Kalau lihat berita di TV,
koran, atau timeline dan trending topic sekarang, apa yang lebih dominan?
Selain berita tentang
pelaksanaan UN, kabar tentang korupsi dan reklamasi masih mendominasi. Terutama
berita tentang korupsi, seolah tak pernah mati dari negeri ini. Satu
ditangkap, diadili, menyeret banyak nama lain yang harus ikut dihakimi. Satu
kasus belum usai, terbongkar kasus lain yang tak kalah menuntut emosi.
Apakah
korupsi sudah jadi budaya di negeri ini?
Suap menyuap dan penyalahgunaan
fasilitas negara oleh pejabat juga tak mau kalah unjuk gigi di layar TV. Ada
yang minta fasilitas akomodasi di luar
negeri pakai surat resmi, ada yang tertangkap tangan serah terima uang di kamar
mandi, semua “dipaksa” jadi makanan berita sehari-hari.
Entah kemana rasa malu yang
harusnya jadi bagian dari harga diri.
Mbok
ya,
berita itu di penuhi kabar tentang peningkatan prestasi generasi? Perkembangan
teknologi, atau apalah yang ngga bikin jeri.
Itu sih maunya aku. Hehe
Indonesia, negeri tercinta yang
“sesungguhnya” kaya raya namun tak berdaya. Menawarkan pesona yang melenakan,
namun sesungguhnya sedang dihantam ancaman. Bayangkan kalau berjalan terus
seperti ini hingga lima puluh tahun kedepan. Apa jadinya Indonesia? Inikah
hasil revolusi mental yang diusung penguasa saat pemilu tiba?
Akankah semua ini berubah
dengan sendirinya?
Maksudku, bisakah secara alami
Indonesia memperbaiki diri menjadi seperti negara-negara lain yang bebas dari
korupsi, suap menyuap, gitu.
Oh please? Kapan yaa korupsi
berhasil di reduksi?
Mungkinkah? Mungkinlah! Apa sih
yang ngga mungkin di dunia ini? Bukankah semua berawal dari mimpi? Setidaknya,
jadikan Indonesia bebas korupsi itu di dalam mimpi. *Eh
Jadi begini, dalam ilmu kimia,
dikenal istilah aksi-reaksi. Pencampuran unsur tertentu akan menimbulkan
reaksi. Dalam istilah sosiologi, dikelas adanya kaidah kausalitas. Hukum sebab
akibat. Dan dalam pembahasan tentang fenomena kehidupan, dikenal istilah hukum
karma. Weeh, ini nyambungnya apa ya sama korupsi?
Iyapp, cerdas!!
Ada sebab yang
bisa meng”akibat”kan sesuatu. Ada “aksi” jika berharap timbuk reaksi. Ada
“perilaku” yang menimbulkan kejadian serupa. Lalu soal korupsi?
Kita tak perlu menyalahkan para
pendahulu, yang melahirkan generasi berbudaya korupsi saat ini. Tak perlu
menyalahkan para guru, yang entah kenapa beberapa dekade lalu sebagian dari
mereka cenderung membiarkan para
siswanya menyusun strategi contekan saat ujian. Tak perlu menyalahkan
pemeritah juga. Tak perlu menyalahkan siapa-siapa, percuma. Hanya membuang
energi negatif saja. Anggap saja semua sudah berbuat baik seperti “seharusnya”.
Maka mari kita mulai, mereduksi
korupsi.
Pertama, dari diri sendiri,
biasakan jujur. Membuang sampah pada tempatnya meski tak seorangpun mengawasi.
Berkata jujur meski akibatnya harus ada yang tersakiti. Jujur pada diri
sendiri, akan menambah ketenangan hati.
Kedua, dari diri sendiri
(lagi). Tularkan energi kejujuran itu pada orang lain. Maksudnya? Buat orang
lain juga terbiasa jujur. Orang tua bisa membiasakan jujur pada anaknya, dengan
tidak membohongi mereka. Para karyawan bisa menjadi contoh dari temannya, minimal
membuat orang lain selalu ingin jujur padanya. Para manajer, pejabat, termasuka
sisten rumah tangga? Ah, bisa! Jujur itu membawa manfaat bagi semua. Meski
proses untuk menjadikannya budaya mungkin -bisajadi- harus menoreh luka. Jurjur
harus dilakukan pada tempatnya. Apalagi para guru, bisa menjadikan kejujuran
itu harga tinggi yang harus dibayar oleh siswanya. Di beberapa universitas
–termasuk kampus saya- sedang mengupayakan agar jujur membudaya. Para pelaku
plagiasi (mudah bagi dosen dan akademisi untuk mengetahui sebuah karya itu
plagiasi atau bukan) harus menerima konsekwensi tegas, drop out.
Ketiga, sistemik. Kehidupan manusia
di dunia, disadari atau tidak, digerakkan oleh dua kekuatan utama. Pertama kekuatan
pribadi, kedua sistem. Tentang pribadi sudah kita bahas tadi, pengaruhnya
sebatas pada diri sendiri dan orang disekitarnya. Jika seseorang punya jaringan
luas, semakin luas pula pengaruhnya. Namun seluas apapun pengaruh seseorang,
katakanlah pemimpin negara atau dunia, masih lebih luas kekuatan sistem dalam
mempengaruhi pola hidup manusia. Andai saja aturan wajib membuang sampah pada
tempatnya diindonesia tegas berlaku sejak puluhan tahun silam, dan ilegal
logging mendapat pengawasan yang tepat, mungkin kita tak perlu menjumpai yang
namanya banjir saat ini. Mungkin.
Korupsi merajalela di negeri
ini salah satunya karena lemahnya sistem pengawasan. Disamping faktor pribadi,
tentunya. Andai setiap penduduk Indonesia menyadari bahwa jujur adalah bagian
dari harga diri dan hukum harus ditegakkan dan tak ada celah untuk suap menyuap
dan sejenisnya, maka orang-orang yang melakukan korupsi akan malu setidaknya
pada dirinya sendiri, dan tak mau melakukan korupsi meski kesempatan terbuka
luas.
Maka, upaya pemberantasan korupsi, UN jujur dengan sistem komputer, pengawasan keuangan yang bisa dipertanggungjawabkan, dan tentu perbaikan kepribadian sangat perlu dilakukan. Pemerintah sedang berusaha dengan melaksanakan berbagai programnya, para guru juga harus berusaha dalam proses pendidikan di sekolah. Para orang tua, harus ikut serta menerapkan pola asuh dan pendidikan yang baik dirumah. Semua perlu sinergi, dan kita tak bisa berdiam diri.
Maka, upaya pemberantasan korupsi, UN jujur dengan sistem komputer, pengawasan keuangan yang bisa dipertanggungjawabkan, dan tentu perbaikan kepribadian sangat perlu dilakukan. Pemerintah sedang berusaha dengan melaksanakan berbagai programnya, para guru juga harus berusaha dalam proses pendidikan di sekolah. Para orang tua, harus ikut serta menerapkan pola asuh dan pendidikan yang baik dirumah. Semua perlu sinergi, dan kita tak bisa berdiam diri.
Berapa banyak aturan yang bisa
dibeli, hukuman yang bisa dinegoisasi, atau vonis tahunan yang nyatanya bisa
dihitung hari. Ah sudahlah, maksimalkan saja kemampuan diri. Bukan untuk
menutup mata dan menghapus tayangan realita. Hanya sejenak berkaca, sudah
pantaskah diri ini memberi nasehat pada dunia? Sementara hati masih tertatih
untuk bersuci.
#ODOP
0 comments:
Post a Comment