Tuesday, 15 November 2016

Menyemai Kenangan 7

| |



Sudah seminggu ini aku murung. Bukan karena pelajaran di sekolah yang memang makin sulit, bukan pula karena nilai ulangan, toh meski tidak rajin belajar nilaiku tidak pernah berkhianat mengubah warna jadi merah. Bukan pula karena teman-teman di sekolah, apalagi di organisasi. 

Mereka semua baik, kecuali berdasarkan pandangan pribadi, aku tidak suka beberapa karakter diantara mereka. Iya, aku tidak bisa merasa nyaman dekat dengan orang yang terlalu banyak bicara, apalagi hobi membicarakan orang lain. Aku juga tidak suka dekat dengan teman-teman cewek yang hobi dandan, sepertinya “bukan aku banget”. Selain itu, aku tidak suka dengan teman-teman cewek yang hobi membicarakan cowok. Oh my god, jadi temanku siapa? Mayoritas teman cewek memang begitu karakternya, khas sekali remaja SMA. Ini aku yang terlelu cepat dewasa, atau mereka yang terlalu labil di usia menjelang dewasa? Ah entahlah.

Yang jelas, aku tetap bisa menjaga komunikasi yang baik dengan semua teman. Tapi untuk yang benar-benar dekat, coba kuingat.......... ah, tidak ada! Inilah yang membuatku sedih seminggu ini. rasanya sangat tidak enak, tidak punya teman dekat yang bisa diajak bebas bercerita apa saja.

Aku takut, merasa benar-benar sendiri di sini. Jauh dari ibu, keluarga, sementara ada masalah yang tidak bisa kuceritakan pada siapapun, termasuk Dwi, teman sekamarku. Kenapa? Karena aku tahu betul sifat sesama perempuan, tidak pandai menahan obrolan. Mungkin ada, wanita yang pandai menjaga rahasia. Tapi di usia remaja, itu seperti mencari jarum di tumpukan jerami, sulit sekali.

Aku merasa sedikit nyaman, justru ketika berkumpul dengan teman-teman organisasi –yang mayoritas cowok-, termsuk senior. Entahlah, berteman dengan makhluk adam yang tidak banyak membicarakan ranah pribadi bisa membuatku menjadi diri sendiri. Disinilah, aku mulai berfikir untuk memiliki satu teman dekat, salah satu dari mereka. Iya, cukup satu saja. Tapi siapa?

Saat itu, kata pacaran sudah terhapus dari kamus hidupku. Waktu SMP dan awal masuk SMA aku sempat berfikir untuk ikut-ikutan trend pacaran. Tapi mau pacaran sama siapa? Kata teman-teman cowok, aku galak. Mana ada yang berani dekat-dekat. Lagi pula, kata Om-ku yang juga guru agamaku sejak sekolah dasar hingga SMP, pacaran itu sumber maksiyat. Jadi ngga perlu di coba-coba. Ditambah lagi (banyak baget tambahan ceritanya, ya? Biarin), sejak kecil aku terbiasa bermain dengan teman lelaki, kakak sepupuku banyak lelaki, teman berangkat dan pulang sekolah bareng juga laki-laki. Jadi sedikit banyak, aku tahu dunia mereka dan mereka cukup mengenalku. Salah satu dari mereka ada yang “playboy”, hobi banget gonta ganti pacar. Dia sering bilang, “Sa, jangan coba-coba pacaran. Atau kamu ngga aku anggap teman.” Oh, no! Aku lebih baik kehilangan kesempatan pacaran daripada harus kehilangan teman.

Jadilah di kelas dua SMA ini, aku ingin punya teman dekat tanpa status pacar. Bukan karena butuh teman saja, tapi juga karena aku merasa butuh sosok seorang “kakak”. Ah, melankolis sekali, ya? Dibalik galak dan sadisnya aku di lapangan seperti yang teman-teman bilang, mereka tidak menyadari bahwa fitrahku sebagai “wanita” yang penuh dengan kelembutan hati.

Uhuk, memuji diri sendiri sekali-kali.

Baik, cerita berlanjut tentang kegalauan yang membuatku murung ini. Kukira tidak seorangpun di sekolah yang menyadari perubahan sikap dan aura diwajahku. Kukira, aku benar-benar tak punya seorangpun yang memperhatikan. Sampai suatu siang yang terik di ruang OSIS, aku hanya duduk membaca buku, tapi pikiranku menerawang entah kemana. Tiba-tiba,  

Brakk!!! Seseorang menggebrak meja di depanku, cukup membuat jantung ini ingin melompat dan berlari. Otakku segera merespon informasi. Siapa sih yang berani usil begini?

“Hei!! Ngelamun aja!! Disambet setan baru tau rasa loh!” kepalaku otomatis berputas 90 derajat ke arah kiri. Pukannn??? Aku cuma melongo, tanpa kata. Panggilan nama itu hanya bergaung di dalam kepala.

“Tutup tuh mulut, jelek, tau!” Ujarnya sambil mencibirku. Ish!! Menyebalkan!! Aku reflek mengatupkan telapak tangan kiri ke mulut. Masih diam ditempat, tanpa suara.

Sementara makhluk bernama Putra alias Pukan itu masih membereskan sesuatu di meja komputer, tidak jauh dari tempatku duduk.

Baru jam pulang sekolah begini, anak-anak yang lain masih makan siang di kantin. Sementara aku sedang puasa. Kebetulan hari kamis, jadilah aku berdiam diri di kantor sambil menunggu yang lain selesai makan. Kami ada jadwal rapat setengah jam lagi. Keheningan mulai menyelimuti ruangan ini. aku tak cukup nyali memulai percakapan dengan “makhluk aneh” ini.

“Kamu kenapa sih, Sa?” Akhirnya sia mulai buka suara.

“Eh? Kenapa..kenapa maksudnya?” Aku tak mengerti. Wajar kan jika aku bertanya?

“Perasaan ngelamun mulu akhir-akhir ini, kenapa?” Wowowoww, kejutan!! Jadi dia tahu? Oho... Yana bisa memenggal kepalaku jika sampai tahu soal ini! otak yang tadi 55%-nya mulai mengantuk sontak bangun. Jika kubuka isi kepala ini, mungkin bis akulihat setiap sel yanga da di kepala bekerja ekstra cepat, mencari jawaban paling tepat untuk Putra.

“Eng...ngga papa.” Hanya kata itu yang akhirnya kuucapkan padanya. Ia membuang nafas beart. Sepertinya kesal. Entah karena jawabanku, atau isi layar di depan matanya? Hmm, bukan urusanku.

“EH, kalau ngga kenapa-kenapa mana mungkin sering ngelamun gitu?” Tanyanya lagi, skak mat!

“Yee, dibilangin ngga percaya yaudah.” Ujarku setengah malas.

“Ih, nyebelin.” Katanya kemudian. Membuatku menyesal sedetik kemudian.

“Hemm, iya sih, ada sesuatu.. tapi ngga mau juga cerita sama kamu.” Entah kenapa kalimat itu meluncur begitu saja.

“Kenapa?”

“Rahasia” Jawabku sok misterius.

“Emang kalau rahasia aku ngga boleh tau, ya?” entah kapan dia beranjak dari depan komputer itu, tau-tau sudah berdiri di dekatku. Melihat mataku. Hmm,,,...please, jangan tanya gimana rasanya ya?

Biasa aja!

Mata bulat itu mengerjap di depan mataku, penuh rasa ingn tahu. Tapi yang terjadi di dalam hati, masih tidak bisa kompromi untuk mengerti apa yang sebenarnya harus di rasa seorang remaja di saat seperti ini.

“Eh? Yaah..mungkin bisa, tapi ngga bisa sembarangan. Ngga boleh semua orang tahu.” Kataku kemudian. Menurut perkiraanku, dia sudah benar-benar penasaran tentang apa yang sebenarnya terjadi padaku. Kesempatan!! Entah sejak kapan aku menyadari kesempatan itu datang. Iya, kesempatan untuk....sekedar berteman. Bukan pacaran.

“Syaratnya apa?” terdengar beberapa langkah kaki mendekat ke ruangan ini. ia segera kembali ke meja komputer. Hufft, bisa berabe kalau ketauan yang lain kami sedang mengobrol di sini. Ketua OSIS datang, menginstruksi kami untuk segera bergabung ke ruang rapat. Aku mengangguk dan segera bersiap. Sambil memikirkan jawaban yang paling tepat, untuk Pukan.

Saat kami harus beranjak ke ruang sebelah, tatapan kami kembali bertemu. Jelas sekali mengisyaratkan pertanyaan, “apa?” dan aku msih diam, memikirkan jawabannya.

Rapat berjalan seperti biasa. Tapi tentu saja fokus pikiranku pada pertimbangan syarat tadi. Apa ya? Ah, kacau! Seharusnya aku bisa fokus ke rapat ini. baiklah, itu di pikir nanti lagi.

Sampai rapat selesai, dan ruang kembali sepi. Sepertinya Pukan sengaja keluar akhir. Yana tidak gabung dalam OSIS, jadi aku aman di sini. Setidaknya, tidak akan ada yang marah kalau tahu aku sedang berada satu ruang sengan pujaan hatinya.

Pukan mendekat, aku menarik nafas dalam.

“Boleh, kalau kamu mau jadi sahabatku. Janji bisa jaga rahasia, dan menganggapku seperti saudara. Atau apalah, yang jelas ngga ada agenda pacaran. Gimana?” Ujarku mantap.

Dia masih diam menatapku. Tidak setuju? Ya sudahlah, aku pasrah. Kata hatiku menghibur.

“Kalau ngga setuju ngga papa, aku ngga maksa loh...” Ujarku sambil tersenyum. 

Meyakinkannya kalau semua tetap baik-baik saja. Dengan atau tanpa dia sebagai sahabatku. Toh berteman dalam satu organisasi itu sudah cukup, kan?

“Besok ya?” Katanya. senyumnya mengembang begitu saja. Menerbangkan banyak sekali kelopak bunga, mengirimkannya ke hatiku. Menularkan senyum itu diwajahku.

“Maksudnya?” aku tak mengerti.

“Mulai besok, kita sahabat. Oke?” otakku mencerna kata-katanya. Berarti mulai besok, aku bisa bercerita banyak padanya, begitu juga dia. Aku akan punya sosok yang bisa mendengarkan cerita dan masalahku, dan aku tidak lagi harus merasa sendiri di sekolah ini. setidaknya sampai lulus nanti.

Ih, kenapa ngga mulai sekarang aja? Batinku kesal. Tapi tidak akan kutunjukkan padanya kesalku ini. biar kusimpan sendiri. Aku hanya mengangguk. Lalu membiarkannya keluar ruang terlebih dahulu.

Setidaknya, esok aku punya sahabat. Iya, status yang tentu berbeda dengan sebelumnya. Bukankah meski ini tidak sungguh-sungguh berarti “sesuatu”, ada percikan bahagia yang kurasa?

Ah, alam tentu tidak selamanya jahat padaku. Pahit yang kadang terkecap nyata, itu tanda bahwa aku selangkah lagi harus lebih dewasa. Semoga saja, persahabatan ini menjadi awal yang baik bagiku, juga dia.

#OneDayOnePost

3 comments:

Lisa Lestari said...

xixixixi..Pukan mikir dulu..

Wiwid Nurwidayati said...

Asyik..pukan perhatian

Ciani Limaran said...

Hhhaaa... Masa SMA yg masih percaya bahwa lelaki dan wanita bisa sekedar "bersahabat"...

Aku juga pernah :(

Post a Comment

Popular Posts

Blogger templates

Blogroll

About

Search This Blog

Powered by Blogger.
 

Designed by: Compartidísimo
Images by: DeliciousScraps©