Materi
berikutnya, teknik menghafal. Ustadz Syamsi (Tak enak kan menyebutnya mas Syamsi
disini?) mengajari kami beberapa teknik mudah menghafal. Langsung
diaplikasikan. Para peserta langsung di tes untuk menguji hafalan, tak
terkecuali aku.
Untunglah,
metode sambung ayat. Masih mending kan daripada aku harus menghafal mulai dari
awal? Dan semua berjalan baik-baik saja.
Selesai
acara, aku ingin langsung pulang biar sampai rumah tidak terlalu malam. Tapi
ketika berpamitan, ustadz Adhan menahanku.
“Sebentar..
tunggu di ruang tamu ya... saya ada perlu beneran ini..”
“Baik
ustadz,” Jawabku tanpa bisa membantah. Lalu melangkah, menuju ruang sebelah.
Disana
sudah ada Ustadz Syamsi. Jantungku berdegup kencang. Hadeehh... apalah ini?
Satu sisi hatiku protes tak memahami maksud perasaan jadi tensi begini. Ustadz
Adhan mempersilahkanku duduk.
“Jadi
begini ustadzah, mitra kita di jogja sudah bertambah. Nah, kita perlu
koordinator disana. Yah semacam jembatan buat kami disini untuk mengontrol
kualitas mitra-mitra tersebut agar tetap sesuai standar. Gimana, mau ya?”
“Loh
ustadz, saya mana bisa? Ilmu saya masih jauh dibawah njenengan, mana bis
amenggantikan?” ustadz Adhan ngga salah? Aku jadi koordinator? Aduh, hafalan
aja masih belepotan ustadz...batinku.
Mas
Syamsi hanya menyimak, memperhatikan kami bergantian. Ustadz Adhan menghela
nafas sejenak, lalu meneruskan.
“Antum
ini gimana, jangan ngga percaya diri gitulah... Kan sudah pernah jadi
koordinator guru Al-Qur’an juga kemarin di SDIT?” Aku hanya nyengir
menanggapinya.
“Gimana
ya ustadz, berat itu.... tanggung jawabnya. Kecuali mungkin kalau ada
partnernya yang lebih senior. Jadi kalau saya ngga bisa kan belajar dulu ke
beliaunya... nanti kalau saya masih gini-gini aja ustadz, mana percaya mitra
kita sama saya?” Ustadz Adhan tampak berfikir, mungkin benar kataku. Yess, ngga
jadi? Takut salah euy! Iya kaan, daripada nerima tanggung jawab yang belum
tentu bisa maksimal dilaksanakan?
“Saya
bantu, Risaki. Gimana?” Mas Syamsi angkat suara.
Hahhh??
Ngga salah??
“Etapi
kan....mas,, eh ustadz Syamsi juga masih studi di luar negeri?” Duh, kenapa
keceplosan panggil mas?? Ustadz Adhan tersenyum puas.
“Ustadz
Syamsi yakin?” Beliau ikut memastikan.
“Saya
tinggal menyelesaikan tesis saja ustadz, bisa di Indonesia. Jadi ngga perlu
standby dekat kampus. Dan saya kira, jogja bisa jadi kota tempat tinggal saya
selanjutnya. Itupun kalau ustadz izinkan saya mendukung wafa?” Ujarnya manta.
Aku ternganga.
Apa
maksudya coba?
“Wah,
sebentar...saya jadi bingung ini. Kok kebetulan sekali? Saya.... saya senang
sekali kalau ustadz Syamsi berkenan mendukung wafa. Terus terang, kita memang
masih butuh tambahan tenaga ahli untuk mengembangkan metode ini. Tapi
sebentar...maaf, apakah ustadz Syamsi sudah kenal dengan ustadzah Risaki
sebelumnya? Soalnya dari tadi saya perhatikan sepertinya kalian saing mengenal,
begitu?”
Duhh!!!
Mau
jawab apa coba? Aku diam saja. Menunduk.
“Iya
ustadz, saya sebelumnya pernah ketemu ustadzah Risaki di jogja. Dan surprise
juga ketemu lagi disini. Sepertinya ustadzah Risaki ini luar biasa ya, sehingga
ustadz Adhan percaya dan ingin beliau jadi koordinator di jogja?” Mas Syamsi
menjelaskan, untung tak terlalu panjang lebar. seperlunya saja ustadz Adhan
perlu tau.
“Oohh..jadi
begitu. Iya ustadz, ustadzah Risaki ini dulunya ngajar di SDIT, salah satu
mitra kami juga. Selama beliau mengajar dan menjadi koordinator guru Al Wur’an
di SDIT, track recordnya bagus. Dari pantauan kami nilai tesnya terus mengalami
peningkatan. Yah meskipun belum sempurna. Apalagi sekarang kan beliau tinggal
di jogja. Jadi biar sekalian saja.” Aduh ust. Adhan... apa ya maksudnya dijelasin
panjang lebar begitu.. mas Syamsi jadi tau kan siapa aku? Ntah apa lagi yang
harus kukatakan dengan mereka.
“Jadi,
gimana ini..ustadzah Risa mau ya jadi koordinator di jogja? Nanti teknisnya
gampanglah kita bicarakan lagi. Saya ke sana sama tim kalau sudah siap semua.
Apalagi ini, ustadz Syamsi mau bantu. Partner antum luar biasa. Atau
jangan-jangan, kalian mau jadi partner hidup juga?” Ustadz Adhan memaksaku
menatapnya.
Whatt??
Aku bengong.
Mas
Syamsi tertawa.
Ustadz
Adhan ikut tersenyum bahagia.
“Loh...ngga
papa. Kalian kan masih sama-sama single. Ayolah disegerakan. Biar nanti Wafa
ikutan download mantu...” Ustadz Adhan meneruskan. Aku sudah kehilangan kata.
“Yah,
ustadz Adhan in bisa saja ya... mohn do’anya saja ya ustadz. Biar kami bisa
segera menunaikan sunnah Rasul dan menyempurnakan agama...” Mas Syamsi menjawab
dengan entengnya. Membuatku linglung sejenak dibuatnya. Situasi ini, apa
artinya semua???
“Loh,
tuh kan... wah ustadzah Risaki... ustadz Syamsi, saya pribadi senang sekali
kalau beneran ini...” Ustadz Adhan mulai berfikir, ini tak main-main.
Aku
juga bingung mau jawab apa? Atau sebaiknya diam saja?
Lalu
samar kudengar HP-ku berbunyi. Segera kuambil dari dalam tas punggung. Sms.
Mbak
Finda? Ngapain dia?
Assalamu’alaikum. Mbak..maaf cuma mau kasih kabar.
Rahman sekarang dirawat di RSUD. Kondisinya semakin turun. Mohon do’anya dan
maafkan semua kesalahannya ya
Aku
membaca sambil mengira, mbak Finda sudah tau semuanya?
Bahasa
smsnya menyiratkan banyak hal. Besok aku harus ke RSUD.
Teringat
lagi kejadian beberapa minggu yang lalu saat kami bertemu.. dan,
Astaghfirullah.. aku belum sempat membuka apa yang diberi kakak waktu itu!
Persiapan lebaran dan setelahnya berhasil membuatku benar-benar lupa. Aduh,
maafkan aku mas... batinku.
Lalu
sejenak kemudian sadar, aku masih menghadapi dua orang disini!
***
“Bagimana
ustadzah, mau ya?” Ustadz Adhan menarikku kembali dalam percakapan sebelumnya.
“Sebentar
ustadz,” aku menghela nafas dalam. Berusaha menyusun kata menjadi kalimat yang
baik. Lalu menghembuskannya pelan-pelan.
“Saya
paham apa yang ustadz Adhan sampaikan. Dan memang kalau dibutuhkan, lalu saya
bisa bantu untuk wafa dijogja, sejujurnya saya ndak punya alasan buat menolak.
Tapi ini tiba-tiba ustadz Syamsi ingin jadi partner saya juga. Saya sama sekali
ndak ngerti ustadz. ‘Afwan, sebelumnya ustadz Syamsi belum bicara apa-apa soal
ini. Saya juga baru tau kalau beliau hafidz pagi tadi. Bisakah ustadz Syamsi
jelaskan lebih detail kenapa tiba-tiba ingin gabung di jogja?” Aku berusaha
menyampaikan kegalauan itu hati-hati. Khawatir ada yang sakit hati.
Hening
sejenak, aku jadi tak enak sendiri.
”Ehm, jadi
begini ustadzah Risaki,...” Ust.Syamsi menatapku. Aku tak kuasa membalasnya. Hanya
menunduk yang kubisa, menatap meja. Ust. Adhan memperhatikan kami berdua, kut
tegang juga rupanya. Ekspresi serius kulihat dari pantulan wajahnya di kaca
meja.
“Pertama
saya tertarik dengan metode pembelajaran Al Qur’an ini. Tadi sebelum mengisi
ust.Adhan jelaskan panjang lebar, jadi saya ingin bergabung. Tapi masih belum
berani mengutarakan langsung. Nah, sore ini kebetulan sekali apa yang
disampaikan ustadz Adhan ke antum mungkin bisa jadi wasilah saya untuk
mendukung perkembangan metode ini di jogja. Karena di Surabaya pasti sudah
banyak ahlinya. Iya kan?” Aku hanya diam. Maksudku sebenarnya ingin menanyakan,
soal pesan yang ia kirim tadi siang. Inikah yang ia maksud? Kalau iya, oh..
maafkan aku ya Rabb..terlalu jauh berprasangka.
“Oh,
baiklah. Jadi intinya ustadzah Risa setuju ya?” Ustadz Adhan menyela. Kamis aling
pandang.
“Iya,
sekalian.. siapa tau kalian berjodoh. Ustadzah Risa belum ada yang khitbah kan?”
Ust. Adham meneruskan kalimatnya, darah ditubuhku merespon, langsung berdesir
memenuhi rongga wajahku. Mungkin mereka melihatku sudah seperti kepiting rebus
saat itu.
“Doakan
kami ustadz...” Ust. Syamsi tersenyum di kursinya. Duhh!!
“Saya
belum paham. Maksudnya doakan kami apa ya ust.syamsi?” Oh, please... kekepoanku
tak terbendung lagi. Ia katakan "doakan kami" bukan yang pertama, pasti bukan kebetulan?
“Iya
siapa tau kita jodoh beneran, ngga papa kan?” Ia menjawab enteng. Kepalaku berputar.
Oh, tak bisa begini. Harus diperjelas!
“Mas
Syamsi emang mau nikah sama aku?”
“Kalau
kamunya mau?” Hah??! Duhh!!
“Engga.
Ntar mas Syamsi nyesel lagi?”
“Loh,
nyesel kenapa?”
“Kita
kan baru ketemu dua kali? Mana tau gimana saya yang asli. Apalagi tentang mas
Syamsi saya ngga tau sama sekali.” Ustadz Adhan hanya diam menjadi perantara dadakan
kami.
“Baik,
apa yang perlu kamu tahu tentang saya? Tanyakan saja. Atau kalau ini terlalu
cepat, bisa nanti tanyakan saja via WA. Ya? Saya serius.” Ucapnya.
Allahu
Rabb..... aku percaya selalu ada yang bisa Engkau buat terjadi tiba-tiba. Seperti
ini. Tapi sungguh otakku butuh waktu untuk memahami.
“Tentang
umur, misalnya? Saya ngga tau ust.Syamsi lebih tua atau lebih muda dari saya?”
Ia diam. Aku pun diam. Entah kenapa pertanyaan itu meluncur begitu saja.
“Sebentar,
apakah bagimu umur begitu berarti untuk menentukan jodoh, Risaki?” Tanyanya
serius. Aku berfikir. Jelas tau jawabannya.
“Tidak.”
“Lalu
kenapa kau tanyakan? Baik, saya tak perlu bertanya soal umurmu. Beberapa minggu
yang lalu memang saya tak mengirimu kabar, benar-benar memikirkan soal ini. Maaf,
jika diam-diam saya stalking akun facebookmu. Dari situ saya tahu kamu lahir
1987, sementara saya 1990. Tapi pertemuan pertama itu membuka mataku bahwa apa
yang ada dalam dirimu sebagian besar kubutuhkan dan sesuai dengan misi hidupku.
Lalu saya mencoba istikhoroh. Rencana selesai dari sini sata menemuimu lagi ke
jogja. Tapi Allah punya rencana lain, lebih cepat dari yang saya duga, ketemu
kamu di surabaya. Sekarang, jawaban selanjutnya ada ditanganmu. Saya siap
menerima keputusan apapun itu.”
Speechless.
“S...saya..umm...
harus tanya dulu sama Allah. Boleh?” jawabku terbata setelah beberapa saat
terdiam merangkai kata.
“Silahkan”
Senyumnya meluluhkan hatiku. Andai saja bisa langsung kujawab: iya?
Tapi aku
tak ingin tergesa. Meski ingin segera. Sejujurnya.
Aku berpamitan,
pulang.
Tak ada
yang perlu disampaikan pada ayah dan umi sebelum waktunya. Biar kuyakinkan diri
sebelum meyakinkan mereka berdua.
Sebelum
tidur, kembali aku teringat sms mba finda tadi. Jadi teringat beberpa surat yang
kakak serahkan tempo hari. Kucari di laci. Keluarkan semuanya.
Lima amplop
tertera di sampulnya: Surat Buat Hasna pada Ultah ke 16. Surat Buat Hasna pada
Ultah ke 18, Surat Buat Hasna pada Ultah ke 20, Surat Buat Hasna pada uLtah ke
21, dan Surat Buat Hasna Dewasa. Lalu sepucuk surat untukku, tanpa judul.
Seingatku,
kakak berpesan agar aku memastikan surat itu sampai ke tangan Hasna pada
saatnya. Terserah bagaimana caranya. Nanti jika ia berusia 16 tahun, masihkan
aku bisa menemuinya dan menyampaikan amanah dari ayahnya?
Kurasa
sulit. Maka aku harus cari cara lain. Aku belum ketemu Hasna sama sekali. Tak mungkin
bisa mengenali, apalagi jika usianya 16 tahun nanti?
Perlahan,
kubuka surat pertama buat Hasna.
Dear Hasna,
Saat kau membca tulisan ini, mungkin ayah sudah
behagia di alam yang berbeda. Kehilangan rasa sakit dan segala derita yang bsa
terasa hanya di dunia. Dan melihatmu tumbuh dewasa, adalah bagian terbesar dari
rasa bahagia yang ayah punya.
Apakah bundamu pernah bercerita tentangku?
Semoga bukan cerita
yang buruk ya. Kini kau sudah remaja. Pasti cantik, dan mungkin masih
manja. Layaknya bundamu saat masih SMA, saat pertama aku mengenalnya. Meski bukan
dalam romanca cinta.
Dengarkan aku, Hasna. Ayahmu ini hanya ingin menyampaikan
hal penting lewat surat ini. Beruntunglah kakak Risaki (anggap dia kakakmu ya)
bersedia menyampaikannya padamu. Jadi begini, maaf jika aku tak bisa menulis
terlalu panjang. Langsung saja.
Ayah memang tidak bisa mendampingi pertumbuhanmu. Tidak
bisa menasehatimu setiap hari seperti saat kau masih bayi. Tapi, kau harus
tetap menjaga diri. Jadilah muslimah sejati. Jangan khawatirkan soal rejeki.
Allah sudah mengatur untuk setiap nyawa di bumi.
Pada teman Ayah yang di Kalimantan, sudah ayah
titipkan hibah sepetak tanah kebun sawit. Nanti bisa kau gunakan jika satnya
tiba. Ia akan mencarimu dan menyerahkan hakmu. Tunggu saja. Bundamu tak tahu
soal ini. Karena itu kau harus tetap menjaga rahasia. Janji ya?
Salam sayang ayah buat Hasna
Rahman Budiarjo
Baik. Ini
surat penting. Harus sampai kepada Hasna saat umurnya 16 tahun. Ah, semoga
Allah beri jalan. Setidaknya aku akan......apa ya?
Ah,
ya! Tulis saja di blog. Semoga kelak ia membaca.
Rasa lelah
perjalanan seharian tadi mengantarku dalam lelap. Sempat terfikir kembali kata
demi kata dari mas Syamsi. Ah, entahlah. Aku bingung harus menjawab apa. Dipikir
besok lagi saja ya? Semoga tak terlambat bangun dan tahajjud, nanti kutanya
dulu sama Allah gimana baiknya.
Bukankah
kakak juga berpesan, jangan sembarangan memilih suami?
Tapi...ntahlah.
terserah Allah.
#OneDayOnePost
#CerBung
#MasihBersambung ke Surat Buat Hasna 26
4 comments:
Terima yaa mas Syamsinya...hehe
Terima yaa mas Syamsinya...hehe
asyik..dilamar ustadz syamsi
Cie....
Jadi teringat lagu istikhara cinta.. he..
Post a Comment