Sudah seminggu ini
aku murung. Bukan karena pelajaran di sekolah yang memang makin sulit, bukan
pula karena nilai ulangan, toh meski tidak rajin belajar nilaiku tidak pernah
berkhianat mengubah warna jadi merah. Bukan pula karena teman-teman di sekolah,
apalagi di organisasi.
Mereka semua baik, kecuali berdasarkan pandangan
pribadi, aku tidak suka beberapa karakter diantara mereka. Iya, aku tidak bisa
merasa nyaman dekat dengan orang yang terlalu banyak bicara, apalagi hobi membicarakan
orang lain. Aku juga tidak suka dekat dengan teman-teman cewek yang hobi
dandan, sepertinya “bukan aku banget”. Selain itu, aku tidak suka dengan
teman-teman cewek yang hobi membicarakan cowok. Oh my god, jadi temanku siapa? Mayoritas
teman cewek memang begitu karakternya, khas sekali remaja SMA. Ini aku yang
terlelu cepat dewasa, atau mereka yang terlalu labil di usia menjelang dewasa? Ah
entahlah.
Yang jelas, aku
tetap bisa menjaga komunikasi yang baik dengan semua teman. Tapi untuk yang
benar-benar dekat, coba kuingat.......... ah, tidak ada! Inilah yang membuatku
sedih seminggu ini. rasanya sangat tidak enak, tidak punya teman dekat yang
bisa diajak bebas bercerita apa saja.
Aku takut, merasa
benar-benar sendiri di sini. Jauh dari ibu, keluarga, sementara ada masalah
yang tidak bisa kuceritakan pada siapapun, termasuk Dwi, teman sekamarku. Kenapa?
Karena aku tahu betul sifat sesama perempuan, tidak pandai menahan obrolan. Mungkin
ada, wanita yang pandai menjaga rahasia. Tapi di usia remaja, itu seperti
mencari jarum di tumpukan jerami, sulit sekali.
Aku merasa sedikit
nyaman, justru ketika berkumpul dengan teman-teman organisasi –yang mayoritas
cowok-, termsuk senior. Entahlah, berteman dengan makhluk adam yang tidak
banyak membicarakan ranah pribadi bisa membuatku menjadi diri sendiri. Disinilah,
aku mulai berfikir untuk memiliki satu teman dekat, salah satu dari mereka. Iya,
cukup satu saja. Tapi siapa?
Saat itu, kata
pacaran sudah terhapus dari kamus hidupku. Waktu SMP dan awal masuk SMA aku
sempat berfikir untuk ikut-ikutan trend pacaran. Tapi mau pacaran sama siapa? Kata
teman-teman cowok, aku galak. Mana ada yang berani dekat-dekat. Lagi pula, kata
Om-ku yang juga guru agamaku sejak sekolah dasar hingga SMP, pacaran itu sumber
maksiyat. Jadi ngga perlu di coba-coba. Ditambah lagi (banyak baget tambahan
ceritanya, ya? Biarin), sejak kecil aku terbiasa bermain dengan teman lelaki,
kakak sepupuku banyak lelaki, teman berangkat dan pulang sekolah bareng juga
laki-laki. Jadi sedikit banyak, aku tahu dunia mereka dan mereka cukup
mengenalku. Salah satu dari mereka ada yang “playboy”, hobi banget gonta ganti
pacar. Dia sering bilang, “Sa, jangan coba-coba pacaran. Atau kamu ngga aku
anggap teman.” Oh, no! Aku lebih baik kehilangan kesempatan pacaran daripada
harus kehilangan teman.
Jadilah di kelas dua
SMA ini, aku ingin punya teman dekat tanpa status pacar. Bukan karena butuh
teman saja, tapi juga karena aku merasa butuh sosok seorang “kakak”. Ah,
melankolis sekali, ya? Dibalik galak dan sadisnya aku di lapangan seperti yang
teman-teman bilang, mereka tidak menyadari bahwa fitrahku sebagai “wanita” yang
penuh dengan kelembutan hati.
Uhuk, memuji diri
sendiri sekali-kali.
Baik, cerita
berlanjut tentang kegalauan yang membuatku murung ini. Kukira tidak seorangpun
di sekolah yang menyadari perubahan sikap dan aura diwajahku. Kukira, aku
benar-benar tak punya seorangpun yang memperhatikan. Sampai suatu siang yang
terik di ruang OSIS, aku hanya duduk membaca buku, tapi pikiranku menerawang
entah kemana. Tiba-tiba,
Brakk!!! Seseorang menggebrak
meja di depanku, cukup membuat jantung ini ingin melompat dan berlari. Otakku segera
merespon informasi. Siapa sih yang berani usil begini?
“Hei!! Ngelamun aja!!
Disambet setan baru tau rasa loh!” kepalaku otomatis berputas 90 derajat ke
arah kiri. Pukannn??? Aku cuma melongo, tanpa kata. Panggilan nama itu hanya
bergaung di dalam kepala.
“Tutup tuh mulut,
jelek, tau!” Ujarnya sambil mencibirku. Ish!! Menyebalkan!! Aku reflek
mengatupkan telapak tangan kiri ke mulut. Masih diam ditempat, tanpa suara.
Sementara makhluk
bernama Putra alias Pukan itu masih membereskan sesuatu di meja komputer, tidak
jauh dari tempatku duduk.
Baru jam pulang
sekolah begini, anak-anak yang lain masih makan siang di kantin. Sementara aku
sedang puasa. Kebetulan hari kamis, jadilah aku berdiam diri di kantor sambil
menunggu yang lain selesai makan. Kami ada jadwal rapat setengah jam lagi. Keheningan
mulai menyelimuti ruangan ini. aku tak cukup nyali memulai percakapan dengan “makhluk
aneh” ini.
“Kamu kenapa sih, Sa?”
Akhirnya sia mulai buka suara.
“Eh? Kenapa..kenapa
maksudnya?” Aku tak mengerti. Wajar kan jika aku bertanya?
“Perasaan ngelamun
mulu akhir-akhir ini, kenapa?” Wowowoww, kejutan!! Jadi dia tahu? Oho... Yana
bisa memenggal kepalaku jika sampai tahu soal ini! otak yang tadi 55%-nya mulai
mengantuk sontak bangun. Jika kubuka isi kepala ini, mungkin bis akulihat
setiap sel yanga da di kepala bekerja ekstra cepat, mencari jawaban paling
tepat untuk Putra.
“Eng...ngga papa.”
Hanya kata itu yang akhirnya kuucapkan padanya. Ia membuang nafas beart. Sepertinya
kesal. Entah karena jawabanku, atau isi layar di depan matanya? Hmm, bukan
urusanku.
“EH, kalau ngga
kenapa-kenapa mana mungkin sering ngelamun gitu?” Tanyanya lagi, skak mat!
“Yee, dibilangin
ngga percaya yaudah.” Ujarku setengah malas.
“Ih, nyebelin.” Katanya
kemudian. Membuatku menyesal sedetik kemudian.
“Hemm, iya sih, ada
sesuatu.. tapi ngga mau juga cerita sama kamu.” Entah kenapa kalimat itu
meluncur begitu saja.
“Kenapa?”
“Rahasia” Jawabku
sok misterius.
“Emang kalau rahasia
aku ngga boleh tau, ya?” entah kapan dia beranjak dari depan komputer itu,
tau-tau sudah berdiri di dekatku. Melihat mataku. Hmm,,,...please, jangan tanya
gimana rasanya ya?
Biasa aja!
Mata bulat itu
mengerjap di depan mataku, penuh rasa ingn tahu. Tapi yang terjadi di dalam
hati, masih tidak bisa kompromi untuk mengerti apa yang sebenarnya harus di
rasa seorang remaja di saat seperti ini.
“Eh? Yaah..mungkin
bisa, tapi ngga bisa sembarangan. Ngga boleh semua orang tahu.” Kataku kemudian.
Menurut perkiraanku, dia sudah benar-benar penasaran tentang apa yang
sebenarnya terjadi padaku. Kesempatan!! Entah sejak kapan aku menyadari kesempatan
itu datang. Iya, kesempatan untuk....sekedar berteman. Bukan pacaran.
“Syaratnya apa?”
terdengar beberapa langkah kaki mendekat ke ruangan ini. ia segera kembali ke
meja komputer. Hufft, bisa berabe kalau ketauan yang lain kami sedang mengobrol
di sini. Ketua OSIS datang, menginstruksi kami untuk segera bergabung ke ruang
rapat. Aku mengangguk dan segera bersiap. Sambil memikirkan jawaban yang paling
tepat, untuk Pukan.
Saat kami harus
beranjak ke ruang sebelah, tatapan kami kembali bertemu. Jelas sekali
mengisyaratkan pertanyaan, “apa?” dan aku msih diam, memikirkan jawabannya.
Rapat berjalan
seperti biasa. Tapi tentu saja fokus pikiranku pada pertimbangan syarat tadi. Apa
ya? Ah, kacau! Seharusnya aku bisa fokus ke rapat ini. baiklah, itu di pikir
nanti lagi.
Sampai rapat selesai,
dan ruang kembali sepi. Sepertinya Pukan sengaja keluar akhir. Yana tidak
gabung dalam OSIS, jadi aku aman di sini. Setidaknya, tidak akan ada yang marah
kalau tahu aku sedang berada satu ruang sengan pujaan hatinya.
Pukan mendekat, aku
menarik nafas dalam.
“Boleh, kalau kamu
mau jadi sahabatku. Janji bisa jaga rahasia, dan menganggapku seperti saudara. Atau
apalah, yang jelas ngga ada agenda pacaran. Gimana?” Ujarku mantap.
Dia masih diam
menatapku. Tidak setuju? Ya sudahlah, aku pasrah. Kata hatiku menghibur.
“Kalau ngga setuju
ngga papa, aku ngga maksa loh...” Ujarku sambil tersenyum.
Meyakinkannya kalau
semua tetap baik-baik saja. Dengan atau tanpa dia sebagai sahabatku. Toh berteman
dalam satu organisasi itu sudah cukup, kan?
“Besok ya?” Katanya. senyumnya mengembang begitu saja. Menerbangkan banyak sekali kelopak bunga, mengirimkannya ke hatiku. Menularkan senyum itu diwajahku.
“Maksudnya?” aku tak
mengerti.
“Mulai besok, kita
sahabat. Oke?” otakku mencerna kata-katanya. Berarti mulai besok, aku bisa
bercerita banyak padanya, begitu juga dia. Aku akan punya sosok yang bisa
mendengarkan cerita dan masalahku, dan aku tidak lagi harus merasa sendiri di
sekolah ini. setidaknya sampai lulus nanti.
Ih, kenapa ngga
mulai sekarang aja? Batinku kesal. Tapi tidak akan kutunjukkan padanya kesalku
ini. biar kusimpan sendiri. Aku hanya mengangguk. Lalu membiarkannya keluar
ruang terlebih dahulu.
Setidaknya, esok aku
punya sahabat. Iya, status yang tentu berbeda dengan sebelumnya. Bukankah meski
ini tidak sungguh-sungguh berarti “sesuatu”, ada percikan bahagia yang kurasa?
Ah, alam tentu tidak
selamanya jahat padaku. Pahit yang kadang terkecap nyata, itu tanda bahwa aku
selangkah lagi harus lebih dewasa. Semoga saja, persahabatan ini menjadi awal
yang baik bagiku, juga dia.
#OneDayOnePost
3 comments:
xixixixi..Pukan mikir dulu..
Asyik..pukan perhatian
Hhhaaa... Masa SMA yg masih percaya bahwa lelaki dan wanita bisa sekedar "bersahabat"...
Aku juga pernah :(
Post a Comment