Hampir setiap orang ingin bahagia. Namun
faktanya, tidak semua orang bisa merasakan apa yang di sebut dengan bahagia.
Banyak orang merasa tidak nyaman, gelisah sepanjang hari, ada saja yang di
khawatirkan. Bahkan diantara mereka yang merasa tidak bahagia tersebut,
kebutuhan hidupnya sudah bisa tercukupi dengan layak.
Tinggal di rumah yang
baik, memiliki pekerjaan, kendaraan, lengkap dengan fasilitas yang tersedia
saat dibutuhkan. Dalam kondisi seperti ini, “seharusnya” mereka lebih berhak
merasa bahagia dibandingkan dengan mereka yang hidupnya serba kekurangan.
Fakta di sekitar kita menunjukkan bahwa
tidak semua orang bisa selalu merasa bahagia, kenapa? Padahal jika dipikir,
bahagia itu gratis. Tidak perlu beli dan tidak ada toko yang menjualnya. Ia
bisa diambil dimana saja, kapan saja, semau kita. Selalu tersedia saat dibutuhkan
siapapun. Tak perlu khawatir kehabisan stok, apalagi harus mencari isi ulang.
Tidak, bahagia adalah salah satu sumber daya yang melimpah jumlahnya. Bahkan
jika semua orang di dunia merasakannya, sepertinya tetap tidak akan habis.
Tidak ada seorangpun yang bisa menjual atau membeli rasa bahagia, bukan hanya
karena ia adalah benda tak kasat mata. Namun juga karena bahagia adalah kata
sifat yang tak ternilai harganya. Di sisi lain, ini adalah pertanda bahwa
sesungguhnya, setiap orang berhak merasa bahagia. Tanpa batasan usia, gender,
taraf ekonomi, status sosial, atau bahkan gengsi.
Setiap orang mungkin pernah merasa
bahagia. Entah sebentar atau lama, sekali, dua kali, atau bahkan berkali-kali.
Tapi kadang musibah, ujian hidup, hasil yang tidak sesuai harapan, atau kecewa
atas kenyataan berhasil mengenyahkan rasa bahagia dari hati. Dendam dan rasa
tidak bisa menerima memperpanjang perginya bahagia dari hati manusia. Sekali
saja hati merasa kecewa, misal karena gagal dalam ujian. Jika hati tidak bisa
menerima lalu merasa bahwa apa yang dilakukan selama ini untuk lulus dari ujian
adalah sia-sia. Belajar siang malam, ikut bimbingan, membeli banyak buku, semua
terasa tidak berarti ketika hasil ujian ternyata tidak memuaskan. Dalam kondisi
seperti ini, masihkah bisa merasa bahagia?
Dalam contoh kasus lain, orang tua yang
memiliki anak berusaha merawatnya dengan sepenuh jiwa. Dipenuhi setiap
kebutuhan sejak bayi merah hingga dewasa, apalagi ketika sakit, orang tua tak
lagi peduli berapa biaya yang harus dikeluarkan. Lalu ketika dewasa, sekali
saja sang anak membantah keinginan orang tua, mereka merasa usaha selama ini
sia-sia. Masihkah rasa bahagia berhak tinggal di hati orang tua seperti mereka?
Bahagia, kecewa, sakit hati, sedih,
senang, susah, sesungguhnya datang dan pergi dengan alasan. Manusia bisa merasa
bahagia memiliki sepasang sandal setelah merasakan panasnya melangkah di jalan
raya saat siang hari tanpa alas kaki. Kita bisa tahu betapa berharga sebuah
prestasi setelah melalui masa sulit dan beratnya ujian yang harus dihadapi.
Kita bisa menikmati manisnya secangkir kopi karena menyadari ada gula yang
larut bersama seduhan bubuk kopi yang aslinya terasa pahit.
Hadirnya kesedihan, kekurangan, kecewa,
sakit hati, rasa sedih, susah, atau gagal sekalipun adalah wujud dari bungkusan
rasa bahagia. Mungkin saat mengalami itu semua, sejenak bahagia terasa lenyap
dari hidup kita. Namun sesungguhnya, bahagia hanya terbungkus dan akan terbuka
pada saatnya. Iya, saat kita siap dan mau merasakan bahagia. Karena tak ada
yang tercipta sia-sia.
#OneDayOnePost
3 comments:
Saya siap.. Saya siap.... Tentu dengan segala konsekuensinya :)
Jadi, bahagia adalah menerima apapun rasa dengan lapang dada yah?
aku.bahagiaaaaa..
Post a Comment