Alam selalu
menawarkan pesona, tanpa peduli siang atau malam, tanpa peduli ceria atau
gulita. Namun bagaimana jika pesona yang ditawarkannya tak kasat mata? Akankah
engkau tetap terpesona?
Malam sudah
benar-benar gelap saat kami selesai materi. Bumi perkemahan ini tidak di desain
dengan banyak lampu penerangan. Kak Mirza berpesan, agar kami tidur cepat
karena nanti tepat tengah malam harus siap dibangunkan. Akan ada acara jelajah
malam, dengan rute yang masih dirahasiakan.
Aku tak peduli apa
yang akan terjadi nanti malam. Yang kubutuhkan sekarang cuma satu: tidur.
Mungkin sudah tepat
tengah malam, ketika senior membangunkan kami yang ulas di dalam tenda untuk
segera bersiap, harus berseragam lapangan lengkap dengan sepatu dan hasduk.
“Hoaammmm.....”
terdengar suara orang menguap di barisan cowok. Aku ikut menguap diam-diam.
“Sebelum berangkat,
silahkan ambil posisi push-up. Dua puluh hitungan untuk membuat kalian benar-benar
bangun. Putra, silahkan di pimpin!” Suara kak Mirza tidak ada penurunan
intonasi dari sesi sebelumnya. Dia pasti tidak tidur sejak tadi.
“Siap, laksanakan!”
Suara Putra. Meski dalam gelap, aku tetap bisa mengenalinya. Dan bayang-bayang
tubuh kami dalam temaram lampu neon di tepi jalan cukup menunjukkan kepada
senior, siapa yang belum mengambil posisi. Bisa ditebak, dalam hitungan detik
kami sudah harus mengikuti instruksi.
Senior membagi kami
dalam beberapa kelompok kecil. Laki-laki sendiri, perempuan sendiri. Masing-masing
kelompok ada tiga orang. aku bersama Noe dan Evi. Lumayan, mereka cewek
tangguh. Jadi tak ada yang perlu di khawatirkan. Namun sialnya, kami
diberangkatkan paling akhir. Sebagai kelompok sapu jalan. Huft, terima nasib. Sementara
Pukan dan kelompoknya berangkat paling awal, sekaligus sebagai ujian ketua
menerjemahkan tanda dalam rute yang harus kami lewati.
Klotak..klotak..klotak...
Aku menyeret
tongkat, membiarkannya beradu dengan bebatuan yang berserak di sepanjang jalan.
Dua adik kelasku yang sekelompok tadi kubiarkan berjalan beberapa langkah di
depan. Sementara aku mengawal mereka dari belakang. Jalanan setapak ini cukup
terang menurutku meski tanpa penerangan. Bintang di langit menjadi penunjuk
jalan. Cuaca malam ini begitu cerah, seolah mendukung perjalanan kami.
“Heh, tongkatnya
diangkat! Jalan tanpa suara.” Suara bariton tiba-tiba terasa dekat sekali, di
sebelah kiri jalan. Aku terkesiap, dua gadis di depanku serantak berhenti, lalu
berjalan mundur, merapat padaku. Aku masih berdiri mematung, mencerna suara
tadi, itu suara manusia atau sesuatu yang lain?
“Kak?” panggilku. Tak
ada jawaban. Ih, aku mulai kesal. Jujur, orang sungguhan lebih menakutkan
bagiku ketimbang hantu. Kalau hantu, mana mungkin memberiku peringatan seperti
itu? Tapi kalau manusia, atau senior, dimana wujudnya? Antara kesal dan takut,
aku mengancam.
“Kak? Aku hitung
sampai tiga! Kalau ngga mau muncul kulempari tongkat nih!! Satu.....” tak ada
suara, hanya sedikit gerakan mencurigakan. Aku bersiap mengangkat tongkat. Sementara
kedua gadis tadi bersiap di belakangku.
“Duaa........ Ti...”
“Hush!! Ngga sopan
sama orang tua!!” bentaknya lagi. Satu sosok hitam tinggi berdiri di semak
semak. Aku mengerjapkan mata, berusaha memutar informasi. Siapa? Sosok itu lalu
melangkah ke depan, semakin dekat. Aku sudah berniat benar-benar memukulnya
kalau sampai macam-macam, kunyalakan alarm siaga 1 dalam otak, warna merah
menyala!
“Risa...Risa,
turunkan tongkatmu! Buruan jalan.” Katanya datar.
Oh
my................ Kak Mirza!! Kukira siapa? Huuufft...kami menarik nafas
panjang, lalu melanjutkan perjalanan. Kak Mirza mengikuti langkah kami, di
belakang.
Sampai di pos 3,
kami pikir semua aman terkendali. Jam di tangan sudah menunjuk angka 2.30. Kami
adalah kelompok yang terakhir. Jadwal acara ini sampai jam 3 pagi, setelah itu
kami bebas untuk tahajjud dan menanti shubuh. Usai melaksanakan tugas di pos 3
yang di jaga kak Fajar, kami melanjutkan perjalanan kembali ke bumper. Iya,
kami kira semua baik-baik saja. Namun ternyata tidak, ketika kami mendengar
cerita dari senior yang mengikuti kami di belakang. Kejadian itu sekitar
setengah jam sebelum kami datang.
Kak Fajar yang
sedang berjaga disana ditemani kak Udin. Keduanya sedang mengobrol ringan saat
kelompok Said datang. Dua anggota juniornya melangkah di depan, Ucil dan Hanan.
Seharusnya, setiap kelompok terdiri dari tiga orang. pos 3 diterangi dengan
lampu jalan, karena tidak jauh dari pemakaman umum. Kak Fajar melihat ada yang
janggal ketika bayangan said yang berjalan di belakang kedua anggotanya tampak
ada dua. Segera kak Fajar meminta Ucil dan Hanan mendekat, sementara membiarkan
Said melangkah sesuai kecepatan awal. Sampai di depan Said, benar saja, ada “makhluk
lain” yang mengikuti dibelakangnya. Sosok bayangan putih melompat sesuai
langkah Said. Entah sejak kapan, atau dimana ia mengikuti. Mungkin saat
melewati area pemakaman tadi.
Kak Fajar yang paham
situasi segera mengambil aih, sementara yang lain dari kelompok itu dibiarkan
bersama Kak Udin, Kak Fajar mendekati Said.
“Selamat datang di Pos
3, silahkan lapor!”
“Siap, nama saya
Said, kami dari kelompok lima, siap menerima tugas!” Ucap Said dalam posisi
sempurna, hormat.
“Said, apakah kamu
sadar?” Tanya kak Fajar.
“Siap, tidak!” Kak
Fajar terperanjat, tapi tetap berusaha tenang.
“Saya ulang sekali
lagi. Said, apakah kamu sadar??”
“Siap, Tidak!!”
“Laahawlaa walaa
quwwata illa billaaahhh...” Kak Fajar berteriak lantang. Sosok putih itu masih
berdiri di belakang Said. Tak bergerak.
“Silahkan baca surat
Al Ikhlas, Al Falaq, dan An Naas masing-masing tiga kali, semuanya!!”
Serempak, Said
mengikuti bacaan kak Fajar, kak Udin, Ucil dan Hanan. Mereka yang di depan Said
kemudian melihat sosok putih tadi pergi, menjauhi Said, mungkin kembali ke “rumah”nya
yang entah dimana.
Setelah selesai,
kembali kak Fajar bertanya, “Said, apakah kamu sadar??”
“Siapp, saya sadar!!”
Hufft... semua bernafas lega.
Aku mendengarkan
cerita itu sambil bergidik ngeri, tapi tidak takut lagi. Dalam hati kami
percaya, makhluk-makhluk semacam itu memang ada. Tapi selama kita kuat, menjaga
iman dan bergantung hanya pada Allah, mereka tak akan mampu berbuat apa-apa.
Pagi harinya, cerita
horor semalam tetap disimpan rapi. Tidak banyak yang tahu soal cerita itu. Ya,
memang tidak harus banyak yang tahu. Karena tidak semua orang siap
menanggapinya dengan cara positif. Acara perkemahan di tutup dengan makan
bersama dan upacara.
Memang selama
perkemahan kami tidak harus membaca buku tapi ada banyak pelajaran yang harus
kami ambil langsung dari alam. Mendidik kami agar menjadi orang-orang bijak di
masa depan. Dan yang terpenting, adalah bangunan rasa kekeluargaan yang tidak
dapat kami tolak, rasanya semakin mengenal teman-teman, semakin dekat sebagai
saudara sepenanggungan. Kami siap melanjutkan persaudaraan ini esok di sekolah
dan selanjutnya.
Tentang Yana dan
Putra?
Yah, kau pasti
percaya bahwa Yana melakukan banyak hal untuk membuat Putra meliriknya. Tapi aku
bisa melihat bahwa Putra bersikap sedatar mungkin, layaknya teman, layaknya
ketua. Tidak lebih, tidak ada yang istimewa. Dan aku, tetap bersikap seperti
bisa, seperlunya.
Tapi dalam cerita
selanjutnya, mungkin aku harus bercerita bagaimana kedekatan kami bermula. Nantikan
saja.
#OneDayOnePost.
2 comments:
Asyik...suka dengan sikap putra
Aaiisss... Risaaaa... Galak bgt yak, hhaa pake nantangin hantu segala.
Post a Comment