Matahari
bersinar malu-malu saat kami berbenah diri. Jam di tangan kiri menunjuk angka
07.30. Belum terlalu siang, udara masih terasa dingin akibat angin laut yang berhembus
perlahan, ditambah mendung yang tak lama kemudian menurunkan rintik air
perlahan.
“Hujan, eh
hujan ... “ Seru kak Fit memperingatkan kami yang sedang melipat tenda.
“Tapi ngga
deres kok, sebentar lagi paling reda.” Ujar Nia santai.
“Iya ke?” Uyun
sedikit panik, namun tidak beranjak dari tempat duduknya. Rupanya ia masih
merasa nyaman meski duduk hanya beralas rumput dan tanah.
Cuaca pagi yang
sedikit redup membuat kami sedikit bermalasan untuk kembali berjalan, menyusuri
pematang ladang dan sepertinya beberapa tepi jurang.
“Tendanya
pasang lagi aja kalau hujan, ya?” Ketua kelas menggoda. Aku hanya tersenyum
mendengarnya.
“Eh bentar. Ini
ada matahari tapi hujan,” Nia tampak mengerutkan dahi, sebelum sejenak kemudian
dia berseru riang, “pelangiiiii....... eh, ada pelangiiiii....”
Sontak mata
kami mengitari langit. Tenda yang hampir rapi tinggal dimasukkan ketempat
asalnya. Semua kegiatan otomatis terhenti sejenak.
“Itu, disitu
... Lihat!! di sebelah selatan!” Seru teman-teman riang.
Garis berwarna
warni itu melengkung diatas permukaan laut yang cembung. Tampak jelas bagi kami
berlatar awan putih yang sedikit redup. Dari sebelah timur, matahari bersinar
semakin cerah. Sementara di laut sana sepertinya hujan belum berhenti. Itulah
yang menjadi sebab pembiasan cahaya memantulkan garis warna warni yang kami
sebut: pelangi.
Ini adalah
kedua kalinya mataku melihat pelangi tanpa halangan. Pertama dua semester yang
lalu, saat pulang kuliah, hujan deras siang menjelang sore sempat menahanku di
kampus. Aku menunggunya berhenti. Setelah reda baru kupacu motor menuju jalan
wonosari. Rupanya diatas pegunungan kidul (baris pegunungan yang masuk wilayah
kabupaten Gunung kidul) hujan masih turun rintik-rintik Sementara di ufuk barat
matahari sudah bersinar terang.
Beruntung,
hujan diatas jalan pegunungan berhenti saat motorku sampai disana. Menyisakan
basah dan sedikit genangan. Aku memilih mengendarai motor pelan-pelan. Sampai
di kali pentung (sungai pentung), kulihat orang-orang berhenti dan menengadah.
Sebenarnya dari sekitar satu kilometer sebelumnya sudah kulihat orang
menengadah tapi kuabaikan. Motor kupelankan, dan tampaklah diantara lebat
pepohonan, pelangi tersenyum malu-malu menyapa kami.
Aku memilih
tidak berhenti, melanjutkan perjalanan agar bisa melihat sang pelangi dari
tanah yang lebih lapang. Sepanjang perjalanan, berkali-kali ku tengok arah kiri
memastikan pelangi masih menemani.
Menurut
dongeng, pelangi adalah jembatan para bidadari yang berkunjung ke bumi. Mereka
mencari telaga untuk mandi. Maka tidak heran, orang bilang setiap pelangi salah
satu atau kedua ujung kakinya pasti berada di air, baik sungai, telaga, sumur,
atau laut. Kemudian aku berfikir, ada danau apa di sekitar sini?
Sampai di
Bunder, kawasan rest area Taman Hutan
Rakyat, aku mendapat tanah lapang untuk mengamati pelangi lebih jelas. Satu
ujung pelangi itu kuperkirakan jatuh di daerah Nglanggeran, karena ada diantara
batu-batuan menjulang yang pernah kukunjungi sebelumnya. Satu lagi entah di
mana, tak bisa kuperkirakan.
Nglanggeran? Oh
ya! Ada embung di sana, embung Sriten. Embung adalah nama lain waduk buatan.
Tentu saja disana ada air! dan saat seperti ini pasti sepi dari pengunjung.
Benarkah ada bidadari turun ke bumi? Jika benar, adakah menusia yang bisa
melihatnya?
Pagi ini,
pelangi kembali menyapa kami, jauh di laut selatan. Kalaupun ada bidadari yang
mandi, pasti sudah ditemani Nyi roro Kidul, sang penunggu laut selatan menurut
legenda.
Kami tersenyum
melihat sang pelangi, yang mungkin sebentar lagi harus pergi karena matahari
semakin terik. Mengantar kami pulang, dengan sejuta kenangan. Terima kasih
pelangi, kehadiranmu adalah hadiah bagi kami.
#OneDayOnePost
2 comments:
Aku juga suka pelangi..
Sangat..
Aku juga suka pelangi
Post a Comment