Pernikahan.
Adalah
satu kata penuh imaji sekaligus realita. Kuat ikatannya menembus cakrawala
dunia. Mitsaaqon Gholiidzon,
perjanjian yang berat, kata Allah dalam kitabNya. Aku percaya.
Hari
terus berganti. Tahajjud dan istikhoroh tetap kujalani. Tapi sungguh, hampir
seminggu berlalu, belum kutemui keyakinan diri. Bimbang, galau, aish, udah kaya
anak SMA baru kenal cinta. Ah benarkah ini cinta? Tapi kenapa aku belum bisa
merasa yakin untuk menikah dengannya?
Baik,
sebaiknya kujenguk kakak lagi. Tempo hari aku kesana tak bertemu siapa-siapa.
Kata perawat jaga, mbak Finda sedang keluar mungkin cari makan. Sedangkan mas
Rahman kulihat sedang tidur, tak enak rasanya mengganggu. Maka hari ini aku
harus kesana lagi.
Tiba
di lorong ruang rawat, dari kejauhan aku melihat sosok mbak Finda duduk di
kursi teras Rumah Sakit. Menatap taman di depannya dengan menopangkan wajah
pada kedua tangannya, kosong. Bahkan ia tak menyadari kehadiranku disampingnya.
“Assalamu’alaikum....Maaf,
mbak Finda?” Ia terperanjat.
“S..si..siapa
ya?” Ketahuan sekali raut wajahnya terkejut. Ia berusaha menetralisir
ekspresinya, tapi gagal.
“Maaf
mbak, saya Risa. Mau jenguk mas Rahman, bisa?”
“Oh,
jadi kamu yang namanya Risa? Umm...boleh sih.
Tapi jangan lama-lama ya, dia harus banyak istirahat. Eh tapi terserah
dia juga. Saya sudah bukan siapa-siapanya.” Ada penekanan tidak wajar pada
kalimat terakhirnya.
“Maaf
mbak jika saya mengganggu.... Mbak Finda sudah tau siapa saya? Um.. maksud
saya, semoga mbak ngga salah paham saja dengan hubungan saya dan mas Rahman?”
Aku menatapnya sungguh-sungguh. Berusaha membuatnya mengerti. Tapi...
“Rahman
ngga cerita banyak mbak. Jadi saya pikir mbak Risa ini memang spesial ya buat
Rahman? Makanya sampai bela-belain jenguk. Bahkan mbak tau lebih dulu soal
sakitnya Rahman dibanding saya. Begini saja, karena sekarang sudah jelas saya
dan Rahman bercerai, jadi terserah dia mau punya hubungan sama siapa. Mbak Risa boleh kok jenguk Rahman kapan
saja. Kalau mau nunggu juga ngga papa. Biar saya pulang saja. Lagian ngga ada
gunanya saya disini buat dia” Nada bicaranya ketus, aku tak terima. Ego wanita
mana diam saja ketika melihat orang menilai salah tentang dirinya? Tidak!
“Jangan
mbak, sebentar. Saya harus jelaskan.” Aku menarik tangannya untuk duduk di
kursi panjang itu. Ia menurut meskipun ekspresi tangannya kaku. Benar-benar
ingin menolakku.
“Mas
Rahman itu kakak kelas saya, sekaligus senior di HW. Ngga lebih dan ngga ada
apa-apa diantara kami mbak. Mbak harus percaya itu!” Nada suaraku ikut
mengeras. Ia memperhatikan wajahku. Mungkin berusaha mengingat memorinya masa
SMA. Aku mengerjapkan mata. Berharap tak ada yang salah dari ingatannya.
“Oh,
adik kelas yang -dekat sekali- ya...” masih dengan ekspresi sinis. Aku menelan
ludah.
“Maaf
mbak, ngga sedekat yang mbak kira. Ngga ada kata cinta atau hubungan istimewa
mbak. Kalau mbak mau, saya bisa ngomong sama mas Rahman agar kalian rujuk saja.
Gimana?” air mukanya berubah. Kebencian itu luntur sedikit setelah kalimat
terakhirku meluncur ke telinganya. Rupanya ia masih berfikir mau dirujuk. Ah,
semoga.
“Terserah
deh apa katamu Risa. Saya sudah ngga tau harus gimana nyikapi Rahman. Sampai
sekarangpun, dalam kondisinya seperti itu dia masih keras kepala. Saya sudah
dianggapnya tidak ada. Saya pamit pulang saja sekarang. Maaf. Nanti malam
mungkin saya baru kembali. Terserah kamu mau menunggu atau meninggalkannya
sendiri, saya tak ingin peduli.”
Duh!!
Susah
bicara dengan wanita yang hatinya terluka. Aku bingung. Ia melangkah pergi.
Akhirnya,
pelan kubuka pintu kamar tempat kakak dirawat. Tak ada siapapun disana. Hanya
ada Mas Rahman terbaring lemah. Bibir nya pucat. Matanya sayu. Tubuhnya lebih
kurus dari terakhir bertemu. Oh Allah... senadainya rasa sakit bisa kuambil
dari tubuhnya dan membuang jauh-jauh, aku tak tega melihatnya tak berdaya....
“Assalamu’alaikum...mas?”
“Wa’alaikum
salam. Masuklah. Duduk sini.” Katanya lemah. Tapi jelas ia tampak bahagia
melihatuku datang. Kuletakkan pisang yang kubawa diatas meja. Lalu tersenyum
menurutinya duduk di kursi dekat tempat tidur.
“Mas
apa kabar? Sudah makan belum?”
“Alhamdulillah,
sudah tadi. Ada Finda. Ntah kemana dia sekarang.... mungkin pulang ya?”
“Iya,
tadi aku ketemu sebentar didepan. Mas mau makan pisang? Ku ambilkan ya?”
“Boleh,
satu aja ya. Ngga bisa makan banyak.” Aku menurut, mengambil dan mengupas, lalu
menyerahkan padanya. Ia makan pelan-pelan. Aku hanya memperhatikannya. Allahu
rabb.... melihat kuasamu dalam sosoknya, membuatku harus bersyukur atas nikmat
sehat ini.
Ia
selesai makan, kuambilkan air putih. Hanya diminumnya sedikit, sedikit sekali.
Kini wajah itu tampak lebih cerah dari sebelumnya. Entah efek pisang dan air
barusan, atau kedatanganku?
“Gimana
rasanya mas?” aku membuka obrolan.
“Sudah
ngga kerasa sakitnya dek. Sudah kebal mungkin ya... hanya lemas saja. Ngga bisa
ngapa-ngapain. Ngga enak sekali. Kasian aku ya?” ia menggeser diri, bersandar
ke dinding.
“Kamu
sendiri gimana? Sudah dibuka suratnya?”
“Alhamdulillah.
Baru satu kubuka.. hehe”
“Oalah...”
“Ya
maaf... he, sibuk mas...”
“Kamu
harus baca semua dulu, baru kesini lagi nanti, ya?” Pintanya. Matanya mengerjap
penuh harap meski pandangannya tampak begitu gelap. Aku tak punya pilihan
selain berkata “Insya Allah”
“Gapapa
ya surat buat Hasna kubaca?”
“Ngga
papa. Yang penting aku titip sampaikan buat dia, apapun caranya. Ya?”
“Insya
Allah, semoga Allah mudahkan.” Ia tersenyum, mengaminkan.
“Mbak
finda udah ngga marah mas? Mas cerita apa tentang aku ke dia?” Aku memaksa
bertanya, siapa tahu ada peluang agar mereka rujuk.
“Finda?
Aku sudah bilang bahagia bisa cerai sama dia, dan mau nikah lagi kalau sudah
sembuh.”
“Hah? Terus?
Reaksinya gimana?”
“Dia
sih yang penting aku masih nafkahi Hasna. Dia ngga tau detail sakit ini dek,
masih rahasiaku sama dr.Farid. ga banyak orang yang ngerti. Kamu salah satunya.”
“Mas bilang
mbak Finda mau nikah sama siapa kalu sembuh?”
“Sama
kamu”
#Gubrakkk!!!!
“Hahh?
Pantesan dia sinis banget sama aku. Tapi tadi kubilang ke dia mau minta mas
rujuk aja...dia kelihatan lega loh mas, mungkin sebenarnya dia juga ngga pengen
cerai beneran...gimana? mas sama dia aja ya?”
“Kamu
ni gimana, kan tau sendiri karakternya, kenapa sih? Kamu ngga mau ya? He,
iyalah aku juga sadar kali... atau udah ada yang ngelamar duluan?”
Aku
diam. Takut menyakitkan jika harus kuceritakan semua kejadian. Tidak, tidak
perlu!
“Hey..kok
malah ngelamun..?” Ia menyadarkanku. Aku menatapnya takut.
“Ngga
usah khawatir. Biarin aja, aku juga ngga mau nyakitin kamu. Tenang ya? Biarin aja
Finda taunya gitu. Biar ngga berharap aku mau balikan sama dia. Biar dia bisa
jatuh cinta sama orang lain. Asal tetap sayang sama Hasna. Aku cuma pengen
semua baik-baik saja jika aku harus pergi nanti dek. Dia berhak bahagia, aku
juga, terutama Hasna. Hasna ga berhak menderita atas keputusan orang tuanya. Dan
aku, cukup bahagia bersamamu. Meski ngga bisa lebih dari itu. Makasih ya, buat
semuanya?”
Air mata
perlahan menggenang di pelupuk mata mendengar tuturnya. Aku tak tau harus
berkata apa.
“Jangan
nangis dek, kamu istimewa. Percayalah. Dan jangan menikah, kecuali dengan orang
yang istimewa. Janji ya?”
Tak tahan
lagi, buliran deras mengalir diwajahku. Buru-buru kuambil tissue di meja dan menyekanya.
Sementara kakak menatapku iba. Ia juga ingin menangis rupanya. Tapi bisa apa? Bukankah
semua ketetapanNya? Dan tak ada yang salah dari ketetapanNya.
“Kak,
aku pulang ya? Jangan telat makan. Aku balik lagi nanti kalau sudah selesai
baca semua surat itu. Insya Allah, bertahanlah. Ya?”
“Sepertinya
saat itu tak akan lama lagi dek, semoga tak ada yang terlambat.” Katanya sambil
berusaha tersenyum. Aku menelan ludah, pahit.
Selesai
pamitan, aku langsung pulang. Seminggu lagi harus kembali ke jogja. Lalu soal
mas Syamsi? Aku memikirkannya sepanjang perjalanan.
Sampai
dirumah, kutata semua kepingan puzzle tentangku dan tentangnya. Cintaku tak
buta. Karena kutahu, cinta adalah logika yang sempurna. Aku memang ingin segera
menikah, tapi tak ingin tergesa. Benarkah mas Syamsi yang terbaik? Ia istimewa.
Sangat. Gadis manapun mungkin tak ada yang bisa menolak pinangannya. Iya,
bagaimana menolaknya? Dia yang dewasa, tampan, hafidz, santun, benar-benar type
menantu idaman bukan? Tapi aku realistis. Lalu iseng membuat paired table test:
Hal
|
Syamsi
|
Risaki
|
Hafalan
|
30 juz
|
Juz 30
|
Fisik
|
Istimewa
|
Biasa saja
|
Umur
|
25
|
28
|
Ekonomi keluarga
|
Kaya (sepertinya)
|
sederhana
|
Tuh kan,
njomplang banget???
Asli,
aku minder liat tabel itu!!. Ngga usah diterima aja kali ya?
Lagian,
mungkin dia berhak dapat seseorang yang jauh lebih baik dari aku. Lebih cantik,
lebih muda, lebih banyak hafalannya, anak kyai pula? Iya, siapa tau ada. Allah rabbi....aku
bingung,, bisakah aku menghilangkan perasaan ini? Aku... sepertinya aku
terlanjur menyayanginya. Menganggapnya istimewa. Tapi logika, menafikan semua
harapan yang terpendam.
Aku merenung
sampai hampir tengah malam. Sudah seminggu dan aku belum memberinya keputusan. Tak
baik membiarkannya menunggu. Akhirnya ku screenshot tabel itu, lalu kukirimpak
pada mas Syamsi, dengan caption:
Maaf mas, sepertinya kita terlalu ngga seimbang
ya... :-D
Lalu offline.
Berharap tak membaca balasannya. Entah apa yang ia pikirkan disana?
#OneDayOnePost
#Bersambungke Surat Buat Hasna 27
4 comments:
Waaah Hasna Hasna
Terhura bacanya....ikut mbrebes...
Terhura bacanya....ikut mbrebes...
Kasihan Hasna, kalau mereka rujuk, Hasna mungkin akan lebih bahagia, ya.
Post a Comment