Orang pendiam itu, lebih menyeramkan dari pada hantu.
Mereka tak banyak bicara secara lisan, tapi hatinya tak berhenti
bersuara.
Detak jam terus melaju. Sisa pelajaran setelah shalat dhuhur masih
sekitar 60 menit lagi. Tapi otakku sudah tidak bisa fokus. Ada apa sebenarnya?
Pras yang tampak begitu kesal, seharian ini sama sekali tidak menyapaku.
Melihatku saja tampak malas. Padahal biasanya, dia paling hobi cari gara-gara.
Entah yang memanggil usil, mengambil jajan yang kubeli dari kantin, atau pinjam
PR karena belum sempat dikerjakan.
Aku menengok pelan ke bangku Pras. Dia seperti serius sekali
memperhatikan penjelasan guru. Sejak
kapan dia jadi rajin begitu? Batinku heran.
Ulfa teman sebangkuku menyenggol lirih, “kamu kenapa? Kok dari tadi
ngelamun sih?”
“Eh? Eng, ngga papa. Biasa aja.” Aku memaksakan senyum. Dia hanya
mengggeleng, pasti tau kalau “ngga papa” bagiku berarti “kenapa-kenapa”. Tapi
tidak memaksaku untuk menjelaskan semuanya. Guru memberi kami tugas untuk
dikerjakan saat itu juga. Terdengar keluhan teman sekelas, tapi tidak beliau
hiraukan. Tentu saja, mengikuti kemauan murid pasti ngga ada yang mau ngerjakan
tugas, apalagi di jam terakhir seperti ini.
Jarak tempat dudukku dengan Pras tidak terlalu jauh, hanya sekitar
satu setengah meter. Dia duduk di sebelah kanan depanku. Melihat kesempatan
untuk berbicara, aku berfikir keras: harus diperjelas sebelum semuanya semakin
tidak jelas!
Plak!
“Aduhh!! Siapa sihh??!” Pras mencari asal benda yang sudah
menyakiti batok kepalanya.
Aku melempar pensil kecil tadi, tidak sengaja kena kepala. Opss,
tangan kiriku reflek menutup mulut. Sementara dia celingak celinguk, sampai tatapannya menangkapku. Aku meringis, melambaikan
dua jari tanda perdamaian.
“Pisss.....” lirihku. Dia tampak masam, lalu kembali menghadap ke
depan.
Tidak kurang akal, kulempar satu pensil lagi. “Apa sih sa? Kayak
anak kecil tauk!” Sengitnya. Hatiku mencelos. Tapi tekadku bulat untuk membuat
dia berbicara sebelum usai jam sekolah. Aku kembali melempar ke arahnya, kali
ini lipatan kertas. Dia menangkap maksudku.
Umm,,,, emang aku udah
keterlaluan? Apa yang salah, sih?
Tulisku di kertas itu.
Dia kembali menatapku tajam. Lalu mendekat. Jujur, nyaliku menciut.
“Eh, sa kamu bukan hanya keterlaluan. Kamu itu kurang ajar, tauk! Putra itu
ngga seperti yang kamu kira! Tega-teganya kamu bilang gitu? Kalau kamu ngga mau
minta maaf, atau sekali lagi bicara sembarangan, aku bisa aja jadikan kamu
perkedel.” Ujarnya lirih sambil menunjukkan tinju di depan mukaku. Sementara
mataku hanya mampu menatapnya tak paham. Ah, mungkin lebih baik jika aku diam.
Enam puluh menit segera berlalu. Saatnya pulang. Seandainya ada
jalan selain gerbang sekolah untuk mencapai kos, pasti sudah kulalui meski
harus lompat tembok. Sayang, satu-satunya jalur keluar masuk sekolah hanya
gerbang depan. Mau tak mau aku harus lewat sana. Jujur saja, hatiku tak siap
jika harus ketemu Pukan nanti. Aku memilih pulang belakangan. Berharap Pukan
sudah pulang duluan, jadi mungkin akan terasa lebih bebas.
“Risa..” seseorang memanggil dari kejauhan, itu seperti suara
Pukan? Batinku. Aku berhenti, tapi tak ada suara lagi, jadi kubiarkan kaki
melangkah lagi. Mungkin hanya perasaanku saja.
Gerbang sudah semakin dekat di depan mata. Ah, mungkin dia lupa.
“Hey.... “ tiba-tiba dia berdiri di depanku. Iya, si Pukan itu! Oh my.... apa yang harus kukatakan?
Langkah kaki otomatis berhenti. Terpaksa aku menatap matanya.
Takut, jangan-jangan banyak tersimpan amarah disana? Jangan-jangan, sebentar
lagi teman-temannya yang mirip preman itu bersiap melakukan sesuatu padaku?
Jangan-jangan,... duh!
“Aku cuma mau kasih ini. Dibaca ya?” dia menyerahkan lipatan
kertas. Aku mengangguk lemah. Masih shock dengan dugaanku sendiri yang ternyata
jauh dari kenyataan. Menerima uluran kertas itu pelan, menatapnya sejenak lalu
memasukkannya ke saku baju.
“Boleh aku pulang?” bisa kubayangkan, mukaku pucat saat mengucapkan
pertanyaan itu. Tapi dia tersenyum, mengangguk dan mempersilahkan dengan cara
yang manis sekali. Aku merekamnya baik-baik, di dalam hati.
Sampai kos, kamarku sudah riuh teman-teman yang bercanda. Kawan
sekamarku Dwi namanya, beda sekolah denganku. Dia pulang lebih awal karena ngga
ada jadwal shalat dhuhur di sekolahnya. Aku mengucap salam, lalu meletakkan tas
dan buku di tempatnya. Teman-teman dari kamar atas sedang berkumpul juga
disini, kubiarkan bercanda. Sementara aku masih menimbang. Suratnya dibuka
sekarang atau nanti ya?
Aih, apa kata mereka nanti? Jika tau aku dapat surat dari
laki-laki. Hmm... ikut nimbrung dulu ah. Hari selasa, besok ganti seragam. Jadi
ganti bajunya nanti sore saja sekalian mandi. Begitu pikirku.
Sekitar setengah tiga, kamar kami mulai sepi. Tinggal Dwi yang
sepertinya ingin tidur siang sejenak sebelum ashar tiba. Tapi aku mengusiknya.
“Say, aku mau cerita...” ujarku sambil beringsut ke dekat tempatnya berbaring.
“Hmmmm... kenapa?” Katanya malas.
“Ada surat, buat aku. Tapi jangan ketawa ya?” ucapku pelan-pelan.
“Hah?? Surat?????” Dia langsung bangun, matanya terbuka seratus
persen mendengar kata surat. Aku mengangguk mantap, menatap matanya yang
penasaran.
“Dari?”
“Pukan..” aku meringis.
“Oh,.. pasti balasan suratmu ya? Mana coba lihat?” aku mengambil
surat itu dari saku, “Bentar aku baca dulu nanti kalau udah selesai, boleh kamu
lihat. Oke?” kataku meminta persetujuan, ia mengangguk.
Mulai kubuka lipatan kertas itu. Agak tebal sih, membuat semakin
penasaran, sepanjang apa jawabannya? Aku menahan nafas. Kau tau kertas folio
bergaris, kan? Yang dua lembarnya setengah lipatan koran? Nah, kertas itulah
yang dia gunakan. Mending kalau tulisannya besar-besar sehingga mudah di baca.
Tidak, sama sekali tidak. Tulisan pukan memang rapi (standar tulisan cowok,
menurutku termasuk rapi), tapi kecil sekali, hingga setiap huruf tingginya tak
lebih dari setengah kolom garis. Dan tulisan itu, penuh empat halaman! Alias
dua halaman dari depan, baliknya, sebelah kanan, lalu paling belakang, penuh
semua dengan coretan tangan. Aku menelan ludah, hampir tak percaya.
Dan dia menyelesaikan tulisan itu hanya dalam semalam?
Baik, aku menghargai usahanya. Kubaca pelan-pelan dari halaman
depan, bawah, balik, sampai selesai. Butuh lebih dari satu jam
menyelesaikannya.
Apa dia bilang?
Ah, kau ingin tahu juga rupanya.
Dia menjelaskan dengan detail, kenapa tidak ikut persami? Karena
dia harus mengahdiri latihan silat yang hukumnya wajib untuk meraih gelar
kenaikan tingkat, dia harus dapat sabuk hitam.. karena itu persami harus
dikorbankan karena jadwalnya bersamaan. Dia menyangkal tidak bertanggungjawab
sebagai ketua. Karena sebelumnya, sudah dia bereskan surat-menyurat dan masalah
perijinan tempat, apapun yang bisa dia siapkan. Kalau aku tak percaya, boleh
bertanya pada para senior lain. Lalu soal kepemimpinannya sebagai ketua, dia
juga tidak siap sebenarnya. Bahkan berani menawariku tukar posisi, jika aku
menilai dia tidak pantas menjabat ketua. Aku? Oh tidak!
Masih banyak lagi yang diceritakannya dalam surat itu. Gaya bahasa
yang sederhana dan rinci menjelaskan semuanya membuatku percaya, sangat percaya
bahwa sesungguhnya tidak salah dia jadi ketua. Dia pantas dan mampu mengemban
amanah itu. Ini hanya soal waktu.
Sekarang, di bagian akhir suratnya, dia mengingatkan agenda
perkemahan yang harus kita siapkan. Dia akan ikut dalam acara itu, insya Allah.
Apa lagi yang akan terjadi di sana? Tunggu cerita selanjutnya ya.
Kau boleh tak percaya, tapi ada gadis cantik yang naksir berat sama Pukan.
5 comments:
Cieee.. Inilah awal risaki jatuh hati pada pukan ya?
Aduh.. duh.. duh.. pukan
Siapa tuh gadis cantik yg naksir pukan, ITU selain dik saki kan?
Haciehhh...
Pukan....
Post a Comment