Aku
melangkah ragu, menyeberangi jalan setelah memarkir motor. Menuju mall yang
dikatakan kakak. Entah dia benar-benar disana atau tidak. Terik matahari tak
mengusik perhatianku meski harus berkeringat melangkah ditengah siang yang
terik ini.
Entah
seseorang yang kusebut kakak, Mas Rahman, di dalam sana atau tidak. Aku meragukannya.
Setengah menahan langkahku untuk benar-benar memenuhi undangan itu. Haruskah
kami bertemu?
Memasuki
teras mall, hawa dingin mulai menyerbu. Entah beribu watt setiap hari yang
harus dihabiskan mall ini hanya untuk membuang peluh ditubuh para pengunjung.
Karena pengunjung adalah raja, kata mereka.
Aku
berhenti sejenak, meyakinkan diri. Meneguhkan niat. Kesini semata hanya untuk
memenuhi undangan. Meski tanpa konfirmasi, ku harap kakak mengerti. Bukan
masalah yang ingin kutimbulkan disini.
Aku
mengenakan gamis coklat, berkerudung dan warna tas senada. Flat shoes ini
membuatku merasa ringan melangkah. Langsung menuju foodcourt. Mengedarkan
pandangan, antara berharap dia ada disana, atau tidak sekalian. Entah apa yang
sebenarnya kuharapkan?
Sesosok
lelaki, putih, kurus, rambut ikalnya tertutup topi. Berjaket hitam
tersenyum dan melambaikan tangan ke arahku. Apakah itu...? ohh, seingatku, dulu
masih SMA dia tak sekurus itu. Bisa dibilang tambun, malah. Tapi sekarang?
Meski sisa ketampanannya masih ada disana. Aku menepis pikiran untuk merasa
kasihan. Tak ingin dia menangkap ketidaknyamanan itu. Aku melangkah maju.
“Assalamu’alaikum...
udah lama mas?” Ku angkupkan kedua tangan di depan dada, menyapanya. Kikuk
rasanya, setelah sekian lama...
“Wa’alaikum
salam.. ternyata benar dek, sekarang kamu benar-benar dewasa ya.”
Entah apa
maksud dari kata-katanya. Ia tersenyum menatapku, mata itu seperti takjub
melihat apa yang ad adidepannya. Oh tidak, sepertinya khayalanku melambung
terlalu tinggi. Dia hanya... bangga. Iya, prsis tatapan seorang kakak yang
bangga melihat adiknya. Adik yang dulu tampak culun, cupu, bandel, dan tengil
dimatanya. Kini sudah mampu bersikap dan membawa diri sebagaimana mestinya.
“Maaf
ya, lama nunggu...” Aku melirik jus alpukat yang tinggal setengah gelas besar
di depannya.
“Mau
minum apa dek, pesan aja sendiri ya?” Ia melambaikan tangan memanggil pelayan.
Aku memesan es degan durian. Tampak segar dalam gambar menu yang mereka
sediakan. Lalu duduk menatap kakak yang selama ini hanya kutemui di layar kaca,
tulisannya.
“Jadi,..?”
Aku membuka pembicaraan
“Makasih
ya dek, kamu mau datang. Kukira ngga datang. Ngga ada balasan sama sekali.” Ada
gurat khawatir di wajahnya. Lalu sejenak kemudian berubah jadi lega. Aku
tersenyum melihatnya.
“Maaf,
he...aku juga ragu sebenarnya. Tapi seperti ada yang penting banget. Jadi
akhirnya aku dateng deh.. ada apa sih mas?”
“Hmm,
iya. Ini penting banget, bagiku. Maaf ya kalau ngga penting bagimu?” Kembali
tersirat sedih di matanya, dan jujur.. aku tak tega. Tapi bisa apa?
“Silahkan
mbak... ada yang lain mau dipesan?” suara pelayan yang tadi menahan percakapan
kami. Hanya saling pandang.
“Mau
makan apa dek?” Kakak menyodorkan menu makanan yang tersedia.
“Saya
gado-gado ya mbak? Sama....” Ia melirikku.
“Sama
aja deh mbak, gado-gado dua ya..” Aku menyahut. Pelayan itu mengangguk takzim.
Lalu melangkah pergi setelah mencatat pesanan kami.
“Aku
mau nitip ini.” Kakak mengeluarkan sesuatu dari balik jaketnya. Lalu perlahan
meletakkannya tak jauh dari tanganku. “Simpan ya.” Katanya.
#Bersambung ke Surat Buat Hasna 22
#ODOP
6 comments:
Kira2 apa yang diberikannya yah hehe
Kira2 apa yang diberikannya yah hehe
Apa ya yang dititip?
Yang pasti itu bukan surat cinta. iya kan..kan..kan..kan?
APA tuh
Jadi penasaran
Hmmmm
Post a Comment