Thursday, 3 November 2016

Menyemai Kenangan 3

| |




Orang pendiam itu, lebih menyeramkan dari pada hantu.
Mereka tak banyak bicara secara lisan, tapi hatinya tak berhenti bersuara.


Detak jam terus melaju. Sisa pelajaran setelah shalat dhuhur masih sekitar 60 menit lagi. Tapi otakku sudah tidak bisa fokus. Ada apa sebenarnya? Pras yang tampak begitu kesal, seharian ini sama sekali tidak menyapaku. Melihatku saja tampak malas. Padahal biasanya, dia paling hobi cari gara-gara. Entah yang memanggil usil, mengambil jajan yang kubeli dari kantin, atau pinjam PR karena belum sempat dikerjakan.

Aku menengok pelan ke bangku Pras. Dia seperti serius sekali memperhatikan penjelasan guru. Sejak kapan dia jadi rajin begitu? Batinku heran.

Ulfa teman sebangkuku menyenggol lirih, “kamu kenapa? Kok dari tadi ngelamun sih?”

“Eh? Eng, ngga papa. Biasa aja.” Aku memaksakan senyum. Dia hanya mengggeleng, pasti tau kalau “ngga papa” bagiku berarti “kenapa-kenapa”. Tapi tidak memaksaku untuk menjelaskan semuanya. Guru memberi kami tugas untuk dikerjakan saat itu juga. Terdengar keluhan teman sekelas, tapi tidak beliau hiraukan. Tentu saja, mengikuti kemauan murid pasti ngga ada yang mau ngerjakan tugas, apalagi di jam terakhir seperti ini.

Jarak tempat dudukku dengan Pras tidak terlalu jauh, hanya sekitar satu setengah meter. Dia duduk di sebelah kanan depanku. Melihat kesempatan untuk berbicara, aku berfikir keras: harus diperjelas sebelum semuanya semakin tidak jelas!

Plak!

“Aduhh!! Siapa sihh??!” Pras mencari asal benda yang sudah menyakiti batok kepalanya.

Aku melempar pensil kecil tadi, tidak sengaja kena kepala. Opss, tangan kiriku reflek menutup mulut. Sementara dia celingak celinguk, sampai tatapannya menangkapku. Aku meringis, melambaikan dua jari tanda perdamaian.

“Pisss.....” lirihku. Dia tampak masam, lalu kembali menghadap ke depan.

Tidak kurang akal, kulempar satu pensil lagi. “Apa sih sa? Kayak anak kecil tauk!” Sengitnya. Hatiku mencelos. Tapi tekadku bulat untuk membuat dia berbicara sebelum usai jam sekolah. Aku kembali melempar ke arahnya, kali ini lipatan kertas. Dia menangkap maksudku.

Umm,,,, emang aku udah keterlaluan? Apa yang salah, sih?

Tulisku di kertas itu.


Dia kembali menatapku tajam. Lalu mendekat. Jujur, nyaliku menciut. “Eh, sa kamu bukan hanya keterlaluan. Kamu itu kurang ajar, tauk! Putra itu ngga seperti yang kamu kira! Tega-teganya kamu bilang gitu? Kalau kamu ngga mau minta maaf, atau sekali lagi bicara sembarangan, aku bisa aja jadikan kamu perkedel.” Ujarnya lirih sambil menunjukkan tinju di depan mukaku. Sementara mataku hanya mampu menatapnya tak paham. Ah, mungkin lebih baik jika aku diam.

Enam puluh menit segera berlalu. Saatnya pulang. Seandainya ada jalan selain gerbang sekolah untuk mencapai kos, pasti sudah kulalui meski harus lompat tembok. Sayang, satu-satunya jalur keluar masuk sekolah hanya gerbang depan. Mau tak mau aku harus lewat sana. Jujur saja, hatiku tak siap jika harus ketemu Pukan nanti. Aku memilih pulang belakangan. Berharap Pukan sudah pulang duluan, jadi mungkin akan terasa lebih bebas.

“Risa..” seseorang memanggil dari kejauhan, itu seperti suara Pukan? Batinku. Aku berhenti, tapi tak ada suara lagi, jadi kubiarkan kaki melangkah lagi. Mungkin hanya perasaanku saja.

Gerbang sudah semakin dekat di depan mata. Ah, mungkin dia lupa.

“Hey.... “ tiba-tiba dia berdiri di depanku. Iya, si Pukan itu! Oh my.... apa yang harus kukatakan?

Langkah kaki otomatis berhenti. Terpaksa aku menatap matanya. Takut, jangan-jangan banyak tersimpan amarah disana? Jangan-jangan, sebentar lagi teman-temannya yang mirip preman itu bersiap melakukan sesuatu padaku? Jangan-jangan,... duh!

“Aku cuma mau kasih ini. Dibaca ya?” dia menyerahkan lipatan kertas. Aku mengangguk lemah. Masih shock dengan dugaanku sendiri yang ternyata jauh dari kenyataan. Menerima uluran kertas itu pelan, menatapnya sejenak lalu memasukkannya ke saku baju.

“Boleh aku pulang?” bisa kubayangkan, mukaku pucat saat mengucapkan pertanyaan itu. Tapi dia tersenyum, mengangguk dan mempersilahkan dengan cara yang manis sekali. Aku merekamnya baik-baik, di dalam hati.

Sampai kos, kamarku sudah riuh teman-teman yang bercanda. Kawan sekamarku Dwi namanya, beda sekolah denganku. Dia pulang lebih awal karena ngga ada jadwal shalat dhuhur di sekolahnya. Aku mengucap salam, lalu meletakkan tas dan buku di tempatnya. Teman-teman dari kamar atas sedang berkumpul juga disini, kubiarkan bercanda. Sementara aku masih menimbang. Suratnya dibuka sekarang atau nanti ya?

Aih, apa kata mereka nanti? Jika tau aku dapat surat dari laki-laki. Hmm... ikut nimbrung dulu ah. Hari selasa, besok ganti seragam. Jadi ganti bajunya nanti sore saja sekalian mandi. Begitu pikirku.

Sekitar setengah tiga, kamar kami mulai sepi. Tinggal Dwi yang sepertinya ingin tidur siang sejenak sebelum ashar tiba. Tapi aku mengusiknya. “Say, aku mau cerita...” ujarku sambil beringsut ke dekat tempatnya berbaring.

“Hmmmm... kenapa?” Katanya malas.

“Ada surat, buat aku. Tapi jangan ketawa ya?” ucapku pelan-pelan.

“Hah?? Surat?????” Dia langsung bangun, matanya terbuka seratus persen mendengar kata surat. Aku mengangguk mantap, menatap matanya yang penasaran.

“Dari?”

“Pukan..” aku meringis.

“Oh,.. pasti balasan suratmu ya? Mana coba lihat?” aku mengambil surat itu dari saku, “Bentar aku baca dulu nanti kalau udah selesai, boleh kamu lihat. Oke?” kataku meminta persetujuan, ia mengangguk.

Mulai kubuka lipatan kertas itu. Agak tebal sih, membuat semakin penasaran, sepanjang apa jawabannya? Aku menahan nafas. Kau tau kertas folio bergaris, kan? Yang dua lembarnya setengah lipatan koran? Nah, kertas itulah yang dia gunakan. Mending kalau tulisannya besar-besar sehingga mudah di baca. Tidak, sama sekali tidak. Tulisan pukan memang rapi (standar tulisan cowok, menurutku termasuk rapi), tapi kecil sekali, hingga setiap huruf tingginya tak lebih dari setengah kolom garis. Dan tulisan itu, penuh empat halaman! Alias dua halaman dari depan, baliknya, sebelah kanan, lalu paling belakang, penuh semua dengan coretan tangan. Aku menelan ludah, hampir tak percaya.

Dan dia menyelesaikan tulisan itu hanya dalam semalam?

Baik, aku menghargai usahanya. Kubaca pelan-pelan dari halaman depan, bawah, balik, sampai selesai. Butuh lebih dari satu jam menyelesaikannya.

Apa dia bilang?

Ah, kau ingin tahu juga rupanya.

Dia menjelaskan dengan detail, kenapa tidak ikut persami? Karena dia harus mengahdiri latihan silat yang hukumnya wajib untuk meraih gelar kenaikan tingkat, dia harus dapat sabuk hitam.. karena itu persami harus dikorbankan karena jadwalnya bersamaan. Dia menyangkal tidak bertanggungjawab sebagai ketua. Karena sebelumnya, sudah dia bereskan surat-menyurat dan masalah perijinan tempat, apapun yang bisa dia siapkan. Kalau aku tak percaya, boleh bertanya pada para senior lain. Lalu soal kepemimpinannya sebagai ketua, dia juga tidak siap sebenarnya. Bahkan berani menawariku tukar posisi, jika aku menilai dia tidak pantas menjabat ketua. Aku? Oh tidak!

Masih banyak lagi yang diceritakannya dalam surat itu. Gaya bahasa yang sederhana dan rinci menjelaskan semuanya membuatku percaya, sangat percaya bahwa sesungguhnya tidak salah dia jadi ketua. Dia pantas dan mampu mengemban amanah itu. Ini hanya soal waktu.

Sekarang, di bagian akhir suratnya, dia mengingatkan agenda perkemahan yang harus kita siapkan. Dia akan ikut dalam acara itu, insya Allah.

Apa lagi yang akan terjadi di sana? Tunggu cerita selanjutnya ya.

Kau boleh tak percaya, tapi ada gadis cantik yang naksir berat sama Pukan.

5 comments:

Ciani Limaran said...

Cieee.. Inilah awal risaki jatuh hati pada pukan ya?

Vinny Martina said...

Aduh.. duh.. duh.. pukan

Wiwid Nurwidayati said...

Siapa tuh gadis cantik yg naksir pukan, ITU selain dik saki kan?

irma said...

Haciehhh...

Lisa Lestari said...

Pukan....

Post a Comment

Popular Posts

Blogger templates

Blogroll

About

Search This Blog

Powered by Blogger.
 

Designed by: Compartidísimo
Images by: DeliciousScraps©