“Kalian
sudah baca bukunya?”
“Be....belum,
pak.” Jawab kami serempak tergagap, tapi pelan.
“Sudah,
pak.” Sontak kepala kami mencari sumber suara. Yusuf, pemilik wajah kearaban
itu yang bersuara. Kami mendelik. What?
Rajin kali dia!
“Kalau
kalian ngga mau baca buku, gimana bisa paham materi yang akan saya sampaikan?”
Kami masih diam mendengar suara Pak Miftah yang penuh wibawa. Kelas menjadi
senyap. Padahal, suara bapak sebenarnya pelan, tapi menggema ke seluruh
ruangan.
“Tidak ada orang
pintar di dunia ini yang tidak suka membaca. Ya, membaca dengan cara apapun.
Tidak harus dengan buku. Maka kalian kalau mau pintar, harus banyak membaca.
Orang-orang di luar sana, Jepang misalnya. Orang naik bus, menunggu kereta,
bahkan menunggu antri beli softdrink saja
bisa sambil pegang buku, membaca. Kalian mau ketinggalan berapa abad lagi dari
mereka?” Jleb!
Pak Miftah,
suara dan nasehatnya selau pelan masuk ke telinga kami, memenuhi ruang kepala
dan akhirnya menimbulkan rasa segan jauh melebihi guru lain.
Entah,
mungkin wibawa itu yang selalu membuatku bisa mengenang tentang beliau.
begitu banyak nasehat, tidak semuanya kuingat. Namun jika aku melihat sesuatu
dimanapun yang berhubungan dengan kecerdasan, keanggunan perilaku seorang guru,
termasik ucapannya yang pelan namun menggema dalam kepala, aku selalu bis
amengingat beliau.
Usianya
sekarang mungkin sudah enam puluhan atau tujuh puluhan tahun. Postur tubuhnya tinggi tegap, masa mudanya pasti tampan. Dulu ketika aku SMA
beliau sudah setengah baya. Beliau adalah guru Fisika dan Kimia. Aku merasakan
istimewanya kepribadian beliau sebagai seorang guru ketika kelas satu, waktu
kami diajari Fisika. Saat itu pelajaran Fisika SMA sudah lanjutan dari Fisika
tingkat SMP. Jadi ya, rumusnya sudah agak kompleks.
Ketika mengulas
kembali pelajaran tentang gerak lurus berubah beraturan, beliau bertanya, “Rumus
dasar jarak, apa?” kami memutar otak, mencari rumus itu di dalam tumpukan isi
kepala yang berantakan. Sepuluh detik, masih tidak ada jawaban. Saat itu kami
tidak bisa membuka internet dengan bebas, lha
wong HP saja masih langka. Kami sibuk dengan isi kepala masing-masing,
sampai beberapa saat kemudian terdengar pekikan lirih dari bangku seberang, “Woow...”
Di papan
depan kelas sudah jelas tertulis:
S = V x t
Oh... Iya! Kami tersenyum malu. Pak Miftah
hanya tersenyum, seolah berkata, “makannya,
rajinlah membaca biar ngga lupa rumus-rumus sederhana” dalam diamnya. “Nanti
kalian akan paham bahwa rumus-rumus yang rumit itu sebenarnya diturunkan dari
rumus-rumus yang sederhana semacam ini. Begitu juga kompleksitas hidup, jika
diurai akan terdiri dari hal-hal sederhana yang biasa disepelekan oleh manusia.”
Itulah
beliau, saat aku masih duduk di kelas 1 SMA. Setiap kehadirannya menimbulkan “dag
dig dug” dalam dada. Bukan apa-apa, di mata kami beliau adalah pembawa
timbangan keadilan. Tidak pernah kami dapati beliau merokok di kelas, berkata
kasar, atau marah tanpa alasan yang jelas. Kalau beliau sampai marah , pasti
ada alasan dan alasan itu benar-benar “cukup” untuk menciptakan “kemarahan”.
Aku sih
tidak pernah sampai membuat beliau marah padaku. Tapi kalau membuat beliau
jengkel akibat aku yang sedikit sulit diberi penjelasan, iya. Alhamdulillah-nya,
beliau ngga pernah kesal lama-lama menghadapi kami dengan tingkat kecerdasan
yang berbeda.
Kalian
pernah lihat film Fast Furious, kan? Masih ingat bagaimana bintang film itu
memegang kemudi? Begitu juga Pak Miftah ketika duduk di balik kemudi. Penuh
perhitungan dan aku tidak pernah melihat perhitungannya meleset. Buktinya?
Tidak ada cerita bahwa beliau menyerempet atau mengalami kecelakaan akibat
kesalahan memperhitungan kecepatan.
Saat kelas
tiga, beliau menjadi wali kelas kami di kelas 3-IPA, sekaligus guru Kimia yang
saat itu kami diajar tim teaching, jadi dua guru mengampu satu mata pelajaran.
Pelajaran Kimia kami dipegang oleh Pak Miftah dan Bu Anik, Ibu guru nan cantik
ini selalu jadi idola siswa lelaki. Kalau pada jam mengajar Pak Miftah kelas
kami sunyi senyap, sebaliknya kalau yang ngajar Bu Anik kelas kami tidak bisa
redam dari riuh suara, terutama siswa lelaki yang merasa “segar” diajari bu
guru cantik.
Sebagai
wali kelas, bapak jugag tetap tidak banyak bicara. Cara mengajarnya juga sama,
tidak memberi banyak penjelasan, memberi tugas soal yang harus kami kerjakan,
dan menunjuk siswa yang menurut beliau “pantas” diberi pelajaran. Siapapun yang
di tunjuk, harus berani maju. Tidak peduli bisa atau tidak, seolah kami harus
benar-benar bertanggungjawab sudah mengambil jurusan ini.
Ah,
bapak.... Semoga selalu sehat. Kabar terakhir yang kudengar, bapak sudah tidak
mengajar lagi di SMA-ku dulu, entah apa masalah sebenarnya, aku tidak paham dan
tidak ingin cari tahu. Yang aku percaya, pasti ada alasan karena beliau bukan
pribadi yang bertindak tanpa alasan.
Beberapa
hari yang lalu, Ratna teman sekelasku dulu di 3-IPA mengabarkan bahwa bapak
sempat dirawat di RS Muhammadiyah beberap awaktu yang lalu. “Sakit apa?” Tanyaku.
“Apa ya?
Entah, lupa. Bapak abis pulang dari luar negeri gitulah, terus drop.” Jawabnya.
Ratna sekarang bekerja di RSM, jadi sering tahu kabar bapak ibu guru SMA kami
karena memang RS itu berdiri tepat di sebelah SMAM-kami,
Pak Miftah,
aku penyebutnya sebagai penguasa jalan ketika beliau sudah menyetir di jalanan.
Tidak ugal-ugalan, tapi cepat dan penuh perhitungan. Beliau adalah master di
bidangnya.Namun kami tidak pernah tahu apa saj agelar yang beliau miliki, atau
kami yang kuran perhatian pada guru sendiri?
Aku pernah
berkhayal, mungkin bukan SMA ini seharusnya tempat bapak berada. Bapak
seharusnya ada di LIPI atau sudah menjadi profesor di perguruan tinggi. Khayalan
semacam itu pernah kusampaikan pada beliau, yang hanya ditanggapi dengan senyum
penuh makna. Ah, benar juga. Kalau bapak ada di LIPI atau jadi profesor, beliau
ngga ngajar kami.
Sejak
mengenal beliau, aku beranggapan bahwa begitulah seharusnya seorang guru.
Menguasai bidang yang diajarinya, memahami hubungannya dengan kehidupan,
sekaligus memiliki wibawa yang dapat melekatkan ilmu pada benak anak didiknya.
Cool Style of Teacher.
Begitu
Nyimas menyebut beliau dan aku setuju. Diamnya, langkah kakinya, bahkan
suaranya selalu keren. Aku tidak bisa luput memperhatikan setiap kata yang
beliau ucapkan ketika menjelaskan. Meskipun, beberapa penjelasan itu kemudian
menguap begitu saja dari dalam kepala, karena aku tidak mengikatnya dalam
catatan atau mengulang kembali pelajaran saat tiba di rumah. Tapi aku termasuk
siswa yang beliau sayang. Buktinya? Beliau selalu memanggilku dengan nama
lengkap:
Sakifah?
Dan aku
suka.
^_^
#ODOPChallenge.
3 comments:
Baru pertama kali liat wajah Kifa lbh deket, manis loo... macam ada gula2 nya gitu
Lirikan matanya mak rai... Aku ga kuaaat... Hehehe
Hahahaa. Malah pada ngomentari foto ��
Post a Comment