Friday, 20 May 2016

Surat Buat Hasna 18

| |




Sampai di gerbang museum, kami belok kiri. Dua puluh meter kemudian, tepat di depan Monumen Sebelas Maret Syamsi berhenti dan tampak berbicara dengan seseorang. Aku mendekati mereka. Syamsi menyerahkan kamera pada lelaki di depannya.

“Risa, satu foto ngga papa ya?” Ia mengatakan itu saat aku sudah dekat.

“Hah, maksudnya?” Aku tak paham.

“Sini ya mas?” ia berbicara dengan lelaki itu sambil berdiri di sampingku.

“Lihat kamera ya” Katanya setengah berbisik, tepat di depan telingaku.

Oh.... aku speechless. Masih memasang muka bingung saat lelaki itu memberi aba-aba untuk mengambil gambar kami. Dengan latar Monumen Sebelas Maret.

“Dih, mukamu aneh” Katanya setelah melihat hasil jepretan barusan.

Aku merengut, salah siapa minta foto sama si upik abu, batinku.

“Hemm, emang aslinya aneh. Baru nyadar?” Aku menjawab asal. Ia tertawa.

“Sini tak kasih lihat foto yang bagus.” Kataku sambil meminta kameranya. Ia menurut.

“Mas berdiri agak geser sini. Bentar ya...”  Menunjuk tempat lapang dua langkah di sebelah baratnya. Lalu bergerak mundur. Memasang kamera, mencari posisi yang tepat.

“Satu... dua... ti....cheeese” aku memberinya aba-aba.

Lalu tersenyum puas saat melihat hasilnya.

Ia mendekat, ikut melihat. Syamsi tersenyum lepas di foto itu, dengan latar perempatan jalan, gedung kantor pos besar dan gedung Bank BNI lengkap dengan lampu kuning yang sudah mulai menyala dan gaya bangunan ala belanda. Tampak begitu eksotis, ia ikut tersenyum puas.

Beberapa detik kemudian, matanya berkeliling, mencari seseorang. Lalu menemukan pemuda tanggung yang sedang duduk di bangku tak jauh dari tempatnya berdiri. Apa dia minta foto lagi? Katanya tadi satu foto doang, batinku.

Tak lama kemudian ia mendekatiku, kali ini dugaan itu benar. Aku memasang senyum saat lelaki itu memberi aba-aba untuk mengambil gambar.  Jadilah foto berdua kami, yang kedua. Sayang, kali ini ia tak mengijinkanku melihat hasilnya.

“Rahasia,” Katanya sambil menyimpan kamera itu ke dalam tas ransel. Huft, menyebalkan sekali. Aku tak protes lagi. Hanya meninggalkannya menyeberang menuju kantor pos besar, lalu terus ke selatan hingga Altar terlihat semakin dekat. Entah seberapa jauh ia tertinggal, yang kutahu, tak mungkin ia tak mengikuti langkahku.

Aku mengedarkan pandangan, mencari posisi dan penjual makanan yang mungkin bisa jadi santapan pembuka puasa kami. Lalu melangkah lagi.

“Risaki, tunggu....” Suara dibelakangku, sepertinya agak jauh. Aku menoleh ke belakang. Ia melambaikan tangan. Kok bisa tertinggal sejauh itu? Aku mengernyit. Menunggunya dekat, sementara ia setengah berlari mendekatiku.

“Jangan ngambek dong, masa aku ditinggal gitu aja. Kalau hilang kamu tanggung jawab loh!” Protesnya sambil terengah-engah.

“Yee, siapa yang ngambek. Situ aja yang jalannya lelet kaya siput.” Aku mengatakan itu ambil melipat tangan di depan dada.

“Capekk...” Katanya.

“Iya itu, di masjid depan ntar istirahat. Tujuh menit lagi nih. Yuk” Ajakku. Ia mengangguk. Lalu kami melangkah ke Masjid Kauman.

Di Masjid inilah salah satu simbol sejarah organisasi Muhammadiyah mengukir tinta. Masjid dimana Kyai Ahmad Dahlan sempat mendapat penolakan dari para sesepuh dan keraton. Dan sekarang, masjid itu tetap berdiri kokoh dengan desain interior yang tak banyak berubah sejak berdirinya, meski sudah melalui beberapa kali pemugaran. Hanya satu yang tampak mencolok berubah, shaf yang dulu berbaris lurus melintang dari utara ke selatan, sekarang sudah condong sesuai arah kiblat.

Hawa sejuk dan tenang menyambut kami sejak langkah pertama menginjak halaman masjid ini. Kami mengambil tempat lapang di teras, sudah banyak juga jama’ah lain yang menunggu waktu berbuka. Aku teringat, belum beli makanan buat takjil. Lalu bersiap beranjak, tapi seorang ibu menghampiri kami,

“Nak, ini nanti takjilnya ya.. kalau kurang ambil saja sendiri disana.” Sambil menunjuk meja si ujung barat. Beliau menyerahkan dua bungkus makanan dan dua gelas plastik sup buah.

“Maaf, bu?” kataku agak bingung.

“Ini memang disediakan di masjid setiap berbuka. Jadi nikmati saja, ya.. jama’ah lain juga sudah menerima. Biar Ramadhan ini jadi ladang pahala bagi mereka yang berderma“ Sang ibu tersenyum, memaksaku menerima. Aku mengangguk takzim, mengucapkan terima kasih dan membiarkannya berlalu.

Syamsi tersenyum melihatku. “Kenapa?” Tanyaku penasaran.

“Ada tempat lain yang bagus dilihat waktu malam ngga?” Ia balik bertanya. Aku memutar otak.

“Umm.... bukit bintang?” Jawabku

“Kedengarannya bagus. Bisa antar aku kesana?”

“Maaf, aku ngga mau diboncengin mas nya. Malem gini ga ada bis kesana...” Jawabku polos.

“Tapi kamu bisa bawa motor sendiri?” Tanyanya.

“Bisa, lah...tadi aku nyampe sini kan pakai motor” Kulihat mulutnya membentuk angka 0 mendengar jawabanku. Wajahnya lucu.

Adzan berkumandang, setelah membaca do’a kami menikmati takjil yang dibagi tadi. Sejenak kemudian persiapan shalat, setelah itu mencari makan di sekitar alun-alun.

“Nanti habis tarawih ke bukit bintang ya?” Katanya sambil menikmati Gudeg Wijilan yang memang tak jauh dari masjid tempat kami shalat tadi.

“Mas, mau naik apa?” Tanyaku sebelum menyuapkan sesendok nasi ke mulutku sendiri.

“Nanti ada teman yang antar. Kamu sendiri ngga papa?”

“Ya ngga papa...” Jawabku.

Meski sekarang posisinya sebagai musafir, ia masih menjaga tarawih. Sholehnya... anak siapa sih ini? Umi, mau ngga menantu kaya gini? Suara dalam hati berisik mengusik. Aku tersenyum sendiri.

Lepas tarawih, kami kembali ke Altar menunggu teman Syamsi. Sambil menikmati wedang ronde di malam yang dingin, begitu nikmat. Air jahe manis, aci-aci, kacang sangrai, kolang kaling dan roti tawar sebagai isinya menjadi paduan cita rasa khas nusantara. Sementara Syamsi menikmati ronde sambil memainkan kameranya.

“Sa, Cheese...” Shuut...suara kameranya menyimpan memori. Aku cuek. Tetap menghabiskan wedang ronde.

“Assalamu’alaikum, brother...” Seseorang menyapa kami. Aku menoleh, seperti kenal suaranya.

“Mas Amir??” Suara kaget tak dapat kutahan, keluar begitu saja setelah melihat siapa yang datang.

“Loh, oh... Risaki kenal sama Syamsi?” Amir balik bertanya, heran. Kami bertiga saling pandang. Lalu tertawa.

“Oh sempitnya dunia.. wa’alaikumsalam.. kaifil haal akhi....” Syamsi menjabat tangan Amir erat, memeluknya sebagai saudara. Lalu mempersilakannya duduk. Aku mengangguk takzim menyambutnya.

“Jadi?? Risaki ini temanmu Syam? Wah... dia juara kelas loh, kita kan seangkatan” Amir bicara panjang lebar. Memaksa mataku melotot, tak menyangka dia bicara sedetail itu tentangku.

“Wah, mas Amir ngarang tuh mas... dia yang jago bahasa arab. Saya sih apalah..” Sahutku. Masih dengan wedang ronde yang tinggal setengah mangkok.

“ckckckck.... ngga nyangka ya, aku ketemu orang-orang hebat disini. Mau wedang ronde juga, akhi?” Syamsi menimpali. Menawarkan wedang ronde kepada Amir,

“Oh, syukron. Ngga perlu. Tadi sudah cukup menu buka puasanya. Kita langsung berangkat, gimana?”

“Yuk....” Kataku sambil bersiap dan membayar wedang ronde kami sebelum beranjak pergi.

Setengah jam kemudian, kami sampai lalu memarkir motor.

“Masya Allah.... indahnyaaa......” Syamsi memekik girang. Aku dan Amir tersenyum melihatnya.

Bukit bintang memang menawan saat malam. Berada sekitar 700 mdpl, tepat di tepi jalan utama Yogya-Wonosari (GK). Dari spot ini saat malam tiba, kita bisa menikmati indahnya kota Yogyakarta dari ketinggian. Hamparan lampu kelap-kelip di bawah sana seperti pantulan langit dengan ribuan bintang, menakjubkan. Rasanya seperti berdiri di atas bintang. Iya, di- a-tas bintang. Eja pelan-pelan, dan bayangkan sensasinya. Menakjubkan bukan? Syamsi mengambil kamera, lalu mengabadikan beberapa foto. Sekitar jam 9 kami kembali ke kota setelah menikmati jagung bakar sambil bercanda bertiga.

***

Rasanya sudah hampir habis tenagaku saat tiba di kos. Ingin sekali segera menghempaskan diri ke kasur dan berlayar ke pulau mimpi. Tapi kewajiban membersihkan diri sudah melekat erat di kepalaku. Apalagi setelah seharian dari jalan, mana tahu ada setan yang masih nempel ditubuhku? Mau tak mau, seberat apapun itu aku berganti pakaian dan berangkat ke kamar mandi, sekalian ambil wudhu.

Segar sekali rasanya. Kurapikan tempat tidur lalu mematikan lampu setelah mengambil HP di tas, untuk memasang alarm agar tak terlambat bangun sahur.

Ada beberapa pesan yang belum terbaca.

Syamsi-
-Terima kasih untuk hari yang menyenangkan. Semoga bisa terulang di lain kesempatan. Oh ya, tadi kutinggalkan sesuatu di tasmu. Semoga berkenan.-

What?? Aku menyalakan kembali lampu kamar, membuka tas dan mengaduk isinya. Sekotak bross berbentuk bunga warna merah menyala. Kapan dia beli dan masukkan kesana?

Aku bingung mau menjawab apa. Speechless. Tapi hatiku berbunga-bunga.

Pesan berikutnya. Nomor tidak dikenal.
-Mbak.. kemarin mbak mau jenguk Rahman ya?-

Istrinya? Kenapa sms begitu? Aku membalas.

-Kenapa mbak?- sent. Delivered.

-Emang Rahman bilang apa ke pean?- pesan baru datang dan langsung kubuka, nomor yang sama.

-Maksudnya? Mbak pengen tau cerita tentang mas Rahman? Kenapa ngga tanya aja sama dia?- Sungguh, ini bukan urusanku.

-Saya pengen tau dari njenengan. Wong Rahman ngga ngaku- Jawabnya

Aku tak tahu harus membalas apa. Jika kujelaskan semua yang kutahu, akankah dia mengerti tanpa sakit hati? Tanpa berfikir negatif tentang kakak? Atau tentangku? Mungkinkah ia bisa berprasangka baik jika sudah tak ada rasa percaya lagi?

Pertanyaan-pertanyaan itu menggangguku. Mengusir rasa kantuk, meski tak berhasil mengenyahkan lelah dari tubuhku.

-Hmmm...mas Rahman juga ga mau aku cerita ke pean mbak. Maaf yaa.. aku juga ga bisa minta ijin dia buat cerita ke pean...- kataku akhirnya. Sudah lama tak ada chat dari kakak. Sulit juga untuk menghubunginya. Dia pernah memintaku untuk tidak cerita soal sakit itu kepada mbak Finda. Aku sudah berjanji, tak mungkin melanggarnya.

-Loh, maksudnya apa? Pean ada hubungan khusus ke dia?-

Ini pertanyaan atau tuduhan?? Astaghfirullah.. tuh kan, Rumah tangga yang sedang bermasalah memang musibah. Tak bisakah dia lontarkan pertanyaan lain yang lebih logis padaku? Aku menggerutu sendiri.

-Haha..hubungan spesial maksudnya apa? Pean baik-baikin aja mas Rahman kalau mau tau cerita tentang dia. Lebih baik pean tau dari dia langsung daripada saya yang cerita. Ok. Terima kasih-

Sungguh, aku ingin sekali menamparnya jika saja ia katakan itu didepan wajahku, tapi.... ini SMS! Percuma kan aku marah, kalau yang disana ngga paham posisinya. Cukup, aku tak ingin berpanjang kata membahas masalah ini. Aku lelah. Ingin tidur.

Tapi satu pesan berbunyi. Datang lagi, dia.

-Yasudahlah mbak. Ga ada guna aku urusi Rahman.-

Loh, maksudnya apaaa???? Aku tak habis pikir, meski sesama wanita, tak membantuku menerka isi hatinya.

-Kenapa ngga guna? Maaf saya ngga mau ikut campur. Tapi ngga ngerti kenapa istrinya bisa bilang gitu?- jiwa ke-kepo-an ku tak mau tingal diam kali ni. Jari-jari mengetik sendiri, lalu mengirimnya. Tanpa berharap akan ada balasan kalimat yang menyenangkan.

-Saya sudah pisah dengan Rahman mbak. Ndak tau Rahman bilang apa aja ke pean tentangku. Terserahlah mbak, aku udah capek dan menyerah mbak.-

Oh, jadi berita pisah itu benar. Akhirnya tak sepihak ku tahu tentang berita itu.

Tapi dia bicara salah soal kakak. Aku tak terima.

-Dia ga banyak cerita tentang pean. Cuma beberapa kali cerita soal Hasna. Semoga gadis kecil itu tumbuh cerdas saat dewasa nanti ya.-

-Amin. Makasih mbak-. Balasnya. Sudah. Aku tak ingin bicara soal itu lagi. Tapi pesan berikutnya datang lagi.

-Maaf mbak gak banyak cerita tentang saya tapi pernah cerita kan?-  Ohh, please. Aku tak ingin membalas!!! Tapi tak baik membiarkannya penasaran. Jariku mengetik pesan, lagi.

--Cuma cerita kalau mau pisah sama pean. Udah lama ga ada kabar lagi- Berharap ia puas dengan kalimat itu.

Tapi rupanya ia tak menyerah.

-Berarti ceritanya pisah udah lama... ya ini emang jadi kenyataan. Padahal ku pisah masih barusan aja. Lha pean kenal Rahman dimana?-

Ohh, my Allah... what i should to say?? Please.. i would never want to hurt anybody. Belum sempat ku ketik balasan, pesan berikutnya datang.

-Gak habis pikir kok bisa cerita-cerita dan curhat-curhat ke perempuan yang bukan saudara, bukan muhrim tentang rumah tangga dan perceraiannya. Gak habis pikir kok bisa laki-laki seperti itu. Dan mbak harus bisa baca apa maksudnya.. tapi ya sudahlah biar Allah yang tujukkan jalan hidupnya semoga nanti dia menemukan perempuan yang kuat dampingi dia atas sifat dan tabiatnya-

Ohhh...sekali lagi, ingin sekali aku menamparnya. Jika saja ia berdiri didepanku. Meski jika itu terjadi, mungkin sebenarnya aku hanya menatapnya dengan penuh emosi, tanpa melakukan apa-apa. Haruskah kujelaskan semua yang kutahu, lalu membela salah satu?

Dan mbak harus bisa baca apa maksudnya..

Dia pikir apa? Maksud kakak cerita kalau dia mau pisah, lalu berusaha mendekatiku? Atau dia berharap bahwa dugaannya benar bahwa mas Rahman selingkuh? Denganku? Dia pikir... Aku???

Perutku tiba-tiba mual memikirkan semua itu.

Kok bisa, dia begitu menyalahkan kakak, dengan menyebut nama Allah?

Disisi lain, kakak juga melakukan hal yang sama?

Itukah ulah cinta ketika meninggalkan rumah tangga?

Saling menyalahkan dan hilang rasa percaya. Haruskah kupupuk prasangkanya? Tidak, aku tak ingin meninggalkan kesan buruk dihatinya tentang kakak. Segera ku ketik pesan.

-Sekitar sebulan yang lalu kaya’e. Waktu kutanya kabar istrinya gimana. Dia bilang ga pulang dan mau pisah. Setelah itu lama ga ada kabar. Yaudah mbak katanya tadi ngga mau bahas? Aku ngga pengen ikut-ikutan.- sent, delivered sedetik kemudian.
...

Sepi. Semoga itu berarti ia mengerti. Bahwa aku bukan bagian dari pengganggu rumah tangganya. Bahwa aku tak ingin mengusik keputusan mereka. Dan yang terpenting, aku tak ingin citra kakak runtuh dimatanya. Meski tak tahu masalah sebenarnya diantara mereka.

Entah siapa yang salah, perceraian selalu menyisakan sikap saling menyalahkan. Belum pernah kudengar kasus perceraian dengan masing-masing pihak membenarkan pihak yang lain. Kecuali membenarkan keputusan cerai itu sendiri.

Mbak Finda, Hasna.. apa jadinya jika mereka tahu mas Rahman sedang berjuang sendiri menyambut kematian dalam sepi?

Aku memejamkan mata, merapal do’a sebelum tidur. Ditambah do’a semoga jika kelak aku berumah tangga, cinta selalu terjaga hingga akhir masa. Hingga cerai tak pernah jadi pilihan untuk menyelesaikan masalah yang mendera.

 Meski aku masih tak tahu, akan menikah dengan siapa?

#Bersambung ke Surat Buat Hasna 19
#ODOP

7 comments:

Wiwid Nurwidayati said...

Pengin me bukit bintang. Menikah dgn siapa ya?

Na said...

Nikah sama yg ngasi bros merah. 😀

Unknown said...

Yeeeaaaaa.....ada yg selfie2..asyikk nih...ikut selfie dong....

Walah malah gagal fokus...#maaf

Lisa Lestari said...

Bukit Bintang di mana? belum. belum pernah kesana

Sang Mahadewa said...

Semoga do'anya cpt terkabul. Amin.
Hehee

RahimDani said...

Aamin... (^_^)

Dewie dean said...

Menikah sama si itu.aamiin

Post a Comment

Popular Posts

Blogger templates

Blogroll

About

Search This Blog

Powered by Blogger.
 

Designed by: Compartidísimo
Images by: DeliciousScraps©