Saturday, 11 June 2016

Surat Buat Hasna 26

| |




Pernikahan.

Adalah satu kata penuh imaji sekaligus realita. Kuat ikatannya menembus cakrawala dunia. Mitsaaqon Gholiidzon, perjanjian yang berat, kata Allah dalam kitabNya. Aku percaya.

Hari terus berganti. Tahajjud dan istikhoroh tetap kujalani. Tapi sungguh, hampir seminggu berlalu, belum kutemui keyakinan diri. Bimbang, galau, aish, udah kaya anak SMA baru kenal cinta. Ah benarkah ini cinta? Tapi kenapa aku belum bisa merasa yakin untuk menikah dengannya?

Baik, sebaiknya kujenguk kakak lagi. Tempo hari aku kesana tak bertemu siapa-siapa. Kata perawat jaga, mbak Finda sedang keluar mungkin cari makan. Sedangkan mas Rahman kulihat sedang tidur, tak enak rasanya mengganggu. Maka hari ini aku harus kesana lagi.

Tiba di lorong ruang rawat, dari kejauhan aku melihat sosok mbak Finda duduk di kursi teras Rumah Sakit. Menatap taman di depannya dengan menopangkan wajah pada kedua tangannya, kosong. Bahkan ia tak menyadari kehadiranku disampingnya.

“Assalamu’alaikum....Maaf, mbak Finda?” Ia terperanjat.

“S..si..siapa ya?” Ketahuan sekali raut wajahnya terkejut. Ia berusaha menetralisir ekspresinya, tapi gagal.

“Maaf mbak, saya Risa. Mau jenguk mas Rahman, bisa?”

“Oh, jadi kamu yang namanya Risa? Umm...boleh sih.  Tapi jangan lama-lama ya, dia harus banyak istirahat. Eh tapi terserah dia juga. Saya sudah bukan siapa-siapanya.” Ada penekanan tidak wajar pada kalimat terakhirnya.

“Maaf mbak jika saya mengganggu.... Mbak Finda sudah tau siapa saya? Um.. maksud saya, semoga mbak ngga salah paham saja dengan hubungan saya dan mas Rahman?” Aku menatapnya sungguh-sungguh. Berusaha membuatnya mengerti. Tapi...

“Rahman ngga cerita banyak mbak. Jadi saya pikir mbak Risa ini memang spesial ya buat Rahman? Makanya sampai bela-belain jenguk. Bahkan mbak tau lebih dulu soal sakitnya Rahman dibanding saya. Begini saja, karena sekarang sudah jelas saya dan Rahman bercerai, jadi terserah dia mau punya hubungan sama  siapa. Mbak Risa boleh kok jenguk Rahman kapan saja. Kalau mau nunggu juga ngga papa. Biar saya pulang saja. Lagian ngga ada gunanya saya disini buat dia” Nada bicaranya ketus, aku tak terima. Ego wanita mana diam saja ketika melihat orang menilai salah tentang dirinya? Tidak!

“Jangan mbak, sebentar. Saya harus jelaskan.” Aku menarik tangannya untuk duduk di kursi panjang itu. Ia menurut meskipun ekspresi tangannya kaku. Benar-benar ingin menolakku.

“Mas Rahman itu kakak kelas saya, sekaligus senior di HW. Ngga lebih dan ngga ada apa-apa diantara kami mbak. Mbak harus percaya itu!” Nada suaraku ikut mengeras. Ia memperhatikan wajahku. Mungkin berusaha mengingat memorinya masa SMA. Aku mengerjapkan mata. Berharap tak ada yang salah dari ingatannya.

“Oh, adik kelas yang -dekat sekali- ya...” masih dengan ekspresi sinis. Aku menelan ludah.

“Maaf mbak, ngga sedekat yang mbak kira. Ngga ada kata cinta atau hubungan istimewa mbak. Kalau mbak mau, saya bisa ngomong sama mas Rahman agar kalian rujuk saja. Gimana?” air mukanya berubah. Kebencian itu luntur sedikit setelah kalimat terakhirku meluncur ke telinganya. Rupanya ia masih berfikir mau dirujuk. Ah, semoga.

“Terserah deh apa katamu Risa. Saya sudah ngga tau harus gimana nyikapi Rahman. Sampai sekarangpun, dalam kondisinya seperti itu dia masih keras kepala. Saya sudah dianggapnya tidak ada. Saya pamit pulang saja sekarang. Maaf. Nanti malam mungkin saya baru kembali. Terserah kamu mau menunggu atau meninggalkannya sendiri, saya tak ingin peduli.”

Duh!!

Susah bicara dengan wanita yang hatinya terluka. Aku bingung. Ia melangkah pergi.

Akhirnya, pelan kubuka pintu kamar tempat kakak dirawat. Tak ada siapapun disana. Hanya ada Mas Rahman terbaring lemah. Bibir nya pucat. Matanya sayu. Tubuhnya lebih kurus dari terakhir bertemu. Oh Allah... senadainya rasa sakit bisa kuambil dari tubuhnya dan membuang jauh-jauh, aku tak tega melihatnya tak berdaya....

“Assalamu’alaikum...mas?”

“Wa’alaikum salam. Masuklah. Duduk sini.” Katanya lemah. Tapi jelas ia tampak bahagia melihatuku datang. Kuletakkan pisang yang kubawa diatas meja. Lalu tersenyum menurutinya duduk di kursi dekat tempat tidur.

“Mas apa kabar? Sudah makan belum?”

“Alhamdulillah, sudah tadi. Ada Finda. Ntah kemana dia sekarang.... mungkin pulang ya?”

“Iya, tadi aku ketemu sebentar didepan. Mas mau makan pisang? Ku ambilkan ya?”

“Boleh, satu aja ya. Ngga bisa makan banyak.” Aku menurut, mengambil dan mengupas, lalu menyerahkan padanya. Ia makan pelan-pelan. Aku hanya memperhatikannya. Allahu rabb.... melihat kuasamu dalam sosoknya, membuatku harus bersyukur atas nikmat sehat ini.

Ia selesai makan, kuambilkan air putih. Hanya diminumnya sedikit, sedikit sekali. Kini wajah itu tampak lebih cerah dari sebelumnya. Entah efek pisang dan air barusan, atau kedatanganku?

“Gimana rasanya mas?” aku membuka obrolan.

“Sudah ngga kerasa sakitnya dek. Sudah kebal mungkin ya... hanya lemas saja. Ngga bisa ngapa-ngapain. Ngga enak sekali. Kasian aku ya?” ia menggeser diri, bersandar ke dinding.

“Kamu sendiri gimana? Sudah dibuka suratnya?”

“Alhamdulillah. Baru satu kubuka.. hehe”

“Oalah...”

“Ya maaf... he, sibuk mas...”

“Kamu harus baca semua dulu, baru kesini lagi nanti, ya?” Pintanya. Matanya mengerjap penuh harap meski pandangannya tampak begitu gelap. Aku tak punya pilihan selain berkata “Insya Allah”

“Gapapa ya surat buat Hasna kubaca?”

“Ngga papa. Yang penting aku titip sampaikan buat dia, apapun caranya. Ya?”

“Insya Allah, semoga Allah mudahkan.” Ia tersenyum, mengaminkan.

“Mbak finda udah ngga marah mas? Mas cerita apa tentang aku ke dia?” Aku memaksa bertanya, siapa tahu ada peluang agar mereka rujuk.

“Finda? Aku sudah bilang bahagia bisa cerai sama dia, dan mau nikah lagi kalau sudah sembuh.”

“Hah? Terus? Reaksinya gimana?”

“Dia sih yang penting aku masih nafkahi Hasna. Dia ngga tau detail sakit ini dek, masih rahasiaku sama dr.Farid. ga banyak orang yang ngerti. Kamu salah satunya.”

“Mas bilang mbak Finda mau nikah sama siapa kalu sembuh?”

“Sama kamu”


#Gubrakkk!!!!

“Hahh? Pantesan dia sinis banget sama aku. Tapi tadi kubilang ke dia mau minta mas rujuk aja...dia kelihatan lega loh mas, mungkin sebenarnya dia juga ngga pengen cerai beneran...gimana? mas sama dia aja ya?”

“Kamu ni gimana, kan tau sendiri karakternya, kenapa sih? Kamu ngga mau ya? He, iyalah aku juga sadar kali... atau udah ada yang ngelamar duluan?”

Aku diam. Takut menyakitkan jika harus kuceritakan semua kejadian. Tidak, tidak perlu!

“Hey..kok malah ngelamun..?” Ia menyadarkanku. Aku menatapnya takut.

“Ngga usah khawatir. Biarin aja, aku juga ngga mau nyakitin kamu. Tenang ya? Biarin aja Finda taunya gitu. Biar ngga berharap aku mau balikan sama dia. Biar dia bisa jatuh cinta sama orang lain. Asal tetap sayang sama Hasna. Aku cuma pengen semua baik-baik saja jika aku harus pergi nanti dek. Dia berhak bahagia, aku juga, terutama Hasna. Hasna ga berhak menderita atas keputusan orang tuanya. Dan aku, cukup bahagia bersamamu. Meski ngga bisa lebih dari itu. Makasih ya, buat semuanya?”

Air mata perlahan menggenang di pelupuk mata mendengar tuturnya. Aku tak tau harus berkata apa.

“Jangan nangis dek, kamu istimewa. Percayalah. Dan jangan menikah, kecuali dengan orang yang istimewa. Janji ya?”

Tak tahan lagi, buliran deras mengalir diwajahku. Buru-buru kuambil tissue di meja dan menyekanya. Sementara kakak menatapku iba. Ia juga ingin menangis rupanya. Tapi bisa apa? Bukankah semua ketetapanNya? Dan tak ada yang salah dari ketetapanNya.

“Kak, aku pulang ya? Jangan telat makan. Aku balik lagi nanti kalau sudah selesai baca semua surat itu. Insya Allah, bertahanlah. Ya?”

“Sepertinya saat itu tak akan lama lagi dek, semoga tak ada yang terlambat.” Katanya sambil berusaha tersenyum. Aku menelan ludah, pahit.

Selesai pamitan, aku langsung pulang. Seminggu lagi harus kembali ke jogja. Lalu soal mas Syamsi? Aku memikirkannya sepanjang perjalanan.

Sampai dirumah, kutata semua kepingan puzzle tentangku dan tentangnya. Cintaku tak buta. Karena kutahu, cinta adalah logika yang sempurna. Aku memang ingin segera menikah, tapi tak ingin tergesa. Benarkah mas Syamsi yang terbaik? Ia istimewa. Sangat. Gadis manapun mungkin tak ada yang bisa menolak pinangannya. Iya, bagaimana menolaknya? Dia yang dewasa, tampan, hafidz, santun, benar-benar type menantu idaman bukan? Tapi aku realistis. Lalu iseng membuat paired table test:

Hal
Syamsi
Risaki
Hafalan
30 juz
Juz 30
Fisik
Istimewa
Biasa saja
Umur
25
28
Ekonomi keluarga
Kaya (sepertinya)
sederhana

Tuh kan, njomplang banget???

Asli, aku minder liat tabel itu!!. Ngga usah diterima aja kali ya?

Lagian, mungkin dia berhak dapat seseorang yang jauh lebih baik dari aku. Lebih cantik, lebih muda, lebih banyak hafalannya, anak kyai pula? Iya, siapa tau ada. Allah rabbi....aku bingung,, bisakah aku menghilangkan perasaan ini? Aku... sepertinya aku terlanjur menyayanginya. Menganggapnya istimewa. Tapi logika, menafikan semua harapan yang terpendam.

Aku merenung sampai hampir tengah malam. Sudah seminggu dan aku belum memberinya keputusan. Tak baik membiarkannya menunggu. Akhirnya ku screenshot tabel itu, lalu kukirimpak pada mas Syamsi, dengan caption:


Maaf mas, sepertinya kita terlalu ngga seimbang ya... :-D


Lalu offline. Berharap tak membaca balasannya. Entah apa yang ia pikirkan disana? 

#OneDayOnePost
#Bersambungke Surat Buat Hasna 27

4 comments:

Nychken Gilang said...

Waaah Hasna Hasna

Lisa Lestari said...

Terhura bacanya....ikut mbrebes...

Lisa Lestari said...

Terhura bacanya....ikut mbrebes...

Nindyah Widyastuti said...

Kasihan Hasna, kalau mereka rujuk, Hasna mungkin akan lebih bahagia, ya.

Post a Comment

Popular Posts

Blogger templates

Blogroll

About

Search This Blog

Powered by Blogger.
 

Designed by: Compartidísimo
Images by: DeliciousScraps©