Apa yang kau harapkan dari sekedar teman? Perasaan
diterima? Partner kerja? Atau cukup dengan kehadirannya, kau bisa merasa
sempurna?
Tidak, aku tidak bisa merasakan apapun. Bagiku, ada atau
tidak adanya teman sama saja, saat itu. Mungkin
karena belum mengerti, atau ada hal yang belum sepenuhnya kupahami. Tentang
kebersamaan, juga sedikit perhatian.
Hari senin, adalah hari paling membosankan. Padahal
seharusnya menyenangkan karena ada pelajaran kimia kesukaanku. Gurunya cantik
sih, ramah pula. Sayang, ingatan akan malam minggu sebelumnya membuatku masih
menyimpan kesal. Kau tahu kan, Pukan sudah menjadi ketua organisasi kepanduan
yang kami ikuti? Dan aku, diminta teman-teman untuk jadi bendahara. Karena
anggota yang berjenis kelamin perempuanhanya ada tiga, aku terpaksa menerima
karena dua cewek yang lain, Yana dan Atun jarang bisa ikut keiatan.
Nah, sabtu kemarin ada kegiatan persami di sekolah, tentu
saja aku ikut. Kan harus menyiapkan konsumsi dan segala perlengkapan yang
dibutuhkan senior. Teman-teman juga mayoritas ikut dan acara berjalan lancar
sampai selesai, kecuali satu. Iya, si Pukan itu. Entah kemana dia, sudah dua
atau tiga agenda persami ini dia tidak tampak batang hidungnya. Padahal dua
minggu lagi kami harus siap berangkat kemah kenaikan tingkat di Bumi Perkemahan
Warungboto, dareah dekat hutan Wonosalam.
Sebagai ketua, bukankah seharusnya dia ada mengendalikan
acara? Bukankah harusnya dia jadi contoh bagi anggota? Bukankah dia yang
seharusnya menyiapkans emua? Bukannya meninggalkan begitu saja!!
Aku kesal, teramat kesal. Ketua macam apa dia? Seenaknya
saja meninggalkan agenda. Huh!
Tapi kupikir lagi, apa gunanya aku kesal, coba?
Toh dia ngga tau kalau aku kesal, bahkan ngga peduli.
Tidak, tidak bisa! Orang macam dia ngga bisa dibiarkan gitu aja! Aku terus
memutar otak. Pelajaran kelas 2 SMA bukan masalah bagiku. Jadi, memikirkan hal
lain saat pelajaran bukan sesuatu yang buruk, kan?
Waktu istirahat tiba, kami beda kelas. Dia di kelas 2-3,
sedangkan aku di kelas 2-1. Ketika keluar kelas, kulihat dia sudah istirahat
duluan sedang berjalanmenuju kantin dengan teman-teman cowok sekelasnya,
termsuk Said. Ia tampak gembira, tersenyum tanpa dosa. Bercanda dan seolah tak
ada apa-apa. Tentu saja, karena dia tak tahu apa yang terjadi padaku. Usai
istirahat, baru kepikiran cara terbaik memberitahunya. Surat! Langsung kutilis
dengan menyobek bagian tengah buku.
Assalamu’alaikum, Wr. Wb.
Maaf jika surat ini mengganggu. Tapi sungguh, aku hanya
ingin mengingatkanmu soal agenda persami kemarin. Juga posisimu sebagai ketua
organisasi. Apakah kanu merasa sudah bertindak dengan benar? Beberapa kali
kegiatan persami dan kamu tidak hadir sama sekali.
Jika kamu tidak bisa memimpin dirimu sendiri, bagaimana
mungkin kamu bisa memimpin orang lain? Jika tidak bisa membagi waktumu sendiri,
bagaimana mungkin kau bisa menjadi ketua yang baik?
Dua minggu lagi kemah akan tetap diadakan. Jika kamu masih
seperti ini, aku tak dapat menjamin panitia akan siap menghandle acara.
Hormat saya,
Risaki
Kulipat kertas itu, lalu simpan. Saat istirahat kedua
shalat dhuhur, aku menitipkan surat itu pada Eka, sahabat dekat yang sekelas
dengan Pukan. Beres
****
Hari berganti, esoknya hariku terasa lebih ringan. Tapi
baru sampai di kelas, Pras menyapaku dengan tatapan sinis. Pras juga teman satu
organisasi di kepanduan. Dia bilang, “Sa, kamu ngirim surat buat Pukan?”. Oh my... gimana dia bisa tahu?kenapa pula
mukanya kusut begitu? Aku hanya diam, mengangguk. “Emang kenapa?” ujarku
setelah beberapa detik menguasai diri.
“Ngawur! Kamu kalau ngga tau masalahnya ngga usah sok tau!
Bikin perkara aja! Untung ya, kamu cewek, kalau cowok pasti sudah kuhajar!”
mulutku terkatup rapat melihat tatapannya. Takut? Sejujurnya sempat dag dig
dug. Pras mantan preman di kampungnya. Jadi kalau sampai dia marah, pasti
memang ada masalah. Dan sekarang? Oh, dia menganggapku biang masalah karena
sudah mengirim surat itu!
Pras ngeloyor pergi usai menggertakku. Entah itu gertakan
atau sungguhan, tapi yang jelas kalimatnya sangat mengganggu pikiran selama jam
pelajaran. Pagi hingga saat istirahat pertama, aku tidak melihat Pukan. Kemana
itu orang ya? Pikiranku sudah macam-macam.
Jika temannya saja begitu marah membaca suratku, bagaimana
dengan dia yang menjadi tujuan semua kata? Jika di abenar marah, apa yang akan
terjadi selanjutnya? Duh Gusti, bolehkah aku menghilang? Sejenak saja. Atau
mungkin sebaiknya aku kembali ke hari kemarin, sehingga tak perlu menulis surat
untuknya?
Usai shalat dhuhur, tak sengaja kami berpapasan di teras
menuku kelas. Dia tiba-tiba saja berdiri di depanku. Speechless, aku tak bisa
berkata apa-apa. Menatap mata bulatnya saja tak cukup nyali.
“Nanti ya, pulang sekolah” Ucapnya tenang.
“Eh?”, aku mendongak kedepan, menatap wajahnya yang sekitar
lima centi diatasku, “iya” aku mengangguk. Lalu segera masuk kelas karena bel
masuk sudah berbunyi.
Pulang sekolah?
Apa yang akan terjadi?
Besok, mungkin akan kuceritakan detailnya. Pukan, ingatkah
kau pulang sekolah waktu itu? Kupikir disitulah cerita ini bermuara. Saat diam-diam
kau tanamkan rasa percaya. Ah, semoga aku akan sanggup mengingat setiap
detailnya.
#ODOP
4 comments:
Aiiihhh... Kisah cinta di Sekolah....
Lankut kak... Lanjut...
Makin kepo tentang Pukan...
ishh nak apelah itu habus sekolah
Asyik ditunggu kisah pukan...
Post a Comment