Sunday, 31 July 2016

Rahasia Kita

| |



Di salah satu kelas tempat mata kuliah tafsir hadits berlangsung, seorang dosen pernah bilang, “Saya sedang menyusun naskah buku yang judulnya RIBA HALAL”. Entah sungguhan atau bercanda, yang jelas bapak dosen tersebut menyampaikannya dengan nada serius. Kami terbelalak. Bagaimana mungkin seorang dosen yang paham tafsir Hadits, menyandang titel doktor, bisa menyebut ada riba halal?


Sementara kami, sepakat bulat dengan mayoritas ulama yang menyimpulkan bahwa hukum riba adalah haram. Sedikit banyak tentu kami berdebat, namun sang dosen tetep kekeuh dengan argumentasinya. Menganggap kami masih harus banyak belajar untuk sampai pada pemahaman setara beliau. Sampai ada diantara kami yang meminta landasan hadits atau ayat yang beliau gunakan untuk mengambil kesimpulan tersebut. Sekalian saja kami minta beliau memperlihatkan naskah buku tersebut, namun beliau menolak.

Alasannya?

Beliau tidak ingin karyanya di plagiat!

“Jangan sekarang, nanti saja kalau saya sudah urus HAKI-nya.” Ujar beliau.

Awalnya, kala itu saya tak mengerti. Sedemikian mengkhawatirkan kah dunia plagiarisme? Tapi waktu mengajarkan kami. Betapa buruk pelanggaran etika tersebut. Kampus pun menerapkan aturan yang tidak main-main. Dosen yang mengetahui ada tugas mahasiswanya hasil contekan, tanpa peduli siapa menyontek siapa, keduanya langsung tidak mendapat nilai. Seorang kandidat doktor yang siap sidang pengukuhan harus dibatalkan ujian disertasinya karena ketahuan ada bagian karya tulis yang merupakan hasil plagiat. Ketahuan jadi tukang plagiat? Selamat berjuang diluar sana. Kampus sudah pasti mengeluarkannya dengan tidak hormat.

Dan sungguh, terbayang bagaimana rasanya saat hasil karya yang kita buat dengan sepenuh hati, semaksimal usaha, kemudian diakui orang lain tanpa permisi. Sakit? Pasti! Ibarat barang berharga, hasil karya tulis seperti mutiara yang lahir dari goresan pena kita, seperti anak-anak yang lahir dari darah daging kita, seperti buah ranum yang kita petik dari kebun sendiri. Selalu disayangi, dijaga sepenuh hati.  Dinikmati dengan kebanggaan tersendiri.

Meskipun, ada pula sebagian penulis yang tak peduli, hasil karyanya akan diplagiat atau disebarluaskan tanpa permisi. Karena pada hakikatnya, penulis hanya sebagai perantara ilmu dari sang pemilik kehidupan, untuk disebarluaskan pada umat manusia, siapapun yang membutuhkan. Tapi sekali lagi, ini soal moral. Etika yang harusnya di jaga. Dan sungguh, sudah ada aturan hukumnya di negeri kita tercinta.

Dalam UU No. 19 tahun 2002 tentang hak cipta, disebutkan bahwa sanksi hukum yang membayangi kegiatan plagiarisme sesuai pasal 72 ayat 1 UU Hak Cipta adalah pidana penjara masing-masing paling sedikit 1 bulan dan denda paling sedikit 1 juta atau pidana paling lama 7 tahun dan denda paling banyak 5 juta. Sedikit kan? Ehm, bagi saya sih tetap banyak tuh. Eheheh.. dan sungguh, bukan nominal atau lama penjaranya yang lebih menggoda. Tapi konsekwensi moralnya.

Apa kata dunia ketika memandang seseorang yang biasanya baik,  lugu, bahkan hubungan personal terjalin baik, tiba-tiba menjadi pencuri karya? Hanya karena mengakui tanpa permisi! Yah, seperti kasus plagiarisme cerpen yang sempat mencuat beberapa waktu yang lalu. Di zaman modern dan serba sosmed, apa sih yang gampang kelihatan? Disembunyikan bagaimanapun, selalu ada mata yang berhasil, atau mungkin tak sengaja melihatnya. 

Seorang pelaku plagiat dibully habis-habisan oleh netizen. Dianggap tidak bermoral dan dihujat banyak orang. karena ketahuan mem-plagiat cerpen karya sesama penulis, dan di terbitkan di media cetak pula! Oh, salahkah netizen yang kemudian membuatnya tertekan lahir batin? (kabar yang beredar di dunia maya begitu, entah kenyataannya seperti apa, saya tak bisa memastikannya). Kebetulan ngga kenal sih. Saya kira, itu wajar.

Saya pikir, hukuman yang membuat jera itu lebih bermakna daripada hukuman materi atau fisik yang bisa jadi memancing kejadian serupa terulang lagi.

Nah, kembali ke judul. Kenapa judulnya jadi rahasia kita? Ehm, iyalah.. kita! Aku dan kamu yang melebur menjadi kita. #Eh, ngga usah baper deh... hehe. Maksudnya kita, sesama penggemar dunia literasi. Aku dan kamu #lagi.

Kalau kita ingat-ingat, pernahkah menunggu novel dari salah satu penulis favorit terbit? Kita sangat ingin mengetahui kelanjutan kisahnya, atau mungkin, rindu akan petuah dari sang penulis, atau.. whateverlah alasannya apa. Pernah kan?

Lalu, mudahkah bagi kita mendapatkan teks atau file bajakan kelanjutan kisah tersebut dari penulis aslinya? Oh, jangan harap! Hanya penulis amatir macam saya, -yang mungkin-, sangat butuh review banyak orang. Bahkan reviewnya –sekali lagi mungkin- masih lebih banyak dibanding pembaca yang menantikan tulisan saya terbit. (Oh, jujur banget -_-)

Iya, kenapa para penulis hebat itu tidak mudah memberi tahu dunia tentang karyanya sebelum benar-benar terbit? Paling satu atau dua paragraf yang akan membuat calon pembaca semakin penasaran. Ibaratnya, sebelum sah dari meja penerbit dan sebelum meluncur ke pasar bebas, akan sangat sulit sekali bagi kita untuk mendapat bocoran. Soal UN aja kalah rahasia sama naskah mereka? He,

Hmm, ternyata oh ternyata, seseorang dianggap plagiat jika memang karya yang dijiplak tersebut sudah memiliki hak cipta. Alias sudah resmi diterbitkan oleh penerbit, baru memiliki konsekwensi hukum. Nah jika belum? Penulis awal tidak akan punya hak apapun atas tulisannya. Lalu jika terjadi “sesuatu”, maka tak ada yang bisa dituntut. Dan penulis aslinya tak perlu melongo jika karyanya diam-diam diakui orang lain, ikhlaskan.

Jadi, inilah rahasia kita. Mari kita jaga setiap karya dengan etika yang kita punya. Kepercayaan yang saling menguatkan. Kemauan yang keras untuk terus belajar, hingga tulisan kita menemukan warna, gaya, ruh dalam setiap huruf yang dibawanya. Selamat berkarya, dan jaga selalu mereka dengan hak cipta. 

#SakifahComeBackToThisBlog
#ODOP

0 comments:

Post a Comment

Popular Posts

Blogger templates

Blogroll

About

Search This Blog

Powered by Blogger.
 

Designed by: Compartidísimo
Images by: DeliciousScraps©