Thursday, 12 May 2016

Surat Buat Hasna 12

| |




 Yogyakarta, Ramadhan 1436 H

Ramadhan, bulan penuh berkah dan ampunan. Saat yang tepat bagi jiwa untuk mengharap keridhaan Tuhan. Mensucikan diri, beribadah sepenuh hati. Masjid selalu penuh jama’ah. Pasar sore digelar dimana-mana menjelang maghrib tiba. Malam pun tak pernah tidur. Seolah langit dan bumi bersatu padu menyambut bulan suciNya. Gegap gempita dalam hati, mengharap kasih dari illahi.

Aku masih tinggal di kota ini meski kuliah sudah selesai semester. Tugas juga sudah dikumpulkan semua. Tinggal menanti jerih payah hasil pertemuan kuliah dan ujian. Umi mengijinkanku untuk menikmati ramadhan di kota ini. Sesuai rencana. Hatiku senang mendengar izinnya.

Tinggal disini kala liburan bukan tanpa alasan. Rencana itu tercetus begitu saja, beberapa hari sebelum ramadhan. Untungnya langsung disetujui umi. Jujur, awalnya satu sisi hatiku ingin pulang. Tapi beberapa hari yang lalu mendengar pertanyaan umi membuatku berfikir ulang untuk pulang.

“Nak, kapan rencana kamu menikah? Pikirkan baik-baik ya.. umi sama ayah sudah siap dengan keputusanmu.” Begitu bunyi kalimat umi sebelum menutup pembicaraan di telepon tempo hari.

Menikah? Ya Allah.... kenapa satu kata itu terasa begitu rumit?

Aku teringat pembicaraan dengan kakak beberapa hari yang lalu. Cerita tentang cintaku. Sebenarnya untuk siapa? Ada banyak nama, tapi tak satupun kutemukan jawabannya. Apakah hati ini tak bisa merasakan cinta, atau terlalu takut mengakuinya?

Melihat teman menikah, menerima undangan mereka, selalu terbesit do’a semoga segera menyusul. Tapi kemudian teringat akan kesiapan diri. Kata orang, kalau nunggu siap, ngga bakal siap. Nikah itu harus disiap-siapin. Dijalanin.

Tapi, sama siapa? Rasanya belum ada yang cocok. Oh sayang, nikah sama siapapun ngga ada yang cocok. Yang ada nyocok-nyocokin. Begitu nasehat sahabatku. Sungguh, hatiku benar-benar memikirkan hal ini. Sebelumnya, tak pernah demikian. Semua berjalan biasa saja. Aku tak begitu tertarik pada cinta.

Bagiku, cinta itu satu kata penuh makna, sekaligus derita. Iya, derita karena dengan memikirkannya, semakin aku tak tahu jawabannya. Lalu disebut apa kata ini selain derita?

Sebagai manusia normal, pernah kusadari ada rasa yang berbeda. Pada dia yang kini entah dimana. Kekaguman akan sosoknya, menguras seluruh kata dalam jiwa. Menyisakan hampa saat bersamanya. Lalu sesaat kemudian ia pergi, entah kenapa. Menyisakan kekosongan diruang jiwa.

Ada beberapa nama, sebenarnya.

Tunggu, beberapa nama? Apa maksudnya??

Mungkin lebih tepat, tak satupun nama mengisi ruang jiwa. Iya, karena aku tak mengizinkannya. Sudah lama, kubiarkan kosong begitu saja.  Beberapa nama mencoba datang dan pergi, tapi tak satupun benar-benar tinggal disini. Termasuk dia.

Sungguh, aku tak mencintainya. Atau malah benar-benar mencintainya? Ahh, cinta itu apa? Kepalaku terasa berputar.  Jika aku berfikir bahwa cinta harus memiliki, maka itu berarti aku sudah benar-benar melupakannya. Tapi jika benar bahwa cinta adalah memberi, tanpa berharap untuk kembali, maka mungkin cinta itu tak pernah mati. Apa yang pernah terjadi, sudah sempurna dimiliki oleh masa lalu. Termasuk rasaku padanya. 

Ah, cerita tentang apa lagi ini? Haruskah mengingatnya kembali?

Aku sudah sempurna melupakannya. Membiarkan semua kenangan terkubur tanpa sisa.

Tak satupun nama. Itu kenyataannya. Dan Umi, harus bersabar untuk menerima pilihan putrinya.

Tak satupun nama. satu kalimat yang terus terngiang di telinganya, suatu hari menjadi bumerang bagi dirinya sendiri.

 ***

 
Kota Santri, Ramadhan 1436 H

“Na, jangan nakal!!” Dengan geram ia menarik tangan putrinya dari atas meja. Ini sudah ketiga kalinya Finda membentak Hasna, putrinya.

“”Bundaaaaaa..............huwaa...huaaa.....atiiiittttt....Bundaaa.......huwa...huwaa...Buundaaa, akaaallllllllll” Hasna meraung, terduduk di samping bawah meja, tangannya bergetar, tangan kirinya memegang erat tangan kanannya sambil terus menangis, merasakan cubitan dari bundanya.

Sang nenek datang tergopoh-gopoh ke ruang tamu, 

“A...ada apa ini... Hasna?? Finda, Hasna kenapa?”

“Tau ah buk, dari tadi dibilangin jangan nakal masih aja bandel!” Finda bersungut-sungut meninggalkan ruang tamu. Meninggalkan Hasna yang masih meraung-raung,  meninggalkan luka dihati putrinya.

Ia tak peduli. Luka di hatinya lebih berdarah-darah. Pertemuan dengan Rahman tadi pagilah penyebab hatinya keruh siang ini.

 Apa yang terjadi?

#Bersambung ke Surat Buat Hasna 13
#ODOP

1 comments:

Dewie dean said...

Adek jadi galau. Itu si finda muka aja cantik sama anak kayak gitu.

Post a Comment

Popular Posts

Blogger templates

Blogroll

About

Search This Blog

Powered by Blogger.
 

Designed by: Compartidísimo
Images by: DeliciousScraps©