Eh, bener kan ini yang ke-4?
Mungkin kau bertanya, untuk apa kutulis ulang semua cerita jika
akhirnya tak seindah taman surga? Untuk apa menulis cerita yang pernah torehkan
luka? Kau mungkin saja berfikir, aku belum mengikhlaskan semua. Belum bisa
melepaskan kenangan yang terlanjur tercipta?
Kau salah!
Justru karena aku sudah tidak lagi menganggapnya sebagai duri,
tulisan ini bisa terlahir sebagai cerita yang akan menguak sepi, membuang pisau
yang mungkin ujungnya bisa kembali menoreh luka. Aku melepaskannya dengan
segenap keikhlasan tanpa perantara.
Dan mungkin kau tak tahu bagaimana rasanya menapak taman surga,
hingga sembarangan merangkai kata? Sama. aku juga belum pernah kesana. Tapi
setidaknya aku tahu, bahwa bahagia di taman itu tercipta bukan untuk mereka
yang tidak pernah merasa kecewa dalam hidupnya. Tapi bagi mereka yang ikhlas
berdiri diatas setiap cerita yang harus dilakoninya.
Keikhlasan yang tanpa sadar kubangun sejak kata “cinta” belum
pernah berseliweran di dalam kepala. Atau mungkin saat itu aku masih ragu,
cinta akan datang menyapaku.
Siang itu di kantin sekolah, aku masih menikmati makan siang nasi
soto dan segelas es jeruk. Duduk di depanku adalah tetangga sekaligus saudara
jauh, Fia namanya. Dia teman sekelas saat SD, kemudian SMP kami berpisah
sekolah, dan SMA ini kembali masuk ke sekolah yang sama, tapi beda kelas.
Karena itulah moment makan siang bersam amenjadi sedikit istimewa dengannya.
Kami jarang bersama karena tempat kos, kelas dan pilihan kegiatan ekstra yang
berbeda.
“Kak, denger-denger lagi deket sama senior teater ya? Yang imut
itu, siapa namanya?” Ujarku memecah kesepian. Bertanya iseng tentang gosip yang
beredar, dia hanya tertawa. Matanya yang
sipit hampir terpejam setiap kali dia tertawa, membuat kesan lucu siapa saja yang melihatnya. Aku
memanggilnya “kak Fia” karena statusnya yang lebih tinggi dariku dalam silsilah
keluarga. Seharusnya aku memanggilnya “bulek”, karena kakak perempuannya
menikah dengan pamanku. Tapi jelas dia tak mau, kan kami sekelas? Ya sudah
kupanggil kakak saja.
Tawanya jelas mengisyaratkan sesuatu. Tapi bukan aku kalau tidak
berhasil mengorek berita darinya. “Kakak suka ngga sama dia? Kayaknya sih dia
baik ya, kan dia seniorku di HW juga. Jadi aku tahu lah, terima aja kak?”
Usulku membuat tawanya berhenti seketika, aku menatapnya mengambil minum,
meredakan tawa dengan menyeruput sedikit es jeruk.
“Ngga usah aneh-aneh deh, dia itu cuma kakak kelas. Ngga lebih.
Kamu nih bikin gosip aja. Sekolah yang rajin, jangan pacaran!” ujanya sengit
tanpa memberiku kesempatan menggodanya lebih jauh.
Tiba-tiba Yana, teman seorganisasi yang pernah kuceritakan
sebelumnya datang dan ingin bergabung, kami tak bisa menolak. aku belum begitu
kenal dengan Yana ini. Tapi rupanya dia teman satu kos Kak Fia, jadi mereka
langsung akrab.
Awalnya aku tidak begitu peduli dengan apa yang mereka bicarakan.
Tapi entah kenapa telingaku menjadi stereo ketika mendengar kak Fia bertanya
pada Yana, “Jadi gimana, berhasil PDKT sama Putra?” Oho, aku langsung pengen
nimbrung.
“Putra? Siapa kak? Anak OSIS yang juga ketua HW itu?” Aku hanya
ingin memastkan tidak salah mengerti tentang orang yang sedang menjadi topik
bahasan.
“Iya, siapa lagi... kamu ikut HW juga kan? Yana ini naksir berat
loh sama Putra. Emang dia sekeren apa sih? Kok kalau di kos nih, Yana cerita
ngga ada habisnya. Udah kaya ombak di pantai itu, habis datang, pergi sebentar,
ada lagi bahan cerita yang lain, gitu aja terus. Kamu kenal Putra?” Kak Fia
panjang lebar menjelaskan, Yana hanya agak tersipu. Aku? Oh, jangan khawatir.
Saat itu belum kenal kata cemburu.
“Kenal? Engga juga sih. Cuma bagiku dia itu nyebelin aja. Jarang
ikut kegiatan soalnya, padahal kan dia ketua.” Jawabku enteng.
“Jadi kamu setuju, kalau Yana PDKT sama Putra? Bantuin yah, biar dia
senang nih.” Permintaan kak Fia hampir saja ku tolak. Toh, apa hubungannya
denganku? Males banget ngurusi urusan ornag. Apalagi sama, Putra? Oh No! Tapi
masa iya aku bilang gitu sama kakak sendiri?
“Hemmm, ngga janji sih kak.. besok kemah Yana ikut kan? Biar aja
sekalian PDKT gitu”. Usulku, hanya sekedar usul.
“Oh iya bener, tuh Yan, besok waktu kemah kamu buatlah Putra itu
terpesona. Siapa tahu jodoh. Iya kan Sa?” Kak Fia semakin semangat jadi
“kompor” hubungan mereka.
“Iyalah, emang itu tujuan utama ikut kemah. Sekaligus refreshing
abis ujian semester. Kira-kira Putra suka apa ya? Biar kubawain makanan ah
besok kalau kemah.” Yana tampak begitu sumringah menyusun rencana.
Aku hanya mengangguk dan ber-he’em sambil merapikan mangkok dan
gelas yang sudah habis isinya, lalu mengembalikan mangkok dan gelas itu ke
penjualnya sekaligus membayar. Tidak peduli lagi pada obrolan mereka. Cukuplah
aku tahu bahwa, “Yana ikut kemah karena pengen PDKT sama Putra. Alias si Pukan
itu. Mari kita lihat hasilnya nanti”.
#OneDayOnePost
3 comments:
Penasaran abis deh sams sipukan
Aiihhh... Sekeren apa sih sampe direbutin gt? Tp pegang status jd ketua udah modal sih :)
Podo,.aku juga kepo
Post a Comment