Sepi.
Semoga itu berarti ia mengerti. Bahwa aku bukan bagian dari pengganggu rumah
tangganya. Bahwa aku tak ingin mengusik keputusan mereka. Dan yang terpenting,
aku tak ingin citra kakak runtuh dimatanya. Meski tak tahu masalah sebenarnya
diantara mereka.
Entah
siapa yang salah, perceraian selalu menyisakan sikap saling menyalahkan. Belum
pernah kudengar kasus perceraian dengan masing-masing pihak membenarkan pihak
yang lain. Kecuali membenarkan keputusan cerai itu sendiri.
Mbak Finda,
Hasna.. apa jadinya jika mereka tahu mas Rahman sedang berjuang sendiri
menyambut kematian dalam sepi?
Aku
memejamkan mata, merapal do’a sebelum tidur. Ditambah do’a semoga jika kelak
aku berumah tangga, cinta selalu terjaga hingga akhir masa. Hingga cerai tak
pernah jadi pilihan untuk menyelesaikan masalah yang mendera.
Meski
aku masih tak tahu, akan menikah dengan siapa?
***
Sesuai
rencana, libur hari raya aku pulang ke kota santri kembali. Menemui sanak
saudara dan merayakan hari kemenangan. Sampai beberapa hari setelahnya, aku
baru ingat harus ketemu kakak.
Aku
ragu. Haruskah menghubunginya terlebih dahulu?
Sungguh,
aku tak ingin prasangka mbak Finda meraja. Ini bukan saat yang tepat
menceritakan semuanya. Tidak tepat untukku. Memang harusnya bukan aku yang
memberitahu semua padanya.
Ya
Allahu Rabb...
Engkau
yang Maha Tahu, betapa lemahnya aku.
Engkau
yang Maha Kuasa, atas setiap cerita.
***
Jika
kucoba hubungi kakak, mungkin saja mbak Finda mengetahui. Lalu jika itu
terjadi.. pasti dia kembali curiga. Mengira aku selingkuhan kakak. Atau
setidaknya, mengira kakak yang menggoda.
Bisa
saja, ia berfikir bahwa akulah penyebab kakak menyetujui permintaannya untuk
bercerai. Dan... akulah penyebab kakak bahagia berpisah dengannya?
Oh,
tidak, tidak. Sebaiknya aku tidak menghubunginya.
Kakak
sudah tahu kalau aku dirumah saat hari raya tiba. Harusnya ia menghubungiku
jika memang penting untuk bertemu. Tak pantas rasanya aku hubungi dia lebih
dulu.
***
Apa
yang sebenarnya bisa diharapkan dari perceraian?
Aku
memejamkan mata. Tepat di malam ke tujuh di bulan syawwal. Rumah sudah mulai
sepi dari para tamu. Aku bisa merebahkan diri lebih awal. Menikmati pelukan
tempat tidur yang nyaman. Tapi tak senyaman apa yang terlintas dalam pikiran.
Ia sedang dalam pengembaraan. Mencoba mengingat berapa cerita perceraian yang
sempat mampir di kepala.
Lani
yang dua kali bercerai dan sekarang sudah menikah lagi, yang ketiga kali. Imel
dan Panji yang dulu teman sekelas, menikah sebelum mendaftarkan diri di
perguruan tinggi, berpisah saat selesai kuliah. Lalu Ika, terdengar bertengkar
setelah tiga bulan pesta pernikahan, dan resmi cerai setahun kemudian.
Prasetya, yang memilih menjadi duda setelah setahun mencoba berdamai, namun
akhirnya sang istri menuntut cerai. Sekarang ia sudah menikah lagi, daripada
terjebak nafsu lelaki katanya.
Entah
diluar sana, berapa banyak lagi perceraian yang harus jadi pelajaran. Tapi
benarkah setiappelakunya mendapat pelajaran?
Kepalaku
terasa pusing memikirkan semua. Kembali teringat pada kakak. Benarkah cerai
bisa jadi jalan terbaik untuknya? Bahkan jika benar sisa hidupnya tak lagi
lama? Mataku sudah terpejam saat sebuah pesan datang menyalakan layar HP-ku.
“Dek, besok temui aku di foodcourt mall
Keraton jam 1 siang, selesai dhuhur”
3 comments:
Bagaimana kabar rahman sekarang ini?
hmm dag dig duhg nggak mau ketemu rahman?
Ceritanya panjanggg... hebat mbak kifa bisa bikin begini.
Post a Comment