Jika
tak ada kabar, anggap ia tak pernah ada.
Bukankah
jodoh tak akan pernah tertukar?
Jika
dia memang yakin, ia akan berhasil meyakinkan.
Percaya
pada-Nya, bukan padanya.
Hujan
rintik menemani soreku di depan kos. Ini masih hari sabtu, malam yang panjang
buat pacaran, malam minggu.
Pacaran?
Oh,
mendengar lantunan lagu dari sound tetangga jadi ingat, kata itu sudah lama
terhapus dari kamus hidupku. Dulu masih kecil, sempat timbul anggapan bahwa
pacaran adalah kata wajib yang dimiliki remaja. Tapi saat masa remaja tiba, aku
sama sekali tak tertarik untuk mencoba. Hanya teman, lebih banyak laki-laki ketimbang
wanita. #Opss
Mas
Syamsi, harusnya hubungan ini ditegaskan. Bukan diam begini. Rasanya tak baik
baginya, juga bagiku. Apakah dia memilih mundur, atau bertekad ingin maju?
Please,
jangan ada ragu.
Jariku
mengetik huruf demi huruf dilayar, siap kukirim untuknya. Bukan untuk menagih
keputusannya. Baru saja ku ketik: mas,
aku minta maaf....
Ting tong
-tanda pesan baru
masuk-
Kubuka,
mas Syamsi?
Wow,
amazing! Dia sedang memikirkanku saat aku memikirkannya? Ohh, so sweet.... tak
sabar kubuka pesan itu untuk membacanya.
Temui aku ditempat pertama kita ketemu besok, jam 9
pagi.
Gitu
doang?
Yah,
pembaca kecewa mas.
Ngga
romantis blas!
*Eh??
Apa barusan?
Romantis?
Astaghfirulah,
siapalah aku?? Duh, tepok jidat! Ngacaa!!!
Tidak,
aku tidak berhak. Muslimah yang baik harus tegas. Romantis kan cuma boleh kalau
sudah sah. Nah ini?
Mungkin
saja mas Syamsi mau kasih tau kalau sudah punya calon lain, yang jauh lebih
baik, pasti.
***
Minggu,
jam 8 pagi.
Aku
bersiap mandi, dhuha, berpakaian sekedarnya. Tidak ada bedak tebal, eye shadow,
atau lipstik. Tidak, aku bukan mau ke kondangan. Ke kondanganpun aku lebih suka
biasa aja. Tak peduli orang berkata apa. He..
Yang
penting menutup aurat, rapi, bersih, dan tidak tampak aneh. Berangkat.
Tepat
jam 9 aku sampai ditempat yang dijanjikan. Sudah ada mas Syamsi disana. Aku
telat (lagi). Ah bukan, aku on time. Dia yang off time, anggap saja gitu.
“Assalamu’alaikum..”
aku menyapanya. Ia sendiri, jadi kupikir lebih baik disini. Ditempat terbuka
agar tak ada fitnah diantara kita. *Loh??
“Wa’alaikumsalam...
silahkan duduk ustadzah” Sapanya ramah. Terkesan formal. Aku jadi kikuk
sendiri. Jam 9 pagi, jalan malioboro masih relatif sepi. Rindang pohon
beringin, cerah mentari dan angin yang berhembus lembut menambah rasa nyaman
untuk bertahan disini. Ditangan mas Syamsi masih tergengggam mushaf kecil. Aku
meliriknya sekilas, mungkin ia murajaah sambil menungguku tadi. Entahlah. Aku
memilih duduk di kursi panjang seberang, tak terlalu jauh tapi cukup terpisah
darinya.
“Maaf....”
kataku dengan tetap menunduk, tak kuasa menatap wajah teduhnya.
“Untuk
apa?” ia balas bertanya.
“Paired
table test yang kukirim....” aku masih menunduk, takut menatap matanya.
“Risaki,....”
Panggilnya. Mau tak mau, aku menatapnya. Wajah teduh itu benar-benar menyihirku.
“Iya?”
Reflek, sedetik kemudian aku kembali menunduk. Takut syetan mematri mataku
padanya, tanpa bisa lepas lagi. Takut, jika dia bukan hakku....
“Sudah
buka pesan saya tadi?” tanyanya dengan nada tetap tenang. Membuat jantungku
berdegup tak karuan.
Eh, pesan? Tadi?
Sejak
mandi sampai sekarang aku belum buka Hp sama sekali. Kurogoh tas kecil rajut,
mengeluarkan Hp dari sana.
“Buka
saja dulu. Baca baik-baik. Setelah itu terserah kamu..” Katanya. Aku tak jadi
membuka pesan. Menatapnya.
“Maksudnya
mas? Mas kirim apa? Aku ngga berani buka.” Berusaha jujur, itu yang kulakukan
sekarang.
Mas
Syamsi memperbaiki posisi duduknya, menghadapku. Ia menatap mataku! Speechless,
ah entahlah. Aku bingung. Apakah perasaan ini sudah benar? Maksudku, apakah
perasaan in sudah pada tempatnya?
Allahu
rabb...lindungi aku dari godaan syetan yang terkutuk. Kumohon... jeritku dalam
hati. Aku benar-benar belum mengerti maksud semua ini.
“Risaki,
aku serius. Kamu mau ngga nikah sama aku?” Pertanyaan itu terulang lagi. Baik.
Logika harus mendominasi kali ini. Maafkan aku duhai perasaan, jika saat ini
kau harus sedikit kuabaikan.
Karena
pernikahan bukan sekedar tentang cinta. Tapi ada komitmen, tanggung jawab, dan
banyak hal baru yang mungkin asing saat ini. Siapkah? Aku bicara pada diri
sendiri sebelum kembali ke forum “bersama mas Syamsi”.
“Mas,
maaf.. kalau mas yakin, ada beberapa pertanyaan. Boleh?”
“Silahkan”
jawabnya datar. Bismillah... doaku dalam hati.
“Kenapa
mas pilih aku, bukan yang lain?” pertanyaan pertama.
“Risaki,
aku sungguh tak mengerti awalnya. Tapi sejak bertemu denganmu, entah kenapa aku
merasa bahwa pada dirimu ada duniaku. Bersamamu aku bisa menjadi diriku
sendiri. Bukan orang lain. Tak perlu berpura-pura sempurna, bisa segalanya.
Semua mengalir begitu saja. Kukira Allah yang mengatur demikian.” Jawabnya
tegas.
“Mas
Syamsi ngga pengen nikah sama yang lain aja? Yang lebih muda, misalnya? Atau ada
rencana menikah yang kedua, ketiga, atau seterusnya?” hati-hati kuutarakan
pertanyaan itu. Sensitif sebenarnya. Tapi aku perlu tahu.
“Begini,
ehmm... lelaki manapun secara naluri ingin punya istri lebih dari satu, itu
manusiawi. (sampai disini tenggorokanku terasa tercekat, tapi ia belum selesai
bicara). Tapi kau tahu, Allah menuntut keadilan pada pernikahan antara dua
insan. Menikahi lebih dari satu wanita, berarti menuntut pembagian keadilan. Aku
tak yakin bahwa aku bisa. Tapi yang jelas, aku tak berniat melakukannya selama tak ada alasan sampai benar-benar terpaksa.” Akhirnya, aku bisa menarik nafas
lega. Saatnya pertanyaan ketiga.
“Bagaimana
tanggapan orang tua mas Syamsi atas rencana ini?” kupikir, nikah bukan hanya
menyatukan dua manusia yang berbeda, tapi juga dua keluarga yang mungkin
benar-benar tak sama.
“Umi
merestui, asal S2 selesai tepat waktu. Abah terserah aku.” Jawabnya.
Allah,
anugerah macam apa ini? Fabiayyi aalaa i rabbikumaa tukadzzibaan...
“Rencana
mas Syamsi setelah menikah?”
“Tinggal
di jawa, potensi ekonomi lebih baik disini. Kalau sudah ada modal, kita bangun
usaha di kampung halaman saya. Itu juga kalau kamu bersedia” kalimat
terakhirnya membuatku menahan nafas sejenak.
“Mas...aku
takut. Minder. Jauhlah sama mas Syamsi. Kalaupun kita menikah, apa kita bahagia
jika begini keadaannya? Maksudku.. aku merasa ngga pantas.” Aku menunduk, lagi.
“Risaki,
buka pesanku tadi. Sekarang, cobalah..baca.” katanya memaksa. Baik..
bismillah...
Paired
table test. (dia juga bikin?? Atau...) Ohh.., reflek tanganku menutup mulut
membacanya.
Hal
|
Syamsi
|
Risaki
|
Status
|
Single
|
Single
|
J.K
|
Laki-laki
|
Perempuan
|
Pendidikan
|
S2
|
S2
|
Visi
|
Meraih Ridha Allah
|
Meraih Ridha Allah
|
Misi
|
Memiliki anak hafdz/ah
|
Memiliki anak hafdz/ah
|
Sudah.
Aku menatapnya.
Ia menatapku.
“Percayalah,
ada banyak kesamaan diantara kita. Jangan fokus pada perbedaan. Setuju?” ia
meyakinkanku.
“Aku
belum bilang sama ayah dan umi....” Kataku sedetik kemudian.
“Dan
kita harus menyelesaikan pendidikan. Satu semester ini, targetkan selesai
tesis. Setelah itu kita pikirkan rencana pernikahan. Gimana?” di wajahnya
terpancar rona bahagia. Aku juga.
“Tapi
itu berarti mas Syamsi masih bebas memilih gadis lain, dan aku boleh menerima
orang lain dong? Kan belum resmi?” kataku. Ia mengangguk, duh! Bisa jadi, satu
semester lagi? Siapa yang tau, ketemu orang lain...gimana? kenapa hatiku jadi
was-was begini....bukankah aku tak berhak menggenggam apa yang belum jadi
milikku?
“Minta
alamat rumahmu?” Katanya beberapa detik kemudian. Aku menyerahkan KTP. Ia mengambil
foto ktp dengan Hp.nya..lalu dikembalikan padaku. Entah buat apa.
***
Setelah
itu, tak ada komunikasi lagi. Entah apa perasaan ini. Galau? Engga. Aku sudah
menjelaskan semuanya. Biar Allah atur skenario cerita selanjutnya.
Tiga hari
kemudian, ayah telepon. Tumben sekali ayah telepon ba’da maghrib. Biasanya kalau
ngga pagi sekali, ya malam sebelum tidur. Pasti ada yang penting. Kuangkat setelah
menutup mushaf dan mengakhiri dengan do’a setelah tilawah.
“Assalamu’alaikum,
ki.. sibuk tah?” Ayah menyapa diujung sana, memang beliau lebih suka
memanggilku Saki, beda dengan yang lain. Aku sih terima saja, merasa spesial
dimatanya.
“Wa’alaikumsalam.
Iya yah? Baru selesai ngaji. Kenapa?”
“Ini,
ayah mau bilang, ada teman kamu datang kerumah. namanya Syamsi, kenal?”
Hahh??
Dia...ke r-u-m-a-h??
“Serius
yah?? Ngapaiinnn??”
“Barusan
dateng tadi sebelum maghrib, dianter ojek. Muter-muter katanya..hehehhe” ayah terkekeh. Maklum,
rumah ayah memang jauh di pelosok. Salah sendiri dia ngga nanya naik apa turun
dimana. Tapi, ngapain dia disana??? Malem begini pula? Duhh...
“Makanya,
ayah kalau punya rumah jangan dipelosok. Nyusahin orang nyari taa....” Aku
jawab asal.
“Hemm...
katanya Syamsi mau nikahi kamu. Gimana ini? Kok ngga bilang ayah sebelumnya? Sini
kamu pulang. Tanggung jawab. Jawab sendiri. Besok sampe rumah. Ayah tunggu, ya?”
Lohh...loh..lohh...
apa-apaan ini???
Mana mungkin
besok pulang, jadwal kuliah udah mulai. Duh mas Syamsi...kenapa ngga
bilang-bilang kalau mau kerumah, biar bisa atur jadwal? Ckckckc...isshh...
Kesel sendiri
kan jadinya...
“Ngga
bisa yah, besok kuliah... udah terserah ayah jawab aja deh.” Kataku akhirnya. Rasain,
salah sendiri ngga bilang-bilang.
“Hmm..yaudah
ayah terima aja ya?”
Whatt???
Semudah itu?? Biasanya ayah paling ribet urusan lelaki. Iya sih ngga butuh
banyak syarat. Ayah pernah bilang.................
Lelaki
yang ayah pengen jadi menantu syaratnya cuma satu: aamanuu billaahi warosuulihii wajahiduu biamwaalihim wa anfusihim. Satu
kalimat maksudnya. Huft. Artinya? He, sederhana. Lelaki yang menyatakan diri
beriman kepada Allah dan RasulNya, serta mau berjihad (dalam agama Allah)
dengan harta dan jiwanya.
Satu kalimat,
tapi syarat makna. tak ada syarat pekerjaan, aset minimal, atau standar gaji. Dan mungkin mereka sudah bicara banyak, lalu ayah tau syarat
itu terpenuhi sudah. Lalu kurang apa? Tak ada alasan, harus diterima.
Aku masih
diam.
Teringat
pula cerita umi, bahwa duluuuuu....sekali. saat umi masih gadis, bekerja di
ibukota provinsi dan bertemu ayah, lalu ayah meminangnya. Umi tak percaya. Sampai
akhirnya ayah datang kerumah tampa sepengetahuan umi, meyakinkan keluarga. Akhirya
ayah diterima.
Sekarang
mas Syamsi?
Tak ada
yang kebetulan terjadi.
Semua sudah
ada dalam skenario illahi. Kita manusia biasa, hanya menjalani dan berusaha
maksimal dengan usaha, sesuai kemampuan yang diberi.
Mbak Finda,
apa kabar? Kuputuskan memberi tahu semuanya. Lewat sms kukirim link cerita ini.
Semoga suatu hari, ia mengerti. Bagaimana harusnya menjadi seorang istri.
Beberapa hari setelah mas Syamsi datang kerumah, ia pamit kembali melanjutkan studi. Setelah
lamaran resmi, aku tak berhak tengok kanan kiri lagi. Begitu juga dia,
seharusnya.
Satu semester
setelah itu, tesis kami selesai. Ia pulang ke tanah air. Allah maha baik, mengatur
semua sedemikian rupa. Wisudanya lebih cepat dari wisudaku. Jadi, ia pulang
setelah semua urusannya selesai.
Seminggu
sebelum wisudaku, ia datang lagi ke rumah, bersama orang utanya. Menyampaikan lamaran
resmi keluarga. Lengkap dengan semua dokumen pernikahan dari pemerintah
daerahnya. Aku tak tau soal ini, mereka yang dirumah mengatur semua dokumen,
sementara di jogja aku masih menikmati bermain bersama teman, terlibat dalam
banyak kegiatan.
Sampai
H-3 menjelang wisuda, ayah memaksaku pulang. Mau tak mau, aku pulang karena tak
punya alasan. Ternyata, sudah ada banyak tetangga dirumah membantu menyiapkan
acara. Esoknya, kami menikah. Sederhana, tanpa pesta. Tanpa musik yang
membahana, seperlunya. Mengundang saudara, keluarga besar, dan semua tetangga. Memenuhi
syarat dan rukun pernikahan. Semua sah. Aku resmi menjadi istrinya, dan dia
menjadi suamiku, untuk selamanya.
Wisuda
S2, benar-benar moment paling bahagia. Kejutan dari Allah untuk setiap hamba
yang percaya padaNya tak pernah sederhana. Benar-benar luar biasa.
Hanya syukur
dan syukur... meski setelahnya kami harus tinggal di kontrakan, di salah satu
sudut kota Jogja, semua terasa indah. Bahagia. Pernikahan yang kata orang
terdiri dari suka dan duka, tidak berlaku bagi kami. Karena yang ada hanya suka
dan suka. Tak ada duka. Semua bahagia.
Sempurna?
Tidak. Masalah apapun, bukanlah sumber duka, karena masalah ada untuk membuat
kita semakin dewasa. Semoga pernikahan ini, sampai kesurgaNya
~TAMAT~
11 comments:
horeee tamat..happy ending....
horeee tamat..happy ending....
Duuhh... Mbakk.. Baper...
Hmm manis sekali endingnya
Bisa banget buat ceritanya, kirain nggak jadi dengan mas Syamsi. Ternyata...
cie cie yang baper...wkwkwkwk
horeee..akhirnyaa..ehehe
ternyata eh ternyata...jeng jeng jeeng....hehehe
manis karena tadi dikasih madu sama mas Syamsi, *Eh
Sy suka ending yang kek gini...
Selamat ya...
Barakallah laka wa baraka alaika wajamaa bainakuma fii khoir
Post a Comment