Sampai
di gerbang museum, kami belok kiri. Dua puluh meter kemudian, tepat di depan
Monumen Sebelas Maret Syamsi berhenti dan tampak berbicara dengan seseorang.
Aku mendekati mereka. Syamsi menyerahkan kamera pada lelaki di depannya.
“Risa,
satu foto ngga papa ya?” Ia mengatakan itu saat aku sudah dekat.
“Hah,
maksudnya?” Aku tak paham.
“Sini
ya mas?” ia berbicara dengan lelaki itu sambil berdiri di sampingku.
“Lihat
kamera ya” Katanya setengah berbisik, tepat di depan telingaku.
Oh....
aku speechless. Masih memasang muka bingung saat lelaki itu memberi aba-aba
untuk mengambil gambar kami. Dengan latar Monumen Sebelas Maret.
“Dih,
mukamu aneh” Katanya setelah melihat hasil jepretan barusan.
Aku
merengut, salah siapa minta foto sama si upik abu, batinku.
“Hemm,
emang aslinya aneh. Baru nyadar?” Aku menjawab asal. Ia tertawa.
“Sini
tak kasih lihat foto yang bagus.” Kataku sambil meminta kameranya. Ia menurut.
“Mas
berdiri agak geser sini. Bentar ya...”
Menunjuk tempat lapang dua langkah di sebelah baratnya. Lalu bergerak
mundur. Memasang kamera, mencari posisi yang tepat.
“Satu...
dua... ti....cheeese” aku memberinya aba-aba.
Lalu
tersenyum puas saat melihat hasilnya.
Ia
mendekat, ikut melihat. Syamsi tersenyum lepas di foto itu, dengan latar
perempatan jalan, gedung kantor pos besar dan gedung Bank BNI lengkap dengan
lampu kuning yang sudah mulai menyala dan gaya bangunan ala belanda. Tampak
begitu eksotis, ia ikut tersenyum puas.
Beberapa
detik kemudian, matanya berkeliling, mencari seseorang. Lalu menemukan pemuda
tanggung yang sedang duduk di bangku tak jauh dari tempatnya berdiri. Apa dia
minta foto lagi? Katanya tadi satu foto doang, batinku.
Tak
lama kemudian ia mendekatiku, kali ini dugaan itu benar. Aku memasang senyum
saat lelaki itu memberi aba-aba untuk mengambil gambar. Jadilah foto berdua kami, yang kedua. Sayang,
kali ini ia tak mengijinkanku melihat hasilnya.
“Rahasia,”
Katanya sambil menyimpan kamera itu ke dalam tas ransel. Huft, menyebalkan
sekali. Aku tak protes lagi. Hanya meninggalkannya menyeberang menuju kantor
pos besar, lalu terus ke selatan hingga Altar terlihat semakin dekat. Entah seberapa
jauh ia tertinggal, yang kutahu, tak mungkin ia tak mengikuti langkahku.
Aku
mengedarkan pandangan, mencari posisi dan penjual makanan yang mungkin bisa
jadi santapan pembuka puasa kami. Lalu melangkah lagi.
“Risaki,
tunggu....” Suara dibelakangku, sepertinya agak jauh. Aku menoleh ke belakang.
Ia melambaikan tangan. Kok bisa tertinggal sejauh itu? Aku mengernyit.
Menunggunya dekat, sementara ia setengah berlari mendekatiku.
“Jangan
ngambek dong, masa aku ditinggal gitu aja. Kalau hilang kamu tanggung jawab
loh!” Protesnya sambil terengah-engah.
“Yee,
siapa yang ngambek. Situ aja yang jalannya lelet kaya siput.” Aku mengatakan
itu ambil melipat tangan di depan dada.
“Capekk...”
Katanya.
“Iya
itu, di masjid depan ntar istirahat. Tujuh menit lagi nih. Yuk” Ajakku. Ia
mengangguk. Lalu kami melangkah ke Masjid Kauman.
Di
Masjid inilah salah satu simbol sejarah organisasi Muhammadiyah mengukir tinta.
Masjid dimana Kyai Ahmad Dahlan sempat mendapat penolakan dari para sesepuh dan
keraton. Dan sekarang, masjid itu tetap berdiri kokoh dengan desain interior
yang tak banyak berubah sejak berdirinya, meski sudah melalui beberapa kali
pemugaran. Hanya satu yang tampak mencolok berubah, shaf yang dulu berbaris
lurus melintang dari utara ke selatan, sekarang sudah condong sesuai arah
kiblat.
Hawa
sejuk dan tenang menyambut kami sejak langkah pertama menginjak halaman masjid
ini. Kami mengambil tempat lapang di teras, sudah banyak juga jama’ah lain yang
menunggu waktu berbuka. Aku teringat, belum beli makanan buat takjil. Lalu
bersiap beranjak, tapi seorang ibu menghampiri kami,
“Nak,
ini nanti takjilnya ya.. kalau kurang ambil saja sendiri disana.” Sambil
menunjuk meja si ujung barat. Beliau menyerahkan dua bungkus makanan dan dua
gelas plastik sup buah.
“Maaf,
bu?” kataku agak bingung.
“Ini
memang disediakan di masjid setiap berbuka. Jadi nikmati saja, ya.. jama’ah
lain juga sudah menerima. Biar Ramadhan ini jadi ladang pahala bagi mereka yang
berderma“ Sang ibu tersenyum, memaksaku menerima. Aku mengangguk takzim,
mengucapkan terima kasih dan membiarkannya berlalu.
Syamsi
tersenyum melihatku. “Kenapa?” Tanyaku penasaran.
“Ada
tempat lain yang bagus dilihat waktu malam ngga?” Ia balik bertanya. Aku
memutar otak.
“Umm....
bukit bintang?” Jawabku
“Kedengarannya
bagus. Bisa antar aku kesana?”
“Maaf,
aku ngga mau diboncengin mas nya. Malem gini ga ada bis kesana...” Jawabku
polos.
“Tapi
kamu bisa bawa motor sendiri?” Tanyanya.
“Bisa,
lah...tadi aku nyampe sini kan pakai motor” Kulihat mulutnya membentuk angka 0
mendengar jawabanku. Wajahnya lucu.
Adzan
berkumandang, setelah membaca do’a kami menikmati takjil yang dibagi tadi. Sejenak
kemudian persiapan shalat, setelah itu mencari makan di sekitar alun-alun.
“Nanti
habis tarawih ke bukit bintang ya?” Katanya sambil menikmati Gudeg Wijilan yang
memang tak jauh dari masjid tempat kami shalat tadi.
“Mas,
mau naik apa?” Tanyaku sebelum menyuapkan sesendok nasi ke mulutku sendiri.
“Nanti
ada teman yang antar. Kamu sendiri ngga papa?”
“Ya
ngga papa...” Jawabku.
Meski sekarang posisinya sebagai musafir, ia masih
menjaga tarawih. Sholehnya... anak siapa sih ini? Umi, mau ngga menantu kaya
gini? Suara dalam hati berisik mengusik. Aku tersenyum sendiri.
Lepas
tarawih, kami kembali ke Altar menunggu teman Syamsi. Sambil menikmati wedang
ronde di malam yang dingin, begitu nikmat. Air jahe manis, aci-aci, kacang
sangrai, kolang kaling dan roti tawar sebagai isinya menjadi paduan cita rasa
khas nusantara. Sementara Syamsi menikmati ronde sambil memainkan kameranya.
“Sa,
Cheese...” Shuut...suara kameranya menyimpan memori. Aku cuek. Tetap
menghabiskan wedang ronde.
“Assalamu’alaikum,
brother...” Seseorang menyapa kami. Aku menoleh, seperti kenal suaranya.
“Mas
Amir??” Suara kaget tak dapat kutahan, keluar begitu saja setelah melihat siapa
yang datang.
“Loh,
oh... Risaki kenal sama Syamsi?” Amir balik bertanya, heran. Kami bertiga
saling pandang. Lalu tertawa.
“Oh
sempitnya dunia.. wa’alaikumsalam.. kaifil haal akhi....” Syamsi menjabat
tangan Amir erat, memeluknya sebagai saudara. Lalu mempersilakannya duduk. Aku
mengangguk takzim menyambutnya.
“Jadi??
Risaki ini temanmu Syam? Wah... dia juara kelas loh, kita kan seangkatan” Amir
bicara panjang lebar. Memaksa mataku melotot, tak menyangka dia bicara sedetail
itu tentangku.
“Wah,
mas Amir ngarang tuh mas... dia yang jago bahasa arab. Saya sih apalah..”
Sahutku. Masih dengan wedang ronde yang tinggal setengah mangkok.
“ckckckck....
ngga nyangka ya, aku ketemu orang-orang hebat disini. Mau wedang ronde juga,
akhi?” Syamsi menimpali. Menawarkan wedang ronde kepada Amir,
“Oh,
syukron. Ngga perlu. Tadi sudah cukup menu buka puasanya. Kita langsung
berangkat, gimana?”
“Yuk....”
Kataku sambil bersiap dan membayar wedang ronde kami sebelum beranjak pergi.
Setengah
jam kemudian, kami sampai lalu memarkir motor.
“Masya
Allah.... indahnyaaa......” Syamsi memekik girang. Aku dan Amir tersenyum
melihatnya.
Bukit
bintang memang menawan saat malam. Berada sekitar 700 mdpl, tepat di tepi jalan
utama Yogya-Wonosari (GK). Dari spot ini saat malam tiba, kita bisa menikmati
indahnya kota Yogyakarta dari ketinggian. Hamparan lampu kelap-kelip di bawah
sana seperti pantulan langit dengan ribuan bintang, menakjubkan. Rasanya
seperti berdiri di atas bintang. Iya, di- a-tas bintang. Eja pelan-pelan, dan
bayangkan sensasinya. Menakjubkan bukan? Syamsi mengambil kamera, lalu
mengabadikan beberapa foto. Sekitar jam 9 kami kembali ke kota setelah
menikmati jagung bakar sambil bercanda bertiga.
***
Rasanya
sudah hampir habis tenagaku saat tiba di kos. Ingin sekali segera menghempaskan
diri ke kasur dan berlayar ke pulau mimpi. Tapi kewajiban membersihkan diri
sudah melekat erat di kepalaku. Apalagi setelah seharian dari jalan, mana tahu
ada setan yang masih nempel ditubuhku? Mau tak mau, seberat apapun itu aku
berganti pakaian dan berangkat ke kamar mandi, sekalian ambil wudhu.
Segar
sekali rasanya. Kurapikan tempat tidur lalu mematikan lampu setelah mengambil
HP di tas, untuk memasang alarm agar tak terlambat bangun sahur.
Ada
beberapa pesan yang belum terbaca.
Syamsi-
-Terima kasih untuk hari yang menyenangkan. Semoga
bisa terulang di lain kesempatan. Oh ya, tadi kutinggalkan sesuatu di tasmu.
Semoga berkenan.-
What??
Aku menyalakan kembali lampu kamar, membuka tas dan mengaduk isinya. Sekotak
bross berbentuk bunga warna merah menyala. Kapan dia beli dan masukkan kesana?
Aku
bingung mau menjawab apa. Speechless. Tapi
hatiku berbunga-bunga.
Pesan
berikutnya. Nomor tidak dikenal.
-Mbak.. kemarin mbak mau jenguk Rahman ya?-
Istrinya?
Kenapa sms begitu? Aku membalas.
-Kenapa mbak?- sent. Delivered.
-Emang Rahman bilang apa ke pean?- pesan
baru datang dan langsung kubuka, nomor yang sama.
-Maksudnya? Mbak pengen tau cerita tentang mas
Rahman? Kenapa ngga tanya aja sama dia?- Sungguh, ini bukan
urusanku.
-Saya pengen tau dari njenengan. Wong Rahman
ngga ngaku- Jawabnya
Aku
tak tahu harus membalas apa. Jika kujelaskan semua yang kutahu, akankah dia
mengerti tanpa sakit hati? Tanpa berfikir negatif tentang kakak? Atau
tentangku? Mungkinkah ia bisa berprasangka baik jika sudah tak ada rasa percaya
lagi?
Pertanyaan-pertanyaan
itu menggangguku. Mengusir rasa kantuk, meski tak berhasil mengenyahkan lelah
dari tubuhku.
-Hmmm...mas Rahman juga ga mau aku cerita ke
pean mbak. Maaf yaa.. aku juga ga bisa minta ijin dia buat cerita ke pean...-
kataku akhirnya. Sudah lama tak ada chat dari kakak. Sulit juga untuk
menghubunginya. Dia pernah memintaku untuk tidak cerita soal sakit itu kepada
mbak Finda. Aku sudah berjanji, tak mungkin melanggarnya.
-Loh, maksudnya apa? Pean ada hubungan khusus
ke dia?-
Ini
pertanyaan atau tuduhan?? Astaghfirullah.. tuh kan, Rumah tangga yang sedang
bermasalah memang musibah. Tak bisakah dia lontarkan pertanyaan lain yang lebih
logis padaku? Aku menggerutu sendiri.
-Haha..hubungan spesial maksudnya apa? Pean
baik-baikin aja mas Rahman kalau mau tau cerita tentang dia. Lebih baik pean
tau dari dia langsung daripada saya yang cerita. Ok. Terima kasih-
Sungguh,
aku ingin sekali menamparnya jika saja ia katakan itu didepan wajahku, tapi....
ini SMS! Percuma kan aku marah, kalau yang disana ngga paham posisinya. Cukup,
aku tak ingin berpanjang kata membahas masalah ini. Aku lelah. Ingin tidur.
Tapi
satu pesan berbunyi. Datang lagi, dia.
-Yasudahlah mbak. Ga ada guna aku urusi
Rahman.-
Loh,
maksudnya apaaa???? Aku tak habis pikir, meski sesama wanita, tak membantuku
menerka isi hatinya.
-Kenapa ngga guna? Maaf saya ngga mau ikut
campur. Tapi ngga ngerti kenapa istrinya bisa bilang gitu?- jiwa ke-kepo-an
ku tak mau tingal diam kali ni. Jari-jari mengetik sendiri, lalu mengirimnya.
Tanpa berharap akan ada balasan kalimat yang menyenangkan.
-Saya sudah pisah dengan Rahman mbak. Ndak
tau Rahman bilang apa aja ke pean tentangku. Terserahlah mbak, aku udah capek
dan menyerah mbak.-
Oh,
jadi berita pisah itu benar. Akhirnya tak sepihak ku tahu tentang berita itu.
Tapi
dia bicara salah soal kakak. Aku tak terima.
-Dia ga banyak cerita tentang pean. Cuma
beberapa kali cerita soal Hasna. Semoga gadis kecil itu tumbuh cerdas saat
dewasa nanti ya.-
-Amin. Makasih mbak-.
Balasnya. Sudah. Aku tak ingin bicara soal itu lagi. Tapi pesan berikutnya
datang lagi.
-Maaf mbak gak banyak cerita tentang saya
tapi pernah cerita kan?- Ohh,
please. Aku tak ingin membalas!!! Tapi tak baik membiarkannya penasaran. Jariku
mengetik pesan, lagi.
--Cuma cerita kalau mau pisah sama pean. Udah
lama ga ada kabar lagi- Berharap ia puas dengan kalimat itu.
Tapi
rupanya ia tak menyerah.
-Berarti ceritanya pisah udah lama... ya ini
emang jadi kenyataan. Padahal ku pisah masih barusan aja. Lha pean kenal Rahman
dimana?-
Ohh,
my Allah... what i should to say??
Please.. i would never want to hurt anybody. Belum sempat ku ketik balasan,
pesan berikutnya datang.
-Gak habis pikir kok bisa cerita-cerita dan
curhat-curhat ke perempuan yang bukan saudara, bukan muhrim tentang rumah
tangga dan perceraiannya. Gak habis pikir kok bisa laki-laki seperti itu. Dan
mbak harus bisa baca apa maksudnya.. tapi ya sudahlah biar Allah yang tujukkan
jalan hidupnya semoga nanti dia menemukan perempuan yang kuat dampingi dia atas
sifat dan tabiatnya-
Ohhh...sekali
lagi, ingin sekali aku menamparnya. Jika saja ia berdiri didepanku. Meski jika
itu terjadi, mungkin sebenarnya aku hanya menatapnya dengan penuh emosi, tanpa
melakukan apa-apa. Haruskah kujelaskan semua yang kutahu, lalu membela salah
satu?
Dan mbak
harus bisa baca apa maksudnya..
Dia
pikir apa? Maksud kakak cerita kalau dia mau pisah, lalu berusaha mendekatiku?
Atau dia berharap bahwa dugaannya benar bahwa mas Rahman selingkuh? Denganku?
Dia pikir... Aku???
Perutku
tiba-tiba mual memikirkan semua itu.
Kok
bisa, dia begitu menyalahkan kakak, dengan menyebut nama Allah?
Disisi
lain, kakak juga melakukan hal yang sama?
Itukah
ulah cinta ketika meninggalkan rumah tangga?
Saling
menyalahkan dan hilang rasa percaya. Haruskah kupupuk prasangkanya? Tidak, aku
tak ingin meninggalkan kesan buruk dihatinya tentang kakak. Segera ku ketik
pesan.
-Sekitar sebulan yang lalu kaya’e. Waktu
kutanya kabar istrinya gimana. Dia bilang ga pulang dan mau pisah. Setelah itu
lama ga ada kabar. Yaudah mbak katanya tadi ngga mau bahas? Aku ngga pengen
ikut-ikutan.- sent, delivered sedetik kemudian.
...
Sepi.
Semoga itu berarti ia mengerti. Bahwa aku bukan bagian dari pengganggu rumah
tangganya. Bahwa aku tak ingin mengusik keputusan mereka. Dan yang terpenting,
aku tak ingin citra kakak runtuh dimatanya. Meski tak tahu masalah sebenarnya
diantara mereka.
Entah
siapa yang salah, perceraian selalu menyisakan sikap saling menyalahkan. Belum
pernah kudengar kasus perceraian dengan masing-masing pihak membenarkan pihak
yang lain. Kecuali membenarkan keputusan cerai itu sendiri.
Mbak
Finda, Hasna.. apa jadinya jika mereka tahu mas Rahman sedang berjuang sendiri
menyambut kematian dalam sepi?
Aku
memejamkan mata, merapal do’a sebelum tidur. Ditambah do’a semoga jika kelak
aku berumah tangga, cinta selalu terjaga hingga akhir masa. Hingga cerai tak
pernah jadi pilihan untuk menyelesaikan masalah yang mendera.
Meski aku masih tak tahu, akan menikah dengan siapa?
#Bersambung ke Surat Buat Hasna 19
#ODOP
7 comments:
Pengin me bukit bintang. Menikah dgn siapa ya?
Nikah sama yg ngasi bros merah. 😀
Yeeeaaaaa.....ada yg selfie2..asyikk nih...ikut selfie dong....
Walah malah gagal fokus...#maaf
Bukit Bintang di mana? belum. belum pernah kesana
Semoga do'anya cpt terkabul. Amin.
Hehee
Aamin... (^_^)
Menikah sama si itu.aamiin
Post a Comment