Tuesday, 16 August 2016

Cerita yang belum usai- Mie tanpa mesin

| |



I have my own way

Entah kenapa, kalimat yang kudapat dari salah satu handbook sekolah TOEFL itu melekat begitu saja dalam ingatan. Terbawa kemana-mana. Mungkin semangat penulis yang berjarak ribuan mil jauhnya dari tempatku mengetik saat ini menjalar, mengalun lembut, memainkan melodi indah dalam benakku. Iya, energi positif. Sesuatu yang disampaikan dari hati akan sampai ke hati. Begitu kata para penyair.


Tapi, cerita ini bukan tentang gelombang perasaan. Ah kalian, sementara abaikan jauh-jauh prasangka itu. Tidak, aku sedang tidak lebay. Sungguh!

Beberapa hari ini aku libur online, sengaja. Iya karena paket data habis dan belum top up. Haha, sengaja atau sengaja? He, lagian itu kuota habis sebelum waktunya. Dengan permisi pula. Sebagai mahasiswa dan calon ibu rumah tangga yang baik, kan aku harus belajar ngatur budget. #Eh?!

Ehm, poin kedua ini tidak begitu penting yah? Yasudah, abaikan. Memang bukan disitu poin pentingnya.

Jadi untuk membunuh sepi, (semoga tak terkesan kejam) aku memanfaatkan waktu sebaik mungkin. (Cieehh...eh, senyum-senyum sendiri. Situ gapapa?)

Iya, libur online itung-itung liburan juga buat mata biar ga kebanyakan liat layar. (Halah, aslinya tetep bisa liat layar laptop, tv, dll. Kalau sempet dan pengen sih)

Tapi beneran, ini  saatnya otak refreshing biar ga kebanyakan mikir tulisan dan curhatan. Waktu libur ini aku gunakan sebaik mungkin untuk mengejar ketertinggalan, rapel ngerjain handbook sekolah TOEFL. Tapi sebelum itu, Sesaat sebelum kuota data habis mata dan otak ini sempat merekam cara membuat mie sehat tanpa mesin. Iya, tanpa mesin penggiling itu! Tentu saja aku excited karena memang lagi ngga punya penggiling mie. He, lagi ngga dirumah sendiri. Jadi mau pinjam pun tak tahu harus kemana. Sedangkan cita-cita “ingin membuat mie sendiri” itu terlanjur berbunga-bunga. Wajib dituntaskan hingga berbuah dan siap petik. #Loh?!

Bayangkan, ini angin segar karena selain petunjuknya cukup mudah juga aku membayangkan akan berhasil. Dan saat berharga seperti ini kumanfaatkan sebaik mungkin. Sebelum menyentuh lembaran handbook,  aku ingin memuluskan rencana buat mie sehat itu. Jadi kusiapkan bahan:

Sekantong tepung terigu segitiga biru uk. 1 kg
Sekantong tepung tapioka uk. 250 gr
Seikat bayam
Dua butir telur
Air

Lalu di siang yang terik, saat sendirian dirumah kulancarkan aksi. Ambil blender di lemari dan menggiling daun bayam yang sudah dicuci dan dipotong kecil sebelumnya. Tentu saja ditambah air. Tak kuukur, hanya secukupnya saja bisa menggiling bayam.

Sudah, kok airnya banyak sekali ya? Jangan –jangan nanti kebanyakan. Aku kan mau coba dikit aja dulu. Kalau berhasil alhamdulillah. Kalau engga ngga bakal nyesal. Akhirnya kusaring gilingan bayam itu, menyisakan air sekitar satu gelas. Lainnya kutuang di baskom, campur dengan dua butir telur yang sebelumnya sudah kukocok ringan.

Baik, ini rencananya: tujuan utama eksperimen ini adalah membuat mie tanpa mesin. Tapi jika tidak berhasil, adonan tiu nanti bisa dialih fungsi jadi stik yang akan kugoreng, jadi cemilan kan? Lumayan.

Nah kutambahi penyedap dan garam dalam campuran air, bayam giling dan tepung tersebut. Biar kalaupun jadi mie gurih, enak kan? Lalu perlahan kutuang dan aduk tepung terigu dan tapioka bergantian. Seperti pesan penulis resep, perbandingannya sekitar 1 terigu : 1/5 tapioka. Aku mengira saja. Yap, setelah perjuangan panjang dan lama (karena disambi shalat dan kasih mekan 3 ekor mamalia yang terus berteriak kelaparan di belakang rumah), akhirnya adonan itu jadi.

Aku mulai bersemangat menggiling, membuat adonan itu pipih, agar bisa tipis, ditaburi tepung agar tidak lengket. Kemudian bisa digulung dan diiris kecil sesuai selera. Nah sampai disini, gulungan kecil yang sudah di urai bentuknya kecil panjang-panjang, pasti. Sudah mirip mie, terbayang kan? Begitu yang kucoba. Ah iya, bisa!

Hari semakin sore, tumpukan adonan masih menggunung! Iya, tadi karena air tidak diukur sampai menghabiskan lebih dari setengah kilogram terigu! Lalu mau sampai kapan ini selesai? Ah, bagaimana kalau dirapel saja? Muncullah ide iseng. Kugiling semua adonan lalu gulung kecil-kecil. Tumpuk saja dalam baskom besar. Toh mereka seharusnya tidak lengket karana sudah cukup tepung, kan? Beres. Tinggal iris tipis-tipis nanti terus diurai. Pisahkan mereka dengan tepung kering, biar ngga saling merekatkan diri satu sama lain. Ganjen amat ini adonan ya?

Huft, selesai.

Eh, tapi kenapa jadi pada lengket semua begini?? Hasil irisan yang tertumpuk dan belum diurai saling menumuk satu sama lain, dan otomatis saling rekat! Ohh, baik..

Kucoba mengurai satu per satu. Lalu ketika dapat kira-kira sepiring kecil, aku langsung menggorengnya. Penasaran! Setelah itu, kuicipi satu. Kok ngga ada rasa? Duh,,, rumit sekali. Kurang garam plus kurang gurih!

Bagaimana ini? Mengulang pekerjaan menggiling dan mengiris? Lalu menggoreng? Mau sampai kapan? Hari semakin senja. Tiap ada orang datang lalu tanya, “Lagi bikin apa, dek?” Ku jawab saja asal. “Lagi mainan tepung.” Mereka mengangguk, mencoba mengerti. “Oh, lagi bikin makanan ya?” Selanjutnya hanya kuanggukkan kepala, sambil nyengir.

Baik. Maghrib sudah. Ini tak bisa diteruskan. Bukankah “kata mereka” adonan ini akan tahan 3-4 hari di dalam kulkas dengan baik-bai k saja? Dari pada terlambat maghrib, lebih baik kurapikan semua. Dapur yang tadi sudah kubuat seperti kapal pecah. Adonannya? Ku gulung jadi satu, masukkan plastik. Simpan dalam kulkas, beres.

Sampai malam tiba, aku masih kepikiran adonan itu, musti diapain? Coba ada mesin penggiling, pasti adonan itu sudah jadi mie yang cantik. Atau stik yang layak dipandang dan dimakan. Baik, kucoba tanya ke sepupu soal mesin itu, nihil. Yasudah, alternatif kedua. Besok akan kucoba lebih telaten menggiling dan mengirisnya. Sekarang istirahat dulu.

Esok menjelang, stok minyak goreng di dapur tinggal sedikit. Cuaca mendung dan hujan seharian. Alamat, malas keluar. Hari itu kuhabiskan untuk menyelesaikan 3 handbook Sekolah TOEFL, sekaligus mengoreksinya. Alhamdulillah, ngga jelek-jelek banget. Ada yang salah dua (jatah maksimal), ada yang betul semua, ada yang salah satu, ada pula... yang salah tiga atau lebih. Hehe.. ini bagian yang terakhir di handbook 3, sudah larut malam dan ngantuk. Alamat ngerjakannya asal.

Esoknya lagi, kasihan si adonan yang sudah duduk manis lebih dari sehari semalam di dalam kulkas. Ide baru muncul, adonan itu akan kugulung seperti lontong besar, lalu kuiris tipis dan iris lagi melintang. Jadiah stik, yang dalam bayanganku akan jauh lebih rapi dari sebelumnya, bukan? baik, saatnya beli minyak goreng dulu. Siang setelah handbook 4 selesai (dan belum dikoreksi karena belum cek group buat pembahasan temu online).baru adonan itu ku eksekusi lagi.

Kali ini kutambah dengan bawang dan garam yang sudah halus. Lumayan buat nambah rasa gurih, kan? Uleni lagi, biar campur rata. Kugulung-gulung adonan itu sedemikian rupa agar bisa diiris. Yap. Bisa!

Tapi kok lembek? Iyalah, namanya juga adonan mentah tepung!

Biar ga lengket dan ngga tambah volume, bukan tepung lagi yang kutaburkan. Tapi minyak sayur! Iya, kan logikanya gitu. Minyak bikin ngga lengket kan? Hehe... tapi dengan kece[atan semaam ini, sudah kuperhitungkan sebaik mungkin bahwa pekerjaan ini tak akan selesai hingga maghrib tiba (lagi). Lalu? Aha! Ide baru muncul saudara-saudara...

Aku mengambil daun pisang di kebun belakang. Menjemurnya sebentar, biar lemas. Nah, sementara itu kubagi adonan jadi empat bagian, tidak terlalu besar atau kecil. Lalu kembali kuambil daun pisang, memotongnya sesuai perkiraan. Buat apa? Bungkus adonan tadi, lalu kukus!. Layaknya adonan kerupuk yang pernah dibuat nenek, adonan itu kemudian dikukus sekitar setengah jam. Saat air dalam kukusan mulai mendidih, adonan masuk, lalu tingal ke kamar. Tak lama kemudian, kenapa suara didihan air menghilang? Kucoba tengok ke dapur, “Yaaaaaaa, gasnya habis....” aku setengah teriak mendapati kenyataan yang tak sesuai harapan.

“Itu di depan kan udah disiapin isi ulangnya dek...” Pakde menyahut dari belakang. Ah, benar. Bude sudah tau gasnya hampir habis dan sudah siapkan sebelum pergi arisan tadi. Alhamdulillah.

Segera kulepas regulator setelah mematikan tuas kompor, lalu memasang yang baru. Sendiri? Iya, sudah biasa. Wow? Ah biasa aja. Jaman sekarang jadi cewek mesti serba bisa, kan? Semoga bukan berarti aku tidak butuh suami. Oh, no! Aku tetap...butuh, suatu saat nanti.

Baik, kembali pada kisah adonan. Setelah melalui setengah jam penguapan yang membuat setiap sudutnya matang, kuangkat dan pindah tempat. Lalu kubiarkan hingga dingin, eh, hingga malam. Rencana mau kuiris tipis layaknya kerupuk, nanti saat semua orang di rumah ini sudah tidur, biar ngga ada yang tau sampai besok pagi, sudah siap jemur. Etapi ini mata sudah mulai ngantuk. Pakde belum pulang dari rapat dusun. Ah, kerjakan sekarang saja, sekitar setengah sembilan aku kembali ke dapur. Mencoba mengiris tipis satu gulung adonan.

Ternyata, cuma sebentar!

Ah, jika begini tiga gulung adonan yang lain juga akan selesai beberapa menit lagi, ngga perlu begadang. Mumpung pakde belum pulang, bude masih asyik dengan sinetron kesayangan. Alhamdulillah, belum jam sembilan sudah beres semua. Tinggal jemur besok. Saatnya bersiap istirahat.

Entah esok, apalagi yang akan terjadi pada kerupuk mentah jadi-jadian ini. Mungkin di goreng setelah kering, mungkin juga kubuat oleh-oleh saat berkunjung ke tempat teman, atau mungkin juga bisa dibuat seblak? Ah, rasanya saja aku belum pernah tau. Gimana mau buat, percobaan lagi? Ah, terserah nanti.

Sampai jumpa pada percobaan berikutnya...

Saran saya: jangan membuat mie tanpa mesin. Asli, itu ngga “cool” sama sekali. hehhe

#ODOP
#WelcomeBack
#MyStory

2 comments:

Wiwid Nurwidayati said...

koyone kok capek bnget e mbak saki

Dewie dean said...

Wkwkwkw uda jadi tape. Di fragmentasiin aja tu tepungnya.

Post a Comment

Popular Posts

Blogger templates

Blogroll

About

Search This Blog

Powered by Blogger.
 

Designed by: Compartidísimo
Images by: DeliciousScraps©