Yogyakarta, Ramadhan 1436 H
Ramadhan, bulan penuh berkah
dan ampunan. Saat yang tepat bagi jiwa untuk mengharap keridhaan Tuhan. Mensucikan
diri, beribadah sepenuh hati. Masjid selalu penuh jama’ah. Pasar sore digelar
dimana-mana menjelang maghrib tiba. Malam pun tak pernah tidur. Seolah langit
dan bumi bersatu padu menyambut bulan suciNya. Gegap gempita dalam hati,
mengharap kasih dari illahi.
Aku masih tinggal di
kota ini meski kuliah sudah selesai semester. Tugas juga sudah dikumpulkan
semua. Tinggal menanti jerih payah hasil pertemuan kuliah dan ujian. Umi
mengijinkanku untuk menikmati ramadhan di kota ini. Sesuai rencana. Hatiku
senang mendengar izinnya.
Tinggal disini kala
liburan bukan tanpa alasan. Rencana itu tercetus begitu saja, beberapa hari
sebelum ramadhan. Untungnya langsung disetujui umi. Jujur, awalnya satu sisi
hatiku ingin pulang. Tapi beberapa hari yang lalu mendengar pertanyaan umi
membuatku berfikir ulang untuk pulang.
“Nak, kapan rencana
kamu menikah? Pikirkan baik-baik ya.. umi sama ayah sudah siap dengan
keputusanmu.” Begitu bunyi kalimat umi sebelum menutup pembicaraan di telepon
tempo hari.
Menikah? Ya Allah....
kenapa satu kata itu terasa begitu rumit?
Aku teringat
pembicaraan dengan kakak beberapa hari yang lalu. Cerita tentang cintaku.
Sebenarnya untuk siapa? Ada banyak nama, tapi tak satupun kutemukan jawabannya.
Apakah hati ini tak bisa merasakan cinta, atau terlalu takut mengakuinya?
Melihat teman menikah,
menerima undangan mereka, selalu terbesit do’a semoga segera menyusul. Tapi
kemudian teringat akan kesiapan diri. Kata orang, kalau nunggu siap, ngga bakal
siap. Nikah itu harus disiap-siapin. Dijalanin.
Tapi, sama siapa?
Rasanya belum ada yang cocok. Oh sayang,
nikah sama siapapun ngga ada yang cocok. Yang ada nyocok-nyocokin. Begitu
nasehat sahabatku. Sungguh, hatiku benar-benar memikirkan hal ini. Sebelumnya,
tak pernah demikian. Semua berjalan biasa saja. Aku tak begitu tertarik pada
cinta.
Bagiku, cinta itu satu
kata penuh makna, sekaligus derita. Iya, derita karena dengan memikirkannya,
semakin aku tak tahu jawabannya. Lalu disebut apa kata ini selain derita?
Sebagai manusia
normal, pernah kusadari ada rasa yang berbeda. Pada dia yang kini entah dimana.
Kekaguman akan sosoknya, menguras seluruh kata dalam jiwa. Menyisakan hampa
saat bersamanya. Lalu sesaat kemudian ia pergi, entah kenapa. Menyisakan
kekosongan diruang jiwa.
Ada beberapa nama,
sebenarnya.
Tunggu, beberapa nama?
Apa maksudnya??
Mungkin lebih tepat,
tak satupun nama mengisi ruang jiwa. Iya, karena aku tak mengizinkannya. Sudah
lama, kubiarkan kosong begitu saja.
Beberapa nama mencoba datang dan pergi, tapi tak satupun benar-benar
tinggal disini. Termasuk dia.
Sungguh, aku tak
mencintainya. Atau malah benar-benar mencintainya? Ahh, cinta itu apa? Kepalaku
terasa berputar. Jika aku berfikir bahwa
cinta harus memiliki, maka itu berarti aku sudah benar-benar melupakannya. Tapi
jika benar bahwa cinta adalah memberi, tanpa berharap untuk kembali, maka
mungkin cinta itu tak pernah mati. Apa yang pernah terjadi, sudah sempurna
dimiliki oleh masa lalu. Termasuk rasaku padanya.
Ah, cerita tentang apa lagi
ini? Haruskah mengingatnya kembali?
Aku sudah sempurna
melupakannya. Membiarkan semua kenangan terkubur tanpa sisa.
Tak satupun nama. Itu
kenyataannya. Dan Umi, harus bersabar untuk menerima pilihan putrinya.
Tak satupun nama. satu kalimat yang terus terngiang di telinganya, suatu hari menjadi bumerang bagi dirinya sendiri.
***
Kota Santri, Ramadhan
1436 H
“Na, jangan nakal!!”
Dengan geram ia menarik tangan putrinya dari atas meja. Ini sudah ketiga kalinya
Finda membentak Hasna, putrinya.
“”Bundaaaaaa..............huwaa...huaaa.....atiiiittttt....Bundaaa.......huwa...huwaa...Buundaaa, akaaallllllllll”
Hasna meraung, terduduk di samping bawah meja, tangannya bergetar, tangan kirinya memegang erat tangan kanannya sambil terus menangis, merasakan cubitan dari bundanya.
Sang nenek datang
tergopoh-gopoh ke ruang tamu,
“A...ada apa ini... Hasna?? Finda, Hasna kenapa?”
“Tau ah buk, dari tadi
dibilangin jangan nakal masih aja bandel!” Finda bersungut-sungut meninggalkan
ruang tamu. Meninggalkan Hasna yang masih meraung-raung, meninggalkan luka dihati putrinya.
Ia tak peduli. Luka di
hatinya lebih berdarah-darah. Pertemuan dengan Rahman tadi pagilah penyebab
hatinya keruh siang ini.
Apa yang terjadi?
#Bersambung ke Surat Buat Hasna 13
#ODOP
1 comments:
Adek jadi galau. Itu si finda muka aja cantik sama anak kayak gitu.
Post a Comment