I have my own way
Entah kenapa,
kalimat yang kudapat dari salah satu handbook sekolah TOEFL itu melekat begitu
saja dalam ingatan. Terbawa kemana-mana. Mungkin semangat penulis yang berjarak
ribuan mil jauhnya dari tempatku mengetik saat ini menjalar, mengalun lembut,
memainkan melodi indah dalam benakku. Iya, energi positif. Sesuatu yang
disampaikan dari hati akan sampai ke hati. Begitu kata para penyair.
Tapi, cerita ini
bukan tentang gelombang perasaan. Ah kalian, sementara abaikan jauh-jauh
prasangka itu. Tidak, aku sedang tidak lebay. Sungguh!
Beberapa hari ini
aku libur online, sengaja. Iya karena paket data habis dan belum top up. Haha,
sengaja atau sengaja? He, lagian itu kuota habis sebelum waktunya. Dengan
permisi pula. Sebagai mahasiswa dan calon ibu rumah tangga yang baik, kan aku
harus belajar ngatur budget. #Eh?!
Ehm, poin kedua ini
tidak begitu penting yah? Yasudah, abaikan. Memang bukan disitu poin
pentingnya.
Jadi untuk membunuh
sepi, (semoga tak terkesan kejam) aku memanfaatkan waktu sebaik mungkin.
(Cieehh...eh, senyum-senyum sendiri. Situ gapapa?)
Iya, libur online
itung-itung liburan juga buat mata biar ga kebanyakan liat layar. (Halah,
aslinya tetep bisa liat layar laptop, tv, dll. Kalau sempet dan pengen sih)
Tapi beneran,
ini saatnya otak refreshing biar ga
kebanyakan mikir tulisan dan curhatan. Waktu libur ini aku gunakan sebaik
mungkin untuk mengejar ketertinggalan, rapel ngerjain handbook sekolah TOEFL.
Tapi sebelum itu, Sesaat sebelum kuota data habis mata dan otak ini sempat
merekam cara membuat mie sehat tanpa mesin. Iya, tanpa mesin penggiling itu!
Tentu saja aku excited karena memang lagi ngga punya penggiling mie. He, lagi
ngga dirumah sendiri. Jadi mau pinjam pun tak tahu harus kemana. Sedangkan
cita-cita “ingin membuat mie sendiri” itu terlanjur berbunga-bunga. Wajib
dituntaskan hingga berbuah dan siap petik. #Loh?!
Bayangkan, ini angin
segar karena selain petunjuknya cukup mudah juga aku membayangkan akan
berhasil. Dan saat berharga seperti ini kumanfaatkan sebaik mungkin. Sebelum
menyentuh lembaran handbook, aku ingin
memuluskan rencana buat mie sehat itu. Jadi kusiapkan bahan:
Sekantong tepung
terigu segitiga biru uk. 1 kg
Sekantong tepung
tapioka uk. 250 gr
Seikat bayam
Dua butir telur
Air
Lalu di siang yang
terik, saat sendirian dirumah kulancarkan aksi. Ambil blender di lemari dan
menggiling daun bayam yang sudah dicuci dan dipotong kecil sebelumnya. Tentu
saja ditambah air. Tak kuukur, hanya secukupnya saja bisa menggiling bayam.
Sudah, kok airnya
banyak sekali ya? Jangan –jangan nanti kebanyakan. Aku kan mau coba dikit aja
dulu. Kalau berhasil alhamdulillah. Kalau engga ngga bakal nyesal. Akhirnya
kusaring gilingan bayam itu, menyisakan air sekitar satu gelas. Lainnya kutuang
di baskom, campur dengan dua butir telur yang sebelumnya sudah kukocok ringan.
Baik, ini
rencananya: tujuan utama eksperimen ini adalah membuat mie tanpa mesin. Tapi
jika tidak berhasil, adonan tiu nanti bisa dialih fungsi jadi stik yang akan
kugoreng, jadi cemilan kan? Lumayan.
Nah kutambahi
penyedap dan garam dalam campuran air, bayam giling dan tepung tersebut. Biar
kalaupun jadi mie gurih, enak kan? Lalu perlahan kutuang dan aduk tepung terigu
dan tapioka bergantian. Seperti pesan penulis resep, perbandingannya sekitar 1
terigu : 1/5 tapioka. Aku mengira saja. Yap, setelah perjuangan panjang dan
lama (karena disambi shalat dan kasih mekan 3 ekor mamalia yang terus berteriak
kelaparan di belakang rumah), akhirnya adonan itu jadi.
Aku mulai bersemangat
menggiling, membuat adonan itu pipih, agar bisa tipis, ditaburi tepung agar
tidak lengket. Kemudian bisa digulung dan diiris kecil sesuai selera. Nah
sampai disini, gulungan kecil yang sudah di urai bentuknya kecil
panjang-panjang, pasti. Sudah mirip mie, terbayang kan? Begitu yang kucoba. Ah
iya, bisa!
Hari semakin sore,
tumpukan adonan masih menggunung! Iya, tadi karena air tidak diukur sampai
menghabiskan lebih dari setengah kilogram terigu! Lalu mau sampai kapan ini
selesai? Ah, bagaimana kalau dirapel saja? Muncullah ide iseng. Kugiling semua
adonan lalu gulung kecil-kecil. Tumpuk saja dalam baskom besar. Toh mereka
seharusnya tidak lengket karana sudah cukup tepung, kan? Beres. Tinggal iris
tipis-tipis nanti terus diurai. Pisahkan mereka dengan tepung kering, biar ngga
saling merekatkan diri satu sama lain. Ganjen amat ini adonan ya?
Huft, selesai.
Eh, tapi kenapa jadi
pada lengket semua begini?? Hasil irisan yang tertumpuk dan belum diurai saling
menumuk satu sama lain, dan otomatis saling rekat! Ohh, baik..
Kucoba mengurai satu
per satu. Lalu ketika dapat kira-kira sepiring kecil, aku langsung
menggorengnya. Penasaran! Setelah itu, kuicipi satu. Kok ngga ada rasa? Duh,,,
rumit sekali. Kurang garam plus kurang gurih!
Bagaimana ini?
Mengulang pekerjaan menggiling dan mengiris? Lalu menggoreng? Mau sampai kapan?
Hari semakin senja. Tiap ada orang datang lalu tanya, “Lagi bikin apa, dek?” Ku
jawab saja asal. “Lagi mainan tepung.” Mereka mengangguk, mencoba mengerti.
“Oh, lagi bikin makanan ya?” Selanjutnya hanya kuanggukkan kepala, sambil
nyengir.
Baik. Maghrib sudah.
Ini tak bisa diteruskan. Bukankah “kata mereka” adonan ini akan tahan 3-4 hari
di dalam kulkas dengan baik-bai k saja? Dari pada terlambat maghrib, lebih baik
kurapikan semua. Dapur yang tadi sudah kubuat seperti kapal pecah. Adonannya?
Ku gulung jadi satu, masukkan plastik. Simpan dalam kulkas, beres.
Sampai malam tiba,
aku masih kepikiran adonan itu, musti diapain? Coba ada mesin penggiling, pasti
adonan itu sudah jadi mie yang cantik. Atau stik yang layak dipandang dan
dimakan. Baik, kucoba tanya ke sepupu soal mesin itu, nihil. Yasudah,
alternatif kedua. Besok akan kucoba lebih telaten menggiling dan mengirisnya.
Sekarang istirahat dulu.
Esok menjelang, stok
minyak goreng di dapur tinggal sedikit. Cuaca mendung dan hujan seharian.
Alamat, malas keluar. Hari itu kuhabiskan untuk menyelesaikan 3 handbook
Sekolah TOEFL, sekaligus mengoreksinya. Alhamdulillah, ngga jelek-jelek banget.
Ada yang salah dua (jatah maksimal), ada yang betul semua, ada yang salah satu,
ada pula... yang salah tiga atau lebih. Hehe.. ini bagian yang terakhir di
handbook 3, sudah larut malam dan ngantuk. Alamat ngerjakannya asal.
Esoknya lagi,
kasihan si adonan yang sudah duduk manis lebih dari sehari semalam di dalam
kulkas. Ide baru muncul, adonan itu akan kugulung seperti lontong besar, lalu
kuiris tipis dan iris lagi melintang. Jadiah stik, yang dalam bayanganku akan
jauh lebih rapi dari sebelumnya, bukan? baik, saatnya beli minyak goreng dulu.
Siang setelah handbook 4 selesai (dan belum dikoreksi karena belum cek group
buat pembahasan temu online).baru adonan itu ku eksekusi lagi.
Kali ini kutambah
dengan bawang dan garam yang sudah halus. Lumayan buat nambah rasa gurih, kan?
Uleni lagi, biar campur rata. Kugulung-gulung adonan itu sedemikian rupa agar
bisa diiris. Yap. Bisa!
Tapi kok lembek?
Iyalah, namanya juga adonan mentah tepung!
Biar ga lengket dan
ngga tambah volume, bukan tepung lagi yang kutaburkan. Tapi minyak sayur! Iya,
kan logikanya gitu. Minyak bikin ngga lengket kan? Hehe... tapi dengan
kece[atan semaam ini, sudah kuperhitungkan sebaik mungkin bahwa pekerjaan ini
tak akan selesai hingga maghrib tiba (lagi). Lalu? Aha! Ide baru muncul
saudara-saudara...
Aku mengambil daun
pisang di kebun belakang. Menjemurnya sebentar, biar lemas. Nah, sementara itu
kubagi adonan jadi empat bagian, tidak terlalu besar atau kecil. Lalu kembali
kuambil daun pisang, memotongnya sesuai perkiraan. Buat apa? Bungkus adonan
tadi, lalu kukus!. Layaknya adonan kerupuk yang pernah dibuat nenek, adonan itu
kemudian dikukus sekitar setengah jam. Saat air dalam kukusan mulai mendidih,
adonan masuk, lalu tingal ke kamar. Tak lama kemudian, kenapa suara didihan air
menghilang? Kucoba tengok ke dapur, “Yaaaaaaa, gasnya habis....” aku setengah
teriak mendapati kenyataan yang tak sesuai harapan.
“Itu di depan kan
udah disiapin isi ulangnya dek...” Pakde menyahut dari belakang. Ah, benar.
Bude sudah tau gasnya hampir habis dan sudah siapkan sebelum pergi arisan tadi.
Alhamdulillah.
Segera kulepas
regulator setelah mematikan tuas kompor, lalu memasang yang baru. Sendiri? Iya,
sudah biasa. Wow? Ah biasa aja. Jaman sekarang jadi cewek mesti serba bisa,
kan? Semoga bukan berarti aku tidak butuh suami. Oh, no! Aku tetap...butuh,
suatu saat nanti.
Baik, kembali pada
kisah adonan. Setelah melalui setengah jam penguapan yang membuat setiap
sudutnya matang, kuangkat dan pindah tempat. Lalu kubiarkan hingga dingin, eh,
hingga malam. Rencana mau kuiris tipis layaknya kerupuk, nanti saat semua orang
di rumah ini sudah tidur, biar ngga ada yang tau sampai besok pagi, sudah siap
jemur. Etapi ini mata sudah mulai ngantuk. Pakde belum pulang dari rapat dusun.
Ah, kerjakan sekarang saja, sekitar setengah sembilan aku kembali ke dapur.
Mencoba mengiris tipis satu gulung adonan.
Ternyata, cuma
sebentar!
Ah, jika begini tiga
gulung adonan yang lain juga akan selesai beberapa menit lagi, ngga perlu
begadang. Mumpung pakde belum pulang, bude masih asyik dengan sinetron
kesayangan. Alhamdulillah, belum jam sembilan sudah beres semua. Tinggal jemur
besok. Saatnya bersiap istirahat.
Entah esok, apalagi
yang akan terjadi pada kerupuk mentah jadi-jadian ini. Mungkin di goreng
setelah kering, mungkin juga kubuat oleh-oleh saat berkunjung ke tempat teman,
atau mungkin juga bisa dibuat seblak? Ah, rasanya saja aku belum pernah tau.
Gimana mau buat, percobaan lagi? Ah, terserah nanti.
Sampai jumpa pada
percobaan berikutnya...
Saran saya: jangan
membuat mie tanpa mesin. Asli, itu ngga “cool” sama sekali. hehhe
#ODOP
#WelcomeBack
#MyStory
2 comments:
koyone kok capek bnget e mbak saki
Wkwkwkw uda jadi tape. Di fragmentasiin aja tu tepungnya.
Post a Comment