengawasan keuangan yang bisa dipertanggungjawabkan, dan tentu perbaikan kepribadian sangat perlu dilakukan. Pemerintah sedang berusaha dengan melaksanakan berbagai programnya, para guru juga harus berusaha dalam proses pendidikan di sekolah. Para orang tua, harus ikut serta menerapkan pola asuh dan pendidikan yang baik dirumah. Semua perlu sinergi, dan kita tak bisa berdiam diri.

Berapa banyak aturan yang bisa dibeli, hukuman yang bisa dinegoisasi, atau vonis tahunan yang nyatanya bisa dihitung hari. Ah sudahlah, maksimalkan saja kemampuan diri. Bukan untuk menutup mata dan menghapus tayangan realita. Hanya sejenak berkaca, sudah pantaskah diri ini memberi nasehat pada dunia? Sementara hati masih tertatih untuk bersuci.


#ODOP

0 comments:

Post a Comment

Popular Posts

Blogger templates

Blogroll

About

Search This Blog

Powered by Blogger.
 

Designed by: Compartidísimo
Images by: DeliciousScraps©