Di salah satu
kelas tempat mata kuliah tafsir hadits berlangsung, seorang dosen pernah
bilang, “Saya sedang menyusun naskah buku yang judulnya RIBA HALAL”. Entah sungguhan
atau bercanda, yang jelas bapak dosen tersebut menyampaikannya dengan nada
serius. Kami terbelalak. Bagaimana mungkin seorang dosen yang paham tafsir
Hadits, menyandang titel doktor, bisa menyebut ada riba halal?
Sementara kami,
sepakat bulat dengan mayoritas ulama yang menyimpulkan bahwa hukum riba adalah
haram. Sedikit banyak tentu kami berdebat, namun sang dosen tetep kekeuh dengan
argumentasinya. Menganggap kami masih harus banyak belajar untuk sampai pada
pemahaman setara beliau. Sampai ada diantara kami yang meminta landasan hadits
atau ayat yang beliau gunakan untuk mengambil kesimpulan tersebut. Sekalian saja
kami minta beliau memperlihatkan naskah buku tersebut, namun beliau menolak.
Alasannya?
Beliau tidak ingin
karyanya di plagiat!
“Jangan
sekarang, nanti saja kalau saya sudah urus HAKI-nya.” Ujar beliau.
Awalnya, kala
itu saya tak mengerti. Sedemikian mengkhawatirkan kah dunia plagiarisme? Tapi waktu
mengajarkan kami. Betapa buruk pelanggaran etika tersebut. Kampus pun
menerapkan aturan yang tidak main-main. Dosen yang mengetahui ada tugas
mahasiswanya hasil contekan, tanpa peduli siapa menyontek siapa, keduanya
langsung tidak mendapat nilai. Seorang kandidat doktor yang siap sidang
pengukuhan harus dibatalkan ujian disertasinya karena ketahuan ada bagian karya
tulis yang merupakan hasil plagiat. Ketahuan jadi tukang plagiat? Selamat
berjuang diluar sana. Kampus sudah pasti mengeluarkannya dengan tidak hormat.
Dan sungguh,
terbayang bagaimana rasanya saat hasil karya yang kita buat dengan sepenuh
hati, semaksimal usaha, kemudian diakui orang lain tanpa permisi. Sakit? Pasti!
Ibarat barang berharga, hasil karya tulis seperti mutiara yang lahir dari
goresan pena kita, seperti anak-anak yang lahir dari darah daging kita, seperti
buah ranum yang kita petik dari kebun sendiri. Selalu disayangi, dijaga sepenuh
hati. Dinikmati dengan kebanggaan
tersendiri.
Meskipun, ada
pula sebagian penulis yang tak peduli, hasil karyanya akan diplagiat atau
disebarluaskan tanpa permisi. Karena pada hakikatnya, penulis hanya sebagai
perantara ilmu dari sang pemilik kehidupan, untuk disebarluaskan pada umat
manusia, siapapun yang membutuhkan. Tapi sekali lagi, ini soal moral. Etika yang
harusnya di jaga. Dan sungguh, sudah ada aturan hukumnya di negeri kita
tercinta.
Dalam UU No. 19
tahun 2002 tentang hak cipta, disebutkan bahwa sanksi hukum yang membayangi
kegiatan plagiarisme sesuai pasal 72 ayat 1 UU Hak Cipta adalah pidana penjara
masing-masing paling sedikit 1 bulan dan denda paling sedikit 1 juta atau
pidana paling lama 7 tahun dan denda paling banyak 5 juta. Sedikit kan? Ehm,
bagi saya sih tetap banyak tuh. Eheheh.. dan sungguh, bukan nominal atau lama
penjaranya yang lebih menggoda. Tapi konsekwensi moralnya.
Apa kata dunia
ketika memandang seseorang yang biasanya baik,
lugu, bahkan hubungan personal terjalin baik, tiba-tiba menjadi pencuri
karya? Hanya karena mengakui tanpa permisi! Yah, seperti kasus plagiarisme
cerpen yang sempat mencuat beberapa waktu yang lalu. Di zaman modern dan serba
sosmed, apa sih yang gampang kelihatan? Disembunyikan bagaimanapun, selalu ada
mata yang berhasil, atau mungkin tak sengaja melihatnya.
Seorang pelaku plagiat
dibully habis-habisan oleh netizen. Dianggap tidak bermoral dan dihujat banyak
orang. karena ketahuan mem-plagiat cerpen karya sesama penulis, dan di
terbitkan di media cetak pula! Oh, salahkah netizen yang kemudian membuatnya
tertekan lahir batin? (kabar yang beredar di dunia maya begitu, entah
kenyataannya seperti apa, saya tak bisa memastikannya). Kebetulan ngga kenal
sih. Saya kira, itu wajar.
Saya pikir, hukuman yang
membuat jera itu lebih bermakna daripada hukuman materi atau fisik yang bisa
jadi memancing kejadian serupa terulang lagi.
Nah, kembali ke
judul. Kenapa judulnya jadi rahasia kita? Ehm, iyalah.. kita! Aku dan kamu yang
melebur menjadi kita. #Eh, ngga usah baper deh... hehe. Maksudnya kita, sesama
penggemar dunia literasi. Aku dan kamu #lagi.
Kalau kita
ingat-ingat, pernahkah menunggu novel dari salah satu penulis favorit terbit? Kita
sangat ingin mengetahui kelanjutan kisahnya, atau mungkin, rindu akan petuah
dari sang penulis, atau.. whateverlah alasannya apa. Pernah kan?
Lalu, mudahkah
bagi kita mendapatkan teks atau file bajakan kelanjutan kisah tersebut dari
penulis aslinya? Oh, jangan harap! Hanya penulis amatir macam saya, -yang
mungkin-, sangat butuh review banyak orang. Bahkan reviewnya –sekali lagi mungkin-
masih lebih banyak dibanding pembaca yang menantikan tulisan saya terbit. (Oh,
jujur banget -_-)
Iya, kenapa para
penulis hebat itu tidak mudah memberi tahu dunia tentang karyanya sebelum
benar-benar terbit? Paling satu atau dua paragraf yang akan membuat calon
pembaca semakin penasaran. Ibaratnya, sebelum sah dari meja penerbit dan
sebelum meluncur ke pasar bebas, akan sangat sulit sekali bagi kita untuk
mendapat bocoran. Soal UN aja kalah rahasia sama naskah mereka? He,
Hmm, ternyata oh
ternyata, seseorang dianggap plagiat jika memang karya yang dijiplak tersebut
sudah memiliki hak cipta. Alias sudah resmi diterbitkan oleh penerbit, baru
memiliki konsekwensi hukum. Nah jika belum? Penulis awal tidak akan punya hak
apapun atas tulisannya. Lalu jika terjadi “sesuatu”, maka tak ada yang bisa dituntut.
Dan penulis aslinya tak perlu melongo jika karyanya diam-diam diakui orang
lain, ikhlaskan.
Jadi, inilah
rahasia kita. Mari kita jaga setiap karya dengan etika yang kita punya. Kepercayaan
yang saling menguatkan. Kemauan yang keras untuk terus belajar, hingga tulisan
kita menemukan warna, gaya, ruh dalam setiap huruf yang dibawanya. Selamat berkarya,
dan jaga selalu mereka dengan hak cipta.
#SakifahComeBackToThisBlog
#ODOP
0 comments:
Post a Comment