“Kalian tahu, siapa pahlawan yang paling dekat silsilah perjuangannya
dengan keberadaan kita dalam organisasi ini?” Kak Tama berapi-api menanyakan
kalimat itu kepada kami, yang berdiri tegak, mematung menerima materi di tepi
lapangan bumi perkemahan. Beruntung, cuaca agak mendung melindungi kami dari
teriknya mentari. Tapi cuaca yang mendung itu tidak membantu, mungkin lebih
baik jika terik menerjang kepala, mencairkan otak kami.
Said, pras, Ferry, Rahman, Rouf, Putra yang berjajar rapi di
barisan sebelah kanan kami masih diam, tatapan lurus kedepan, tidak berani
bergeser mencari jawaban. Begitu juga aku, Yana, Noe, Evi, dan peserta
perkemahan putri yang lain. Tidak satupun berani bersuara. Sampai mungkin
senior kami jengkel melihat tingkah “bodoh” kami.
“Jawab!! Kalian ini manusia atau batu?!” hardikan senior membuat
telinga kami meradang. Suasana semakin mencekam beberapa detik kemudian, sampai
Said bersuara lantang, “Siap, tidak!”
“Apa? Bilang sekali lagi! Yang keras! Yang tegas! Kalian bukan
ba***!” Suara senior tak kalah keras. Meski hanya seorang yangs edang mengisi
materi, itu cukup menciutkan nyali kami.
“Siap! Kami tidak tahu!” suara Said kembali terdengar, lebih tegas
dan lantang. Kami pasrah.
“Yang lain??!” kami menarik nafas panjang, lalu berteriak
bersama, lantang. “Siap! Kami tidak tahu!”.
Apapun risikonya, kami tidak boleh ragu. Sekali keputusan diambil,
harus terus melaju. Pantang bagi kami menarik kata, apalagi membalik rasa percaya.
Pantang bagi kami menyatakan iya, jika kata “tidak” yang tersimpan dalam dada.
“Push-up, 10 hitungan. Putra, pimpin!”
“Siap!” Putra mengambil alih aba-aba. Tidak peduli lelaki atau
wanita, konsekwensi harus diambil sepenuhnya. Keluhan hanya erarti tambahan
hukuman. Jadi mau tidak mau, kami lalui sepuluh kali push-up tanpa suara. Lelah?
Ah, mungkin kau tidak tahu, bahwa kelelahan bersama itu bisa jadi sumber
kekuatan.
Usai menyelesaikan hukuman, senior kami memberi dua kali istirahat
di tempat. Artinya kami boleh duduk, dengan posisi tetap sempurna. punggung
tegak, pandnagan lurus ke depan, fokus pada materi.
“Kalian yakin tidak ada satupun yang tahu, siapa pahlawan nasional
yang harusnya jadi panutan?” Ujar kak Tama melunak. Tapi tetap tegas. Kami menggeleng.
Kakak senior itu tampak kecewa.
“Bapak Soeharto, kak?” Rouf mencoba keberuntungan, tapi kak Tama
menggeleng.
“Kartini?” aku iseng menjawab. Lagi-lagi gelengan yang kami dapat. Ingin
sekali rasanya menyerah.
“Jendral Soedirman?” Putra menjawab mantap.
“Bagus!” kak Tama tersenyum puas. Tepat saat itu, entah kenapa
mataku melirik Yana yang duduk di sebelah kiri tepatku duduk. Ia sedang melirik
Putra, dengan tatapan mata penuh cahaya, seperti sangat bahagia melihat pujaan
hatinya memenangkan sayembara. Oh, please
deh...cuma gitu doang. Batinku.
“Risa, coba jelaskan apa istimewanya kehidupan Jendral Soedirman?”
Suara kak Tama membuatku terperanjat. Huft, aku harus jawab apa?
“Eng...ngga tahu kak” Ujarku polos sedetik kemudian. Diiringi tawa
ledekan dari teman-teman.
“Siapa yang tahu? Berhak dapat satu hadiah dari saya!” Iming-iming
kak Tama berhasil membuat semua peserta terkesima. Tapi siapa yang tahu jawabannya?
Kami sangat jarang membaca, apalagi lihat berita. Huft... dalam hati aku
menyesal tidak jadi anggota aktif perpustakaan sekolah.
“Silahkan, Yana. Kasih tahu teman-teman kamu yang malas baca buku!”
Spontan kepala kami menoleh ke arah Yana yang masih mengangkat tangan kanan. Dia, tahu? Pasti begitu bunyi suara
yang bergema di dalam kepala kami, penasaran.
“Jendral Soedirman itu salah satu pelopor berdirinya kepanduan
Hizbul Wathan, kak. Karena beliau adalah panglima tentara yang dekat dengan
tokoh penting Muhammadiyah saat itu. Beliau dalah pahlawan yang selalu menjaga
kesucian, tidak pernah meninggalkan shalat dan mengamalkan banyak sunnah, dan
sukses dengan perang gerilya saat agresi militer Belanda di Yogyakarta.”
Jawabnya lugas. Diiringi tatapan heran kami. Wow....! Begitu kesimpulannya.
“Hadiah untuk kamu Yana, dua butir permen.” Kak Tama menyerahkan
dua bungkus permen kepada Yana, diiringi seruan “Huuuuuu.................” Koor
dari kami semua.
Okey, boleh juga ternyata.
“Kak, yang satu boleh aku kasih ke Putra ya? Kan dia tadi udah jawab
juga?” Suara Yana memecah koor kami. Terang saja mengundang koor berikutnya.
“Cie...cieee....so sweet....kompakan nih yee...” Hahaha, akupun
larut dalam euforia suasana. Sempat kulirik sebentar si-Putra itu. Dia diam
saja. Ekspresinya datar. Menerima satu permen pemberian Yana, tapi tidak
memakannya. Bahkan ketika Rouf meminta, ia rela menyerahkan permen itu begitu
saja. Ah, untung Yana tidak melihat bagian itu.
“Baiklah, mari kita lanjutkan sebentar lagi.” Suara kak Tama
kembali menyatukan fokus kami.
“Ada beberapa sifat teladan dari Jendral Soedirman, yang harus
kalian tanam dalam-dalam.. menjadi sifat dan karakter yang harus kalian bawa
sampai kapanpun dan dimanapun. Pertama jujur dan kedua, berani. Mungkin kalian
akan punya banyak kesempatan untuk membohongi orang lain suatu hari nanti. Tapi
ingat baik-baik, sesungguhnya ketika itu terjadi, kalian hanya sedang berbohong
pada diri sendiri. Orang lain mungkin tidak tahu jika kalian berbohong. Tapi hati
yang suci tak pernah rela mengotori diri sendiri. Maka disinilah hubungannya
kesucian yang selalu Jendral Soedirman jaga sampai ajal, beliau selalu berwudhu
setiap kali batal. Untuk menjaga kesucian diri baik batin maupun fisik,
mengingatkan hati agar selalu bersikap jujur. Sampai di sini ada pertanyaan?”
“Siap, tidak!” kami menjawab serempak.
“Kedua, adalah berani. Ketika kalian sudah mengambil dan memutuskan
sesuatu yang benar, maka kalian harus berani menerima konsekwensinya. Tidak peduli
konsekwensi itu menyenangkan atau menyakitkan. Jangan karena kepentingan, lalu
kalian takut mengungkap kebenaran. Mengerti?!”
“Siap, mengerti!” Kami menjawab serempak, lagi.
“Oke, setelah ini kalian bisa istirahat, shalat berjamaah, dan
jangan lupa setiap berjamaah yang tugas kultum, ya? Nanti setelah isya’ kalian
ada materi dari kak Mirza. Dan karena malam ini puncak acara, siapkan fisik dan
mental kalian untuk jelajah malam.”
“Haaaa???” Suara peserta cewek yang biasa “centil” di sekolah mulai
terdengar lebay. Sementara para peserta cowok tidak terlalu peduli. Aku diam
saja. Ah, masa ngga berani?
Oh ya, aku jadi penasaran gimana cewek-cewen centil itu kalau
jelajah tengah malam, ya? Hihi, bayangkan mereka ketakutan, jadi geli sendiri.
Tunggu saja di cerita selanjutnya, insya Allah segera.
#OneDayOnePost
3 comments:
Hhii... Ikutan nostalgia nih waktu dulu aktif di pecinta alam.
Ini tulisan, keren banget kan?!!
Siap, memang keren!
Hahahaha pukan diantara jendral sudirman
Post a Comment