Friday, 2 December 2016

Borokokok

| |


Sumber: Google


“Pak, aduh pak... ini ulah siapa kaya gini ini? Aduh, nyebelin banget sih!! Paakk....sini buruaannn..” Bu Parni teriak memanggil suaminya yang sedang mencangkul di ujung ladang seberang. Mau tak mau ia harus berteriak agar suaminya mendengar.

“Ada apa toh bu? Kok ribut-ribut?” Pak Pardi mendekati istrinya yang sudah berkacak pinggang dan memasang muka masam.

“Ini loh pak, lihat..lihat!! Ulah siapa kaya gini ini? Biji-biji padi yang kita tanam kemarin habis di sini.” Ujarnya sambil menunjuk-nunjuk tanah di depannya bekas di cakar-cakar, berantakan sekali.

Kemarin sore, pasangan itu ke ladang untuk menanam biji padi. Di lahan yang tekstur tanahnya layak disebut ladang (bukan sawah), biji-biji padi ditanam tanpa perlu di semai. Teknik tanam seperti ini berbeda jika lahan yang ditanami adalah sawah yang banyak air, jika padi di tanam di sawah maka perlu disemaikan dulu sampai tinggi bibit sekitar 10-15 cm baru bisa ditanam. Harapan mereka, jika cuaca baik dan keadaan mendukung pertumbuhan padi, maka panen bisa dilaksanakan sekitar 3 bulan lagi. Tapi baru sehari biji-biji itu di sebar, sudah berantakan sekali tanahnya. Pertanda bahwa sebagian biji yang mereka sebar kemarin sudah tidak tinggal di sana.

“Loh, kok bisa ya bu? kan baru kemarin kita tanam...” Pak Pardi masih berusaha tenang, meskipun tentu saja beliau kesal karena hasil usahanya kemarin sia-sia. Lahan yang tidak seberapa itu hasilnya tidak terlalu banyak jika panen. Kalau baru ditanam sudah berantakan begini, alamat mereka harus mengulang pekerjaan, menanami lagi dengan biji baru.

“Siapa lagi kalau bukan ulah borokokok punya saudaramu itu?! Huh!!” Bu Parni masih bersungut. Sementara itu Pak Pardi mengernyitkan dahi.

“Borokokok? Siapa?”

“Aduh pakkk.... itu loh, borokokok yang suka maen kesiniii.... Udah ah aku mau pulang! Kesel aku!! Kamu mau pulang atau tinggal?!” Bu Parni menatap tajam mata suaminya, amarahnya semakin tidak terkendali.

Pak Pardi baru sadar, rumah adiknya memang hanya berpagar tanaman dengan lahan miliknya. Keluarga adiknya punya beberapa hewan peliharaan seperti sapi, kambing, beberapa jenis unggas, salah satunya si borokokok itu. Ia dipanggil borokokok karena gemar sekali berbunyi “kuruk kuk kuk..kok .. kok..kuuurrrr...” terutama saat menggoda betina milik tetangga.

Binatang memang sering main ke ladang, memakan biji-bijian yang di sebar. Entahlah, mungkin pemiliknya kurang memberi makan, sehingga ia memilih mencari makan di luar pekarangan. Namanya juga naluri hewan, bisa tahu dimana ada makanan.

“Loh, loh.. sabar toh bu.. kita kan bersihin rumputnya baru setengah, nanggung setengah lagi...” Pak Pardi berusaha menahan istrinya.

“Ngga ah! Dari pada aku di sini maki-maki orang mending aku pulang, pak! Sudah ngga mood kerja aku pak... Yaudah kalau kamu mau selesaikan, aku mau pulang aja sekarang!” Bu Parni segera berbalik, mengumpulkan rumput yang tadi sempat ditinggalkan di seberang.

Ah, kenapa pula tadi harus melangkah ke sebelah sini dulu, jadi tahu kalau borokokok bikin ulah, bikin males! Batinnya kesal.

“Sek to bu... sabar... kita selesaikan dulu sebentar lagi. Nanti pulangnya kita mampir ke rumah Markono, bilang baik-baik supaya si Borokokok itu dikandang saja. Supaya ngga ganggu tanaman kita lagi..ya?” Pak Pardi memang sabar, yah apalagi sama saudara sendiri, mau gimana lagi? Tidak mungkin menjebak si Borokokok di ladang lalu menyembelihnya. Itu bukan pilihan yang baik, pikirnya. Masa mau menangkap hewan peliharaan saudara sendiri?

“Oh, nanti mau kerumah dia? Baguslah pak, sekalian bilang sama adik iparmu itu kalau punya peliharaan dikasih makan biar ngga celamitan! Bukan ladang kita aja loh pak yang jadi korban, itu puya Pak Giman di samping juga sama, dijarah borokokok! Udah ah pak, aku pulang duluan ya? Mau masak juga. Nanti siang kita mau makan apa kalau aku belum masak?”

“Ya sudah sana, pulang..hati-hati di jalan.” Pak Pardi akhirnya mengalah, paling sekitar satu jam lagi pekerjaannya sudah selesai. Nanti mampir sebentar, pulang sampai rumah sekitar dhuhur, pas waktunya makan siang. Begitu pikirnya, lalu kembali menekuni cangkul, menyingkirkan rumput yang menjalar sampai lahan itu tampak bersih.
***

“Assalamu’alaikum... No... “ Pak Pardi memanggil adiknya dari belakang rumah. Biasanya, sang adik sudah pulang dari mengantar daun kayu putih ke pabrik, kecuali stok daun sedang melimpah maka butuh dua atau tiga kali angkut ke pabrik penyulingan minyak kayu putih. Setelah mengulang salam, yang menyahut istri adiknya. Ternyata Markono sedang ada urusan lain, tidak dirumah saat itu. Terpaksa Pak Pardi mengutarakan maksud kedatangannya pada adik iparnya yang menyuruh duduk di teras belakang.

“Ada apa pakde? kok tumben?” Tanya Tini, adik iparnya yang lebih gemuk dari Bu Parni itu dengan tatapan sedikit curiga. Tini memang kurang ramah, siapapun yang pernah berbincang dengannya pasti sepakat soal ini. Dia jarang sekali tersenyum, apalagi bercanda.

“Ini lho dek, aku cuma mau minta tolong si borokokok di kandang saja sampai kira-kira satu bulan gitu. Karena kalau tidak, kasihan biji-biji padi yang sudah kami tanam dia makan. Satu bulan lagi kan sudah agak tinggi padinya, jadi aman. Nanti kalau musim panen di kurung lagi biar ngga ganggu tanaman, gitu.” Pak Pardi menjelaskan pelan-pelan. khawatir adik iparnya itu tersinggung.

“Loh, ya terserah saya toh pakde.. itu Si Jalu namanya pade, bukan Borokokok! Dia kan memang punya kaki, jadi biar saja kemana-mana. Di rumah juga sudah kami beri makan, tapi kalau setelah itu keluyuran ya biar saja. Lagi pula memang sulit ditangkap itu Jalu. Tingkahnya gesit kaya belut. Pakde ngga ikhlas padinya dimakan Si Jalu? ini kami ganti saja, ada padi sekitar 1 kg sisa tanam juga kemarin. Cukup kan?” Ujar Tini ketus.

Tanpa pamit, Pak Pardi memilih pulang. Kesal rasanya ditanggapi seperti itu. Untung tadi istrinya tidak ikut. Coba kalau ikut, bisa cakar-cakaran kedua wanita itu, cuma gara-gara si borokokok, batinnya.
***

“Udah mateng bu? Jadi masak apa?” Pak Pardi menghampiri istrinya ke dapur. Wanita yang dicintainya sedang menata piring di meja. Bau masakan wangi menyengat, menerbitkan rasa lapar. Apalagi ditambah melihat penampilan istrinya yang sudah rapi. Meski tanpa make up, istrinya itu tetap terlihat cantik dimatanya, terutama saat rambut basahnya tergerai sebahu begitu. Manis sekali.

“Udah pak, ini tadi pengen nasi thiwul, kayaknya dengar ibu cerita masak thiwul kemaren enak banget, jadi aku masak sekalian. Tapi kalau bapak ngga mau nasi putih juga ada kok. Lengkap sama “jangan lombok” plus krecek,  kuluban daun tayuman, sama ikan laut goreng kesukaan bapak. Sini tak ambilin nasi porsi biasa ya, nanti kalau mau tambah sendiri. Wong aku masak banyak, nanti kalau anak-anak pulang biar lahap makannya, si Anggi kan suka banget ikan goreng. Aku juga buat sambal bawang mentah kalau dia nanti ngga mau sayur lombok.”

Menu makan siang mereka kali ini adalah masakan khas Gunungkidul. Nasi thiwul adalah nasi yang berasal dari singkong, warnanya agak kehitaman, tapi tidak kalah gurih dengan nasi dari beras  padi. Sayur lombok biasa disebut “jangan lombok” adalah sayur santan yang didominasi irisan cabai hijau, ditambah irisan tempe dan krecek (kulit sapi goreng), makan sayur ini biasanya harus dilengkapi dengan kuluban (sayur rebus) daun tayuman (bentuknya seperti kupu-kupu) yang masih muda, direbus dengan garam saja lalu dperas. Lauknya tergantung selera. Bisa dengan ayam, ikan goreng, atau sekedar tahu dan tempe gorengpun sudah terasa nikmat.

Pak Pardi tidak menyahut, hanya tersenyum sambil mengangsurkan piring kosongnya. Begini rupanya rasa surga dunia, memiliki istri cantik di depan mata itu menentramkan jiwa, batinnya.

“Eh, bapak kok senyum-senyum gitu kenapa? Tadi jadi ke rumah Markono? Gimana, mereka mau ngandangin si borokokok nyebelin itu ngga?” Pertanyaan Bu Parni mengingatkan Pak Pardi akan sambutan tidak ramah adik iparnya tadi.

“Besok kita jadikan lauk saja si borokokok itu ya, bu” Sahut Pak Pardi.

“Eh?” Bu Parni melongo.

#OneDayOnePost
#ODOPChallenges

3 comments:

Na said...

Ahahahah.. Borokokoknya nakal. Harus segera di penjarakan. Eh.. Di kandangkan.

Mba kifa. Saya jadi lapar baca menu makan siangnya pak Pardi

Ciani Limaran said...

Hebat, sekali dayung dua pulau terlampaui.

Maafin borokokok yaa.. Tp bolehlah klo dijadikan lauk. Memang itu tujuan ia diciptakan, hhaa

Wiwid Nurwidayati said...

Aku mau sayur cabe, krecek..enak.

Post a Comment

Popular Posts

Blogger templates

Blogroll

About

Search This Blog

Powered by Blogger.
 

Designed by: Compartidísimo
Images by: DeliciousScraps©