Tuesday, 23 August 2016

Dari Risaki Untuk Pukan

| |



Kamu, sahabat terbaikku.

Berawal dari ungkapan kecewa, persahabatan kita merangkai bunga sejarah.

Kamu, teman seangkatan di SMA kala itu. Kebetulan sekali, seperti sudah direncanakan Tuhan, kita tergabung dalam organisasi yang sama. Tampak dimataku kamu sebagai sosok yang angkuh dan penuh perhitungan. Hampir semua kata senior selalu kamu kritisi. Di forum kamu biasa tampak istimewa. Namun saat pelaksanaan agenda, sering sekali wajahmu menghilang dari pandangan mata. Lalu hatiku sering bertanya. Kemana dirimu sebenarnya?

Jujur aku tak suka. Karena posisimu sebagai ketua. Pantaskah tak menampakkan diri saat agenda terlaksana? Sedangkan aku sebagai bendahara, hampir menjadi  tumpuan semua tanggungjawab selama acara. Kamu kira, aku robot apa?

Huh, yang ada aku kesal setengah mati.

Apalagi saat evaluasi, kamu tampil seolah menguasai semua khilaf kami. Ah, bijaksana sekali.

Kekesalan hatiku tak terhenti. Kutulis surat sebagai curahan perasaan. Kuungkap semua kegalauan, satu kalimat yang sangat kuingat, bagaimana kamu bisa menjadi pemimpin yang baik, jika memimpin diri sendiri saja kamu keberatan. Jelas sekali aku melihatmu keberatan menanggung amanah sebagai pemimpin. Karena entah apa kegiatanmu diluar sana, sepertinya jauh lebih berharga.

Dalam penantian, aku takut kamu marah atas surat itu. Karena setelah surat itu  sampai kepadamu, beberapa temanmu menemuiku, menuduhku sudah memicu kemarahanmu. Ah, rupanya kamu biarkan mereka ikut mmbaca tulisanku. Tak berapa lama, kamu membalas tulisanku. Sama sekali tidak ada nada marah disana. Kamu jawab semua keluhanku, alasanmu meninggalkan agenda. Bahkan menantangku untuk menggantikan posisimu.

Sejak saat itu aku mulai mencoba mengerti posisi dirimu, kebutuhanmu, juga cara berfikirmu yang menurutku, semua rumit. Sikap dingin yang menjadi ciri pribadimu, rupanya menarik perhatian teman-teman wanita seangkatan sampai adik kelas kita. Ah, apa istmewa dirimu? Dalam hati aku bicara, biasa saja. Tapi memang kamu unik, dan itu cukup menyita perhatianku, sehingga suatu hari, aku memintamu tuk jadi sahabatku. Karena pribadimu yang pandai menjaga rahasia.

Dan kamu terima.

Hemm.. meski tak seorangpun tahu, hatiku berbunga saat itu. Tak peduli pada konsekwensi yang kita buat sendiri: tidak ada istilah pacaran, apalagi ikatan perasaan, hanya murni sebagai teman.

Hari-hari berikutnya, sikapmu semakin manis. Bukan kepada mereka para wanita pemuja, tapi kepadaku. Sering puisimu mengungkap persahabatan kita, kekaguman yang meraja, dan rasa yang tercipta. Sampai ada yang bilang, kita sedang saling jatuh cinta. Itu teman-teman yang bilang ya, aku sih santai saja karena bagiku masih biasa. Wajar jika aku istimewa, karena perjanjian persahabatan yang kita buat.

Menjadi istimewa, ketika kamu buat sandi khusus untuk komunikasi kita. Seperti huruf jepang, hiragana katakana, tapi aku yakin orang jepang tak akan mampu membaca, apalagi mengerti maksudnya. Rahasia sekali ya? Padahal isinya memang sangat penting, bahkan lebih penting dari sekedar isi Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Maka tak seorangpun teman kita izinkan tahu kuncinya. Romantis, kata mereka. Untunglah, bukan olokan sinis yang sering kudapat saat teman-teman tahu tentang kedekatan kita.

Saat ulangtahunku tiba. Aku tahu kamu tidak akan membiarkanku berkeliaran bebas disekitarmu. Maka kuputuskan langsung pulang seusai pelajaran. Huh, aku sempat menyesal membiarkanmu mengikuti langkahku sampai ketempat kos. Karena disana, kamu membawa pasukan untuk menyiramku dengan air dan tepung. Kamu kira aku adonen kue? Bahkan teman-teman kos mengikuti jejak setelahnya. Mereka tidak membiarkanku keluar dari kamar mandi dan menyembunyikan hampir semua pakaian dari almari. Jahat sekali ya? Tidak, nyatanya aku cukup bahagia hari itu. Dibalik semua penderitaan dari ulah teman seharian, malamnya aku bisa membuka semua kado yang mereka berikan. Dan tentu saja, ada kado darimu, yang aku terima bahkan seminggu sebelumnya, dengan satu syarat, boleh kubuka saat masanya tiba. 

Ada kotak pensil beserta isinya, buku, dompet, mainan dan hiasan. Dan darimu, aku menerima sehelai kaos panjang warna biru muda. Anggun sekali melihatnya. Tapi sepertinya lebih besar dari ukuran tubuhku. Haha, kamu bercanda? Tentu saja kamu tak bisa mengira soal ukuran karena tidak membawaku saat belanja. Tapi tak mengapa, kamu memang tidak suka aku pakai baju kekecilan. Dan dengan begitu, artinya baju itu akan terpakai lama sampai nanti aku dewasa, masih bisa memakainya. Ah, betapa dewasa pemikiranmu kawan.

Masuk tahun akhir sekolah, ini pertama dan terakhir kalinya kita duduk di kelas yang sama. Jurusan yang sama, dan tentu, tugas yang sama. Rupanya susasana sangat mendukung kebersamaan kita, hingga penjelasan para guru dan tugas dari mereka, tampaknya tidak lebih penting dari cerita yang kita urai dalam sandi yang saling bertukar sepanjang jam pelajaran. Untung, tidak ketahuan. Ah walaupun seandainya ketahuan, para dewan guru tentu saja tidak ada yang bisa mengerti isinya, karena sekali lagi, itu rahasia kita.

Menjelang perpisahan, ujian akhir harus kita taklukkan. Untuk itu kita sering taruhan. Siapa yang melampaui batas minimal kelulusan, berhak menerima satu coklat dari yang kalah. Ah, rupanya keberuntungan berpihak padaku saat itu. Karena jika dihitung dari try out sampai ujian sekolah, semua ada sekitar sepuluh kali ujian. Dan aku dapat 8 coklat batangan, silvrqueen yang kuharapkan. Seminggu penuh aku menanti cokelat yang kita janjikan. Tapi seolah kamu lupa. Apa daya, susah memang punya teman pelupa. Dan aku bukan rentenir yang suka menagih, jadi kubiarkan saja. Meski kesal sebenarnya. Tapi dihari kedelapan aku menanti, kamu memberiku bungkusan kado berbentuk kotak saat usai kegiatan ekstra. Sepanjang jalan pulang aku penasaran, mungkin ini coklat sesuai perjanjian? Tapi tidak, rupanya benda keras itu lebih berat dari puluhan cokleat. Sampai dirumah, kubuka dan..... ternyata sebuah buku warna merah muda, “Menjadi Muslimah Paling Bahagia di Dunia” karya Dr. Aidh Abdullah Al Qorni. Darahku terkesiap. Ini jauh lebih mahal dari puluhan batang cokelat.

Dan diakhir cerita perjalanan kita di SMA, kau beri aku surat dalam bahasa indonesia. Awalnya biasa saja, kata pengantar dari sebuah pidato dalam rangka perpisahan. Aku harus lebih siap menghadapi perpisahan. Menyedihkan memang, tapi aku merasa biasa saja. Sampai di bagian akhir surat itu, di paragraf terakhir kamu utarakan rasa, “maafkan aku telah mencintaimu dan maafkan aku pernah menyakitimu”

Kalimat itu sarat makna, kurasa. Hingga hampir tak percaya kamu yang menuliskannya. Tapi untuk apa? Toh setelah SMA, kita harus berpisah untuk meraih cita. Lalu mungkin saja, di tempat masing-masing nantinya kita bertemu belahan jiwa. Jadi tak ada gunanya kita buat perjanjian cinta. Semua akan berakhir begitu saja.

Selanjutnya aku memilih kuliah dan kamu jadi anggota TNI. Dua profesi baru yang jauh berbeda. Karena aku menapaki idealisme teori, sedangan kamu disana harus menyelami idealisme nasionalis. Dua idealisme yang sering bertentangan saat berhadapan dengan kepentingan.

Lalu apa? Teori idealis yang ingin kubagi, kamu jauhi. Bukan hanya teori yang membuatku semakin tak mengerti. Tapi rasanya kamu sangat jauh dari hati. Kenapa dan harus bagaimana, adalah dua kalimat tanya yang tak pernah kutemui jawabanya. Hingga kepada diri sendiri, kutemui asa yang bermuara. Saat kamu jauh disana, baru kusadari ada rasa yang terlanjur tercipta. Tanpa sedetikpun aku mampu menafikannya.

Iya, rasa yang begitu kuat meraja, rindu yang membiru, ingin sekali selalu bertemu denganmu. Dan tanpa hadirmu, tubuhku serasa ingin membatu, dan hati ini mulai membeku. Entah apa yang ada di benakmu saat itu, yang pasti aku tak bisa mengerti dirimu, dan begitu sebaliknya. Mungkin jarak yang jauh dimata, dan pertemuan yang sangat jarang terlaksana menjauhkan hati kita. Tapi bisa apa? Aku bukan tuhan yang bisa bertindak semaunya. Ah, biarlah ini jadi bagian dari perjalanan kita.

Rasa istimewa yang harus kuakui adanya, mencipta rindu tak terkira. Tidakkah engkau merasa yang sama?

Sampailah kita pada suatu peristiwa, dimana hatiku tak sanggup lagi menjaga rasa. Bukan, bukan karena tak lagi cinta. Tapi lihatlah, bagaimana menahan rasa, hingga aku harus menikam rindu yang hadir disetiap detknya. Lihatlah, seberapa besar luka yang tercipta? Seandainya nampak kasat mata, mungkin harusnya hati sudah enggan untuk menyapa. tapi untunglah, hati ini bukan buatan manusia. Sifat tuhan ada dalam setiap ciptaanNya. Lalu aku belajar melepaskan setiap asa yang pernah tercipta. Berharap Tuhan berkenan mengganti dengan yang jauh lebih baik nanti. Ikhlas tanpa syarat, sebagai titian menuju jalan taubat. Atas segala harap, dan segala bentuk mimpi diantara kita.

Aku tahu, kamu belum siap. Untuk menjadi lebih dari sekedar sahabat. Karena itu, obrolan kita adalah sebatas kepentingan. Dan disini, hatiku juga masih enggan mengikat janji. Entah dimana, dengan siapa, atau kapan ikatan cinta itu akan menjadi realita. Saat ini aku hanya ingin menikmati mimpi, yang mungkin saja bisa lebih indah seiring bertambahnya usia. Sekarang, nanti, dan selamanya, kamu adalah sahabat terbaik yang pernah singgah dihatiku.

Kamu, adalah sahabat terbaikku. Yang selalu bersedia menjadi pendukung setiap kebaikan, dan pengingat dari kehilafan yang kadang kuperbuat. Yang bersedia membantuku mewujudkan cita, tanpa ada pamrih disana. Yang menunjukkanku kebenaran, meski kadang pahit yang harus kutelan. Yang meski tanpa ungkapan cinta, tapi jelas rasa itu ada diantara kita. 

Lalu apa yang menjadi rencana Tuhan didepan sana, biar tetap menjadi rencanaNya. Kita hanya hamba yang ingin mengabdi sepenuh hati, lalu berharap yang terbaik selalu terjadi.

7 comments:

Wiwid Nurwidayati said...

Udah beberapa hari bawaanya baper saja saki baca tulisan tulisanmu

Wiwid Nurwidayati said...

Udah beberapa hari bawaanya baper saja saki baca tulisan tulisanmu

Ciani Limaran said...

Ahh kak saki, pukan ga brenti sampai disini kan?

Lisa Lestari said...

kok aku rasanya sudah pernah baca ya de saki?

Lisa Lestari said...

kok aku rasanya sudah pernah baca ya de saki?

Sakif said...

Dimana mb lisa?
Ky.e tulisan ini pernah q kirim ke manishijub tp karena ngga ada kabar menang yaudah jd q posting dsni..udah lama bgt sih..he..

Tp mb lisa baca dmana ya...atau mgkin sebagian kalimatnya ada masuk ke.naskah antologi mgkin ya? Karena yg nulis sama...

Dewie dean said...

Ngalir klo dari hati ya

Post a Comment

Popular Posts

Blogger templates

Blogroll

About

Search This Blog

Powered by Blogger.
 

Designed by: Compartidísimo
Images by: DeliciousScraps©