Thursday, 3 November 2016

Menyemai Kenangan 2

| |




Apa yang kau harapkan dari sekedar teman? Perasaan diterima? Partner kerja? Atau cukup dengan kehadirannya, kau bisa merasa sempurna?


Tidak, aku tidak bisa merasakan apapun. Bagiku, ada atau tidak adanya teman sama saja, saat  itu. Mungkin karena belum mengerti, atau ada hal yang belum sepenuhnya kupahami. Tentang kebersamaan, juga sedikit perhatian.

Hari senin, adalah hari paling membosankan. Padahal seharusnya menyenangkan karena ada pelajaran kimia kesukaanku. Gurunya cantik sih, ramah pula. Sayang, ingatan akan malam minggu sebelumnya membuatku masih menyimpan kesal. Kau tahu kan, Pukan sudah menjadi ketua organisasi kepanduan yang kami ikuti? Dan aku, diminta teman-teman untuk jadi bendahara. Karena anggota yang berjenis kelamin perempuanhanya ada tiga, aku terpaksa menerima karena dua cewek yang lain, Yana dan Atun jarang bisa ikut keiatan.

Nah, sabtu kemarin ada kegiatan persami di sekolah, tentu saja aku ikut. Kan harus menyiapkan konsumsi dan segala perlengkapan yang dibutuhkan senior. Teman-teman juga mayoritas ikut dan acara berjalan lancar sampai selesai, kecuali satu. Iya, si Pukan itu. Entah kemana dia, sudah dua atau tiga agenda persami ini dia tidak tampak batang hidungnya. Padahal dua minggu lagi kami harus siap berangkat kemah kenaikan tingkat di Bumi Perkemahan Warungboto, dareah dekat hutan Wonosalam.

Sebagai ketua, bukankah seharusnya dia ada mengendalikan acara? Bukankah harusnya dia jadi contoh bagi anggota? Bukankah dia yang seharusnya menyiapkans emua? Bukannya meninggalkan begitu saja!!

Aku kesal, teramat kesal. Ketua macam apa dia? Seenaknya saja meninggalkan agenda. Huh!

Tapi kupikir lagi, apa gunanya aku kesal, coba?

Toh dia ngga tau kalau aku kesal, bahkan ngga peduli. Tidak, tidak bisa! Orang macam dia ngga bisa dibiarkan gitu aja! Aku terus memutar otak. Pelajaran kelas 2 SMA bukan masalah bagiku. Jadi, memikirkan hal lain saat pelajaran bukan sesuatu yang buruk, kan?

Waktu istirahat tiba, kami beda kelas. Dia di kelas 2-3, sedangkan aku di kelas 2-1. Ketika keluar kelas, kulihat dia sudah istirahat duluan sedang berjalanmenuju kantin dengan teman-teman cowok sekelasnya, termsuk Said. Ia tampak gembira, tersenyum tanpa dosa. Bercanda dan seolah tak ada apa-apa. Tentu saja, karena dia tak tahu apa yang terjadi padaku. Usai istirahat, baru kepikiran cara terbaik memberitahunya. Surat! Langsung kutilis dengan menyobek bagian tengah buku.

Assalamu’alaikum, Wr. Wb.
Maaf jika surat ini mengganggu. Tapi sungguh, aku hanya ingin mengingatkanmu soal agenda persami kemarin. Juga posisimu sebagai ketua organisasi. Apakah kanu merasa sudah bertindak dengan benar? Beberapa kali kegiatan persami dan kamu tidak hadir sama sekali.
Jika kamu tidak bisa memimpin dirimu sendiri, bagaimana mungkin kamu bisa memimpin orang lain? Jika tidak bisa membagi waktumu sendiri, bagaimana mungkin kau bisa menjadi ketua yang baik?
Dua minggu lagi kemah akan tetap diadakan. Jika kamu masih seperti ini, aku tak dapat menjamin panitia akan siap menghandle acara.
Hormat saya,
Risaki

Kulipat kertas itu, lalu simpan. Saat istirahat kedua shalat dhuhur, aku menitipkan surat itu pada Eka, sahabat dekat yang sekelas dengan Pukan. Beres
****

Hari berganti, esoknya hariku terasa lebih ringan. Tapi baru sampai di kelas, Pras menyapaku dengan tatapan sinis. Pras juga teman satu organisasi di kepanduan. Dia bilang, “Sa, kamu ngirim surat buat Pukan?”. Oh my... gimana dia bisa tahu?kenapa pula mukanya kusut begitu? Aku hanya diam, mengangguk. “Emang kenapa?” ujarku setelah beberapa detik menguasai diri.

“Ngawur! Kamu kalau ngga tau masalahnya ngga usah sok tau! Bikin perkara aja! Untung ya, kamu cewek, kalau cowok pasti sudah kuhajar!” mulutku terkatup rapat melihat tatapannya. Takut? Sejujurnya sempat dag dig dug. Pras mantan preman di kampungnya. Jadi kalau sampai dia marah, pasti memang ada masalah. Dan sekarang? Oh, dia menganggapku biang masalah karena sudah mengirim surat itu!

Pras ngeloyor pergi usai menggertakku. Entah itu gertakan atau sungguhan, tapi yang jelas kalimatnya sangat mengganggu pikiran selama jam pelajaran. Pagi hingga saat istirahat pertama, aku tidak melihat Pukan. Kemana itu orang ya? Pikiranku sudah macam-macam.

Jika temannya saja begitu marah membaca suratku, bagaimana dengan dia yang menjadi tujuan semua kata? Jika di abenar marah, apa yang akan terjadi selanjutnya? Duh Gusti, bolehkah aku menghilang? Sejenak saja. Atau mungkin sebaiknya aku kembali ke hari kemarin, sehingga tak perlu menulis surat untuknya?

Usai shalat dhuhur, tak sengaja kami berpapasan di teras menuku kelas. Dia tiba-tiba saja berdiri di depanku. Speechless, aku tak bisa berkata apa-apa. Menatap mata bulatnya saja tak cukup nyali.

“Nanti ya, pulang sekolah” Ucapnya tenang.

“Eh?”, aku mendongak kedepan, menatap wajahnya yang sekitar lima centi diatasku, “iya” aku mengangguk. Lalu segera masuk kelas karena bel masuk sudah berbunyi.

Pulang sekolah?

Apa yang akan terjadi?

Besok, mungkin akan kuceritakan detailnya. Pukan, ingatkah kau pulang sekolah waktu itu? Kupikir disitulah cerita ini bermuara. Saat diam-diam kau tanamkan rasa percaya. Ah, semoga aku akan sanggup mengingat setiap detailnya.

#ODOP

4 comments:

Ciani Limaran said...

Aiiihhh... Kisah cinta di Sekolah....

Lankut kak... Lanjut...

Lisa Lestari said...

Makin kepo tentang Pukan...

MS Wijaya said...

ishh nak apelah itu habus sekolah

Wiwid Nurwidayati said...

Asyik ditunggu kisah pukan...

Post a Comment

Popular Posts

Blogger templates

Blogroll

About

Search This Blog

Powered by Blogger.
 

Designed by: Compartidísimo
Images by: DeliciousScraps©