![]() |
Sumber: Google |
“Pak, aduh pak... ini ulah siapa
kaya gini ini? Aduh, nyebelin banget sih!! Paakk....sini buruaannn..” Bu Parni
teriak memanggil suaminya yang sedang mencangkul di ujung ladang seberang. Mau
tak mau ia harus berteriak agar suaminya mendengar.
“Ada apa toh bu? Kok ribut-ribut?”
Pak Pardi mendekati istrinya yang sudah berkacak pinggang dan memasang muka
masam.
“Ini loh pak, lihat..lihat!!
Ulah siapa kaya gini ini? Biji-biji padi yang kita tanam kemarin habis di
sini.” Ujarnya sambil menunjuk-nunjuk tanah di depannya bekas di cakar-cakar,
berantakan sekali.
Kemarin sore, pasangan itu ke
ladang untuk menanam biji padi. Di lahan yang tekstur tanahnya layak disebut
ladang (bukan sawah), biji-biji padi ditanam tanpa perlu di semai. Teknik tanam
seperti ini berbeda jika lahan yang ditanami adalah sawah yang banyak air, jika
padi di tanam di sawah maka perlu disemaikan dulu sampai tinggi bibit sekitar
10-15 cm baru bisa ditanam. Harapan mereka, jika cuaca baik dan keadaan
mendukung pertumbuhan padi, maka panen bisa dilaksanakan sekitar 3 bulan lagi.
Tapi baru sehari biji-biji itu di sebar, sudah berantakan sekali tanahnya.
Pertanda bahwa sebagian biji yang mereka sebar kemarin sudah tidak tinggal di
sana.
“Loh, kok bisa ya bu? kan baru
kemarin kita tanam...” Pak Pardi masih berusaha tenang, meskipun tentu saja
beliau kesal karena hasil usahanya kemarin sia-sia. Lahan yang tidak seberapa
itu hasilnya tidak terlalu banyak jika panen. Kalau baru ditanam sudah
berantakan begini, alamat mereka harus mengulang pekerjaan, menanami lagi
dengan biji baru.
“Siapa lagi kalau bukan ulah
borokokok punya saudaramu itu?! Huh!!” Bu Parni masih bersungut. Sementara itu
Pak Pardi mengernyitkan dahi.
“Borokokok? Siapa?”
“Aduh pakkk.... itu loh,
borokokok yang suka maen kesiniii.... Udah ah aku mau pulang! Kesel aku!! Kamu
mau pulang atau tinggal?!” Bu Parni menatap tajam mata suaminya, amarahnya
semakin tidak terkendali.
Pak Pardi baru sadar, rumah
adiknya memang hanya berpagar tanaman dengan lahan miliknya. Keluarga adiknya punya
beberapa hewan peliharaan seperti sapi, kambing, beberapa jenis unggas, salah
satunya si borokokok itu. Ia dipanggil borokokok karena gemar sekali berbunyi
“kuruk kuk kuk..kok .. kok..kuuurrrr...” terutama saat menggoda betina milik
tetangga.
Binatang memang sering main ke
ladang, memakan biji-bijian yang di sebar. Entahlah, mungkin pemiliknya kurang
memberi makan, sehingga ia memilih mencari makan di luar pekarangan. Namanya
juga naluri hewan, bisa tahu dimana ada makanan.
“Loh, loh.. sabar toh bu.. kita
kan bersihin rumputnya baru setengah, nanggung setengah lagi...” Pak Pardi
berusaha menahan istrinya.
“Ngga ah! Dari pada aku di sini
maki-maki orang mending aku pulang, pak! Sudah ngga mood kerja aku pak...
Yaudah kalau kamu mau selesaikan, aku mau pulang aja sekarang!” Bu Parni segera
berbalik, mengumpulkan rumput yang tadi sempat ditinggalkan di seberang.
Ah, kenapa pula tadi harus melangkah ke sebelah sini dulu, jadi tahu kalau
borokokok bikin ulah, bikin males! Batinnya kesal.
“Sek to bu... sabar... kita
selesaikan dulu sebentar lagi. Nanti pulangnya kita mampir ke rumah Markono,
bilang baik-baik supaya si Borokokok itu dikandang saja. Supaya ngga ganggu
tanaman kita lagi..ya?” Pak Pardi memang sabar, yah apalagi sama saudara
sendiri, mau gimana lagi? Tidak mungkin menjebak si Borokokok di ladang lalu
menyembelihnya. Itu bukan pilihan yang baik, pikirnya. Masa mau menangkap hewan
peliharaan saudara sendiri?
“Oh, nanti mau kerumah dia?
Baguslah pak, sekalian bilang sama adik iparmu itu kalau punya peliharaan dikasih
makan biar ngga celamitan! Bukan ladang kita aja loh pak yang jadi korban, itu
puya Pak Giman di samping juga sama, dijarah borokokok! Udah ah pak, aku pulang
duluan ya? Mau masak juga. Nanti siang kita mau makan apa kalau aku belum masak?”
“Ya sudah sana,
pulang..hati-hati di jalan.” Pak Pardi akhirnya mengalah, paling sekitar satu
jam lagi pekerjaannya sudah selesai. Nanti mampir sebentar, pulang sampai rumah
sekitar dhuhur, pas waktunya makan siang. Begitu pikirnya, lalu kembali menekuni
cangkul, menyingkirkan rumput yang menjalar sampai lahan itu tampak bersih.
***
“Assalamu’alaikum... No... “ Pak
Pardi memanggil adiknya dari belakang rumah. Biasanya, sang adik sudah pulang
dari mengantar daun kayu putih ke pabrik, kecuali stok daun sedang melimpah
maka butuh dua atau tiga kali angkut ke pabrik penyulingan minyak kayu putih.
Setelah mengulang salam, yang menyahut istri adiknya. Ternyata Markono sedang
ada urusan lain, tidak dirumah saat itu. Terpaksa Pak Pardi mengutarakan maksud
kedatangannya pada adik iparnya yang menyuruh duduk di teras belakang.
“Ada apa pakde? kok tumben?”
Tanya Tini, adik iparnya yang lebih gemuk dari Bu Parni itu dengan tatapan
sedikit curiga. Tini memang kurang ramah, siapapun yang pernah berbincang
dengannya pasti sepakat soal ini. Dia jarang sekali tersenyum, apalagi
bercanda.
“Ini lho dek, aku cuma mau minta
tolong si borokokok di kandang saja sampai kira-kira satu bulan gitu. Karena
kalau tidak, kasihan biji-biji padi yang sudah kami tanam dia makan. Satu bulan
lagi kan sudah agak tinggi padinya, jadi aman. Nanti kalau musim panen di
kurung lagi biar ngga ganggu tanaman, gitu.” Pak Pardi menjelaskan pelan-pelan.
khawatir adik iparnya itu tersinggung.
“Loh, ya terserah saya toh
pakde.. itu Si Jalu namanya pade, bukan Borokokok! Dia kan memang punya kaki,
jadi biar saja kemana-mana. Di rumah juga sudah kami beri makan, tapi kalau
setelah itu keluyuran ya biar saja. Lagi pula memang sulit ditangkap itu Jalu.
Tingkahnya gesit kaya belut. Pakde ngga ikhlas padinya dimakan Si Jalu? ini
kami ganti saja, ada padi sekitar 1 kg sisa tanam juga kemarin. Cukup kan?”
Ujar Tini ketus.
Tanpa pamit, Pak Pardi memilih
pulang. Kesal rasanya ditanggapi seperti itu. Untung tadi istrinya tidak ikut.
Coba kalau ikut, bisa cakar-cakaran kedua wanita itu, cuma gara-gara si
borokokok, batinnya.
***
“Udah mateng bu? Jadi masak
apa?” Pak Pardi menghampiri istrinya ke dapur. Wanita yang dicintainya sedang
menata piring di meja. Bau masakan wangi menyengat, menerbitkan rasa lapar.
Apalagi ditambah melihat penampilan istrinya yang sudah rapi. Meski tanpa make
up, istrinya itu tetap terlihat cantik dimatanya, terutama saat rambut basahnya
tergerai sebahu begitu. Manis sekali.
“Udah pak, ini tadi pengen nasi
thiwul, kayaknya dengar ibu cerita masak thiwul kemaren enak banget, jadi aku
masak sekalian. Tapi kalau bapak ngga mau nasi putih juga ada kok. Lengkap sama
“jangan lombok” plus krecek, kuluban
daun tayuman, sama ikan laut goreng kesukaan bapak. Sini tak ambilin nasi porsi
biasa ya, nanti kalau mau tambah sendiri. Wong
aku masak banyak, nanti kalau anak-anak pulang biar lahap makannya, si Anggi
kan suka banget ikan goreng. Aku juga buat sambal bawang mentah kalau dia nanti
ngga mau sayur lombok.”
Menu makan siang mereka kali ini
adalah masakan khas Gunungkidul. Nasi thiwul adalah nasi yang berasal dari
singkong, warnanya agak kehitaman, tapi tidak kalah gurih dengan nasi dari
beras padi. Sayur lombok biasa disebut
“jangan lombok” adalah sayur santan yang didominasi irisan cabai hijau, ditambah
irisan tempe dan krecek (kulit sapi goreng), makan sayur ini biasanya harus
dilengkapi dengan kuluban (sayur rebus) daun tayuman (bentuknya seperti
kupu-kupu) yang masih muda, direbus dengan garam saja lalu dperas. Lauknya tergantung
selera. Bisa dengan ayam, ikan goreng, atau sekedar tahu dan tempe gorengpun
sudah terasa nikmat.
Pak Pardi tidak menyahut, hanya
tersenyum sambil mengangsurkan piring kosongnya. Begini rupanya rasa surga
dunia, memiliki istri cantik di depan mata itu menentramkan jiwa, batinnya.
“Eh, bapak kok senyum-senyum
gitu kenapa? Tadi jadi ke rumah Markono? Gimana, mereka mau ngandangin si
borokokok nyebelin itu ngga?” Pertanyaan Bu Parni mengingatkan Pak Pardi akan
sambutan tidak ramah adik iparnya tadi.
“Besok kita jadikan lauk saja si
borokokok itu ya, bu” Sahut Pak Pardi.
“Eh?” Bu Parni melongo.
#OneDayOnePost
#ODOPChallenges
3 comments:
Ahahahah.. Borokokoknya nakal. Harus segera di penjarakan. Eh.. Di kandangkan.
Mba kifa. Saya jadi lapar baca menu makan siangnya pak Pardi
Hebat, sekali dayung dua pulau terlampaui.
Maafin borokokok yaa.. Tp bolehlah klo dijadikan lauk. Memang itu tujuan ia diciptakan, hhaa
Aku mau sayur cabe, krecek..enak.
Post a Comment