Tuesday, 7 June 2016

Surat Buat Hasna 25

| |





Materi berikutnya, teknik menghafal. Ustadz Syamsi (Tak enak kan menyebutnya mas Syamsi disini?) mengajari kami beberapa teknik mudah menghafal. Langsung diaplikasikan. Para peserta langsung di tes untuk menguji hafalan, tak terkecuali aku.

Untunglah, metode sambung ayat. Masih mending kan daripada aku harus menghafal mulai dari awal? Dan semua berjalan baik-baik saja.

Selesai acara, aku ingin langsung pulang biar sampai rumah tidak terlalu malam. Tapi ketika berpamitan, ustadz Adhan menahanku.

“Sebentar.. tunggu di ruang tamu ya... saya ada perlu beneran ini..”

“Baik ustadz,” Jawabku tanpa bisa membantah. Lalu melangkah, menuju ruang sebelah.

Disana sudah ada Ustadz Syamsi. Jantungku berdegup kencang. Hadeehh... apalah ini? Satu sisi hatiku protes tak memahami maksud perasaan jadi tensi begini. Ustadz Adhan mempersilahkanku duduk.

“Jadi begini ustadzah, mitra kita di jogja sudah bertambah. Nah, kita perlu koordinator disana. Yah semacam jembatan buat kami disini untuk mengontrol kualitas mitra-mitra tersebut agar tetap sesuai standar. Gimana, mau ya?”

“Loh ustadz, saya mana bisa? Ilmu saya masih jauh dibawah njenengan, mana bis amenggantikan?” ustadz Adhan ngga salah? Aku jadi koordinator? Aduh, hafalan aja masih belepotan ustadz...batinku.

Mas Syamsi hanya menyimak, memperhatikan kami bergantian. Ustadz Adhan menghela nafas sejenak, lalu meneruskan.

“Antum ini gimana, jangan ngga percaya diri gitulah... Kan sudah pernah jadi koordinator guru Al-Qur’an juga kemarin di SDIT?” Aku hanya nyengir menanggapinya.

“Gimana ya ustadz, berat itu.... tanggung jawabnya. Kecuali mungkin kalau ada partnernya yang lebih senior. Jadi kalau saya ngga bisa kan belajar dulu ke beliaunya... nanti kalau saya masih gini-gini aja ustadz, mana percaya mitra kita sama saya?” Ustadz Adhan tampak berfikir, mungkin benar kataku. Yess, ngga jadi? Takut salah euy! Iya kaan, daripada nerima tanggung jawab yang belum tentu bisa maksimal dilaksanakan?

“Saya bantu, Risaki. Gimana?” Mas Syamsi angkat suara.

Hahhh?? Ngga salah??

“Etapi kan....mas,, eh ustadz Syamsi juga masih studi di luar negeri?” Duh, kenapa keceplosan panggil mas?? Ustadz Adhan tersenyum puas.

“Ustadz Syamsi yakin?” Beliau ikut memastikan.

“Saya tinggal menyelesaikan tesis saja ustadz, bisa di Indonesia. Jadi ngga perlu standby dekat kampus. Dan saya kira, jogja bisa jadi kota tempat tinggal saya selanjutnya. Itupun kalau ustadz izinkan saya mendukung wafa?” Ujarnya manta. Aku ternganga.

Apa maksudya coba?

“Wah, sebentar...saya jadi bingung ini. Kok kebetulan sekali? Saya.... saya senang sekali kalau ustadz Syamsi berkenan mendukung wafa. Terus terang, kita memang masih butuh tambahan tenaga ahli untuk mengembangkan metode ini. Tapi sebentar...maaf, apakah ustadz Syamsi sudah kenal dengan ustadzah Risaki sebelumnya? Soalnya dari tadi saya perhatikan sepertinya kalian saing mengenal, begitu?”

Duhh!!!

Mau jawab apa coba? Aku diam saja. Menunduk.

“Iya ustadz, saya sebelumnya pernah ketemu ustadzah Risaki di jogja. Dan surprise juga ketemu lagi disini. Sepertinya ustadzah Risaki ini luar biasa ya, sehingga ustadz Adhan percaya dan ingin beliau jadi koordinator di jogja?” Mas Syamsi menjelaskan, untung tak terlalu panjang lebar. seperlunya saja ustadz Adhan perlu tau.

“Oohh..jadi begitu. Iya ustadz, ustadzah Risaki ini dulunya ngajar di SDIT, salah satu mitra kami juga. Selama beliau mengajar dan menjadi koordinator guru Al Wur’an di SDIT, track recordnya bagus. Dari pantauan kami nilai tesnya terus mengalami peningkatan. Yah meskipun belum sempurna. Apalagi sekarang kan beliau tinggal di jogja. Jadi biar sekalian saja.” Aduh ust. Adhan... apa ya maksudnya dijelasin panjang lebar begitu.. mas Syamsi jadi tau kan siapa aku? Ntah apa lagi yang harus kukatakan dengan mereka.

“Jadi, gimana ini..ustadzah Risa mau ya jadi koordinator di jogja? Nanti teknisnya gampanglah kita bicarakan lagi. Saya ke sana sama tim kalau sudah siap semua. Apalagi ini, ustadz Syamsi mau bantu. Partner antum luar biasa. Atau jangan-jangan, kalian mau jadi partner hidup juga?” Ustadz Adhan memaksaku menatapnya.

Whatt?? Aku bengong.

Mas Syamsi tertawa.

Ustadz Adhan ikut tersenyum bahagia.

“Loh...ngga papa. Kalian kan masih sama-sama single. Ayolah disegerakan. Biar nanti Wafa ikutan download mantu...” Ustadz Adhan meneruskan. Aku sudah kehilangan kata.

“Yah, ustadz Adhan in bisa saja ya... mohn do’anya saja ya ustadz. Biar kami bisa segera menunaikan sunnah Rasul dan menyempurnakan agama...” Mas Syamsi menjawab dengan entengnya. Membuatku linglung sejenak dibuatnya. Situasi ini, apa artinya semua???

“Loh, tuh kan... wah ustadzah Risaki... ustadz Syamsi, saya pribadi senang sekali kalau beneran ini...” Ustadz Adhan mulai berfikir, ini tak main-main.

Aku juga bingung mau jawab apa? Atau sebaiknya diam saja?

Lalu samar kudengar HP-ku berbunyi. Segera kuambil dari dalam tas punggung. Sms.

Mbak Finda? Ngapain dia?

Assalamu’alaikum. Mbak..maaf cuma mau kasih kabar. Rahman sekarang dirawat di RSUD. Kondisinya semakin turun. Mohon do’anya dan maafkan semua kesalahannya ya

Aku membaca sambil mengira, mbak Finda sudah tau semuanya?

Bahasa smsnya menyiratkan banyak hal. Besok aku harus ke RSUD.

Teringat lagi kejadian beberapa minggu yang lalu saat kami bertemu.. dan, Astaghfirullah.. aku belum sempat membuka apa yang diberi kakak waktu itu! Persiapan lebaran dan setelahnya berhasil membuatku benar-benar lupa. Aduh, maafkan aku mas... batinku.

Lalu sejenak kemudian sadar, aku masih menghadapi dua orang disini!
***

“Bagimana ustadzah, mau ya?” Ustadz Adhan menarikku kembali dalam percakapan sebelumnya.

“Sebentar ustadz,” aku menghela nafas dalam. Berusaha menyusun kata menjadi kalimat yang baik. Lalu menghembuskannya pelan-pelan.

“Saya paham apa yang ustadz Adhan sampaikan. Dan memang kalau dibutuhkan, lalu saya bisa bantu untuk wafa dijogja, sejujurnya saya ndak punya alasan buat menolak. Tapi ini tiba-tiba ustadz Syamsi ingin jadi partner saya juga. Saya sama sekali ndak ngerti ustadz. ‘Afwan, sebelumnya ustadz Syamsi belum bicara apa-apa soal ini. Saya juga baru tau kalau beliau hafidz pagi tadi. Bisakah ustadz Syamsi jelaskan lebih detail kenapa tiba-tiba ingin gabung di jogja?” Aku berusaha menyampaikan kegalauan itu hati-hati. Khawatir ada yang sakit hati.

Hening sejenak, aku jadi tak enak sendiri.

”Ehm, jadi begini ustadzah Risaki,...” Ust.Syamsi menatapku. Aku tak kuasa membalasnya. Hanya menunduk yang kubisa, menatap meja. Ust. Adhan memperhatikan kami berdua, kut tegang juga rupanya. Ekspresi serius kulihat dari pantulan wajahnya di kaca meja.

“Pertama saya tertarik dengan metode pembelajaran Al Qur’an ini. Tadi sebelum mengisi ust.Adhan jelaskan panjang lebar, jadi saya ingin bergabung. Tapi masih belum berani mengutarakan langsung. Nah, sore ini kebetulan sekali apa yang disampaikan ustadz Adhan ke antum mungkin bisa jadi wasilah saya untuk mendukung perkembangan metode ini di jogja. Karena di Surabaya pasti sudah banyak ahlinya. Iya kan?” Aku hanya diam. Maksudku sebenarnya ingin menanyakan, soal pesan yang ia kirim tadi siang. Inikah yang ia maksud? Kalau iya, oh.. maafkan aku ya Rabb..terlalu jauh berprasangka.

“Oh, baiklah. Jadi intinya ustadzah Risa setuju ya?” Ustadz Adhan menyela. Kamis aling pandang.

“Iya, sekalian.. siapa tau kalian berjodoh. Ustadzah Risa belum ada yang khitbah kan?” Ust. Adham meneruskan kalimatnya, darah ditubuhku merespon, langsung berdesir memenuhi rongga wajahku. Mungkin mereka melihatku sudah seperti kepiting rebus saat itu.

“Doakan kami ustadz...” Ust. Syamsi tersenyum di kursinya. Duhh!!

“Saya belum paham. Maksudnya doakan kami apa ya ust.syamsi?” Oh, please... kekepoanku tak terbendung lagi. Ia katakan "doakan kami" bukan yang pertama, pasti bukan kebetulan?

“Iya siapa tau kita jodoh beneran, ngga papa kan?” Ia menjawab enteng. Kepalaku berputar. Oh, tak bisa begini. Harus diperjelas!

“Mas Syamsi emang mau nikah sama aku?”

“Kalau kamunya mau?” Hah??! Duhh!!

“Engga. Ntar mas Syamsi nyesel lagi?”

“Loh, nyesel kenapa?”

“Kita kan baru ketemu dua kali? Mana tau gimana saya yang asli. Apalagi tentang mas Syamsi saya ngga tau sama sekali.” Ustadz Adhan hanya diam menjadi perantara dadakan kami.

“Baik, apa yang perlu kamu tahu tentang saya? Tanyakan saja. Atau kalau ini terlalu cepat, bisa nanti tanyakan saja via WA. Ya? Saya serius.” Ucapnya.

Allahu Rabb..... aku percaya selalu ada yang bisa Engkau buat terjadi tiba-tiba. Seperti ini. Tapi sungguh otakku butuh waktu untuk memahami.

“Tentang umur, misalnya? Saya ngga tau ust.Syamsi lebih tua atau lebih muda dari saya?” Ia diam. Aku pun diam. Entah kenapa pertanyaan itu meluncur begitu saja.

“Sebentar, apakah bagimu umur begitu berarti untuk menentukan jodoh, Risaki?” Tanyanya serius. Aku berfikir. Jelas tau jawabannya.

“Tidak.”

“Lalu kenapa kau tanyakan? Baik, saya tak perlu bertanya soal umurmu. Beberapa minggu yang lalu memang saya tak mengirimu kabar, benar-benar memikirkan soal ini. Maaf, jika diam-diam saya stalking akun facebookmu. Dari situ saya tahu kamu lahir 1987, sementara saya 1990. Tapi pertemuan pertama itu membuka mataku bahwa apa yang ada dalam dirimu sebagian besar kubutuhkan dan sesuai dengan misi hidupku. Lalu saya mencoba istikhoroh. Rencana selesai dari sini sata menemuimu lagi ke jogja. Tapi Allah punya rencana lain, lebih cepat dari yang saya duga, ketemu kamu di surabaya. Sekarang, jawaban selanjutnya ada ditanganmu. Saya siap menerima keputusan apapun itu.”

Speechless.

“S...saya..umm... harus tanya dulu sama Allah. Boleh?” jawabku terbata setelah beberapa saat terdiam merangkai kata.

“Silahkan” Senyumnya meluluhkan hatiku. Andai saja bisa langsung kujawab: iya?

Tapi aku tak ingin tergesa. Meski ingin segera. Sejujurnya.

Aku berpamitan, pulang.

Tak ada yang perlu disampaikan pada ayah dan umi sebelum waktunya. Biar kuyakinkan diri sebelum meyakinkan mereka berdua.

Sebelum tidur, kembali aku teringat sms mba finda tadi. Jadi teringat beberpa surat yang kakak serahkan tempo hari. Kucari di laci. Keluarkan semuanya.

Lima amplop tertera di sampulnya: Surat Buat Hasna pada Ultah ke 16. Surat Buat Hasna pada Ultah ke 18, Surat Buat Hasna pada Ultah ke 20, Surat Buat Hasna pada uLtah ke 21, dan Surat Buat Hasna Dewasa. Lalu sepucuk surat untukku, tanpa judul.

Seingatku, kakak berpesan agar aku memastikan surat itu sampai ke tangan Hasna pada saatnya. Terserah bagaimana caranya. Nanti jika ia berusia 16 tahun, masihkan aku bisa menemuinya dan menyampaikan amanah dari ayahnya?

Kurasa sulit. Maka aku harus cari cara lain. Aku belum ketemu Hasna sama sekali. Tak mungkin bisa mengenali, apalagi jika usianya 16 tahun nanti?

Perlahan, kubuka surat pertama buat Hasna.

Dear Hasna,
Saat kau membca tulisan ini, mungkin ayah sudah behagia di alam yang berbeda. Kehilangan rasa sakit dan segala derita yang bsa terasa hanya di dunia. Dan melihatmu tumbuh dewasa, adalah bagian terbesar dari rasa bahagia yang ayah punya.
Apakah bundamu pernah bercerita tentangku?
Semoga bukan cerita  yang buruk ya. Kini kau sudah remaja. Pasti cantik, dan mungkin masih manja. Layaknya bundamu saat masih SMA, saat pertama aku mengenalnya. Meski bukan dalam romanca cinta.
Dengarkan aku, Hasna. Ayahmu ini hanya ingin menyampaikan hal penting lewat surat ini. Beruntunglah kakak Risaki (anggap dia kakakmu ya) bersedia menyampaikannya padamu. Jadi begini, maaf jika aku tak bisa menulis terlalu panjang. Langsung saja.
Ayah memang tidak bisa mendampingi pertumbuhanmu. Tidak bisa menasehatimu setiap hari seperti saat kau masih bayi. Tapi, kau harus tetap menjaga diri. Jadilah muslimah sejati. Jangan khawatirkan soal rejeki. Allah sudah mengatur untuk setiap nyawa di bumi.
Pada teman Ayah yang di Kalimantan, sudah ayah titipkan hibah sepetak tanah kebun sawit. Nanti bisa kau gunakan jika satnya tiba. Ia akan mencarimu dan menyerahkan hakmu. Tunggu saja. Bundamu tak tahu soal ini. Karena itu kau harus tetap menjaga rahasia. Janji ya?

Salam sayang ayah buat Hasna
Rahman Budiarjo

Baik. Ini surat penting. Harus sampai kepada Hasna saat umurnya 16 tahun. Ah, semoga Allah beri jalan. Setidaknya aku akan......apa ya?

Ah, ya! Tulis saja di blog. Semoga kelak ia membaca.

Rasa lelah perjalanan seharian tadi mengantarku dalam lelap. Sempat terfikir kembali kata demi kata dari mas Syamsi. Ah, entahlah. Aku bingung harus menjawab apa. Dipikir besok lagi saja ya? Semoga tak terlambat bangun dan tahajjud, nanti kutanya dulu sama Allah gimana baiknya.

Bukankah kakak juga berpesan, jangan sembarangan memilih suami?

Tapi...ntahlah. terserah Allah.

#OneDayOnePost
#CerBung
#MasihBersambung ke Surat Buat Hasna 26

4 comments:

Lisa Lestari said...

Terima yaa mas Syamsinya...hehe

Lisa Lestari said...

Terima yaa mas Syamsinya...hehe

Wiwid Nurwidayati said...

asyik..dilamar ustadz syamsi

Unknown said...

Cie....
Jadi teringat lagu istikhara cinta.. he..

Post a Comment

Popular Posts

Blogger templates

Blogroll

About

Search This Blog

Powered by Blogger.
 

Designed by: Compartidísimo
Images by: DeliciousScraps©