Monday, 2 January 2017

Pendakian Merbabu Via Suwanting

| |





24-25 Desember 2016.

Hari sudah gelap sempurna ketika kami sampai Ketep Pass, sebuah desa sebelum basecamp pendakian merbabu. Jalur yang kami lewati kian menanjak, membuat motor harus diayun membentuk alur zigzag agar kuat membawa kami sampai di atas. Pukul 18.30 kami sampai di basecamp utama pendakian merbabu via Suwanting. Setelah istirahat sejenak, shalat dan menyelesaikan administrasi pendakian kami mulai perjalanan naik pada pukul 20.00.

Kabarnya, jalur pendakian ini adalah yang paling ekstrim menuju puncak merbabu jika dibandingkan dengan dua jalur lain. Memang, jika diukur jarak hasinya lebih pendek. Namun jalur yang harus dilalui lebih menanjak. Aku sendiri tidak ingin memperhitungkan berapa lama kami akan sampai di atas. Ini adalah pendakian pertamaku yang sesungguhnya. Bagi seorang pemula, membayangkan kengerian perjalanan tidak akan membuat kaki kami sampai di atas. Jadi sebaiknya tidak usah dibayangkan, tapi jalani saja.

Rombongan kami ada tujuh orang, dua perempuan dan lima orang lelaki. Diantara lelaki itu ada adikku, yang sebelumnya menjadi kompor penyemangat agar aku ikut serta dalam ekspedisi ini. Dialah yang memaksaku untuk mempersiapkan diri dengan main skipping setiap hari, naik turun tangga, dan melatih mental menghadapi tanjakan. Dia pula yang mau merelakan sebagian tabungannya untuk membeli sepasang sandal gunung untukku. Selain merasa penasaran dengan dunia pendakian, aku memilih ikut untuk memupus rindu bergelung dengan alam. Dulu sekali, saat usia masih belasan tahun aku biasa ikut camping organisasi kepanduan di sekolah. Disanalah aku belajar hidup di alam bebas dengan fasilitas serba terbatas. Setelah itu dunia kampus dan pertemanan yang berbeda membuatku hanya bisa menyapa gedung dan ruangan setiap hari sehingga rasa bosan kerap menyapa.

Kali ini, mumpung ada kesempatan aku ikut. Tanpa berpikir bagaimana nanti, yang penting jalani.

Benar saja, baru beberapa ratus meter jalan menanjak dari basecamp, napas sudah terasa berat, ngos-ngosan. Fiuh, aku menelan ludah. Sementara teman-teman yang lain masih tampak semangat mengayunkan kaki. Padahal beban di punggung mereka lebih berat dengan carrier ukuran 80 liter. Beberapa kali langkah kaki sempat terhenti, bahkan sebelum kami memasuki hutan pinus. Untunglah, mereka bisa maklum dengan kekuatan kakiku yang belum terbiasa dengan tanjakan.

Udara dingin mulai menyergap. Namun aku belum berminat menggunakan jaket yang sejak berangkat hanya kulilitkan di pinggang. Keringat dari dalam tubuh mulai keluar, memanaskan suhu tubuh dari dalam sehingga sedikit sekali aku bisa merasakan siksaan dingin. Langkah kembali kami ayunkan pelan-pelan.

Hampir tidak ada jalanan landai sepajang jalur yang kami lewati, kecuali di sekitar hutan pinus dan lembah yang hanya beberapa meter luasnya. Selain itu, jalanan terus menanjak dan sebagian sudah dibentuk seperti anak-anak tangga untuk memudahkan langkah kaki. Sebagian yang lain lagi cukup licin sehingga kami harus berpegangan pada batang pohon, akar, atau tanah yanga da di kanan-kiri tanjakan agar kami sampai di atas.

“Capek...” Keluhku pada adik.

“Mau nyerah? Sedikit lagi loh? Masa segini doang nyerah?” Ledeknya usil. Degup jantungku sudah berpacu kencang memompa darah. Seolah ada ribuan pasukan ababil hendak menyerang. Apakah sebaiknya aku menyerah? Membiarkan mereka naik dan aku tinggal di sini saja?

Ah, tidak! Apa asiknya tinggal sendirian dalam hutan?

Selangkah demi selangkah kuayunkan lagi. Adik menawarkan diri untuk membawa tasku yang tidak seberapa. Namun pasti lumayan menambah beban carrier yang sudah lebih dulu bertengger rapi di bahunya. “Tidak masalah,” katanya. Aku menurut saja. Dia tidak akan menawarkan diri kalau memang tidak sanggup, kan?

Setelah hampir lima jam perjalanan kaki, kami sampai di pos 2. Sudah banyak tenda berdiri di sana. Sejujurnya rencana kami mendirikan tenda di pos 3, dekat sabana dan tidak terlalu jauh menuju puncak. Namun apalah daya, melihat kekuatan 2 cewek yang baru pertama kali naik gunung tinggi, para lelaki itu mengalah untuk kami.

Tenda segera didirikan. Setelah membersihkan diri dengan perlengkapan seadanya, mengisi perut yang sudah kosong sejak sore tadi, akhirnya kami membuka sleeping bag masing-masing dan beranjak menutup mata.

Sayang, kontur tanah tempat tenda kami berdiri cukup miring. Tidak ada tanah yang cukup landai tersisa bagi kami. Sementara dingin semakin menusuk kulit dan tulang. Jaket sudah kukenakan lengkap dengan balutan sleeping bag. Namun mata tak kunjung bisa terlelap. Bagaimana mungkin mata bisa terlelap jika lelah terasa luar biasa, sementara posisi tidur terus melorot? Ditambah lagi suara orang-orang yang baru datang bicara keras-keras, tertawa dan rasanya tepat sekali di atas kepala!

Shubuh menjelang, suara adzan bersahutan di bawah sana. Awalnya aku ingin kembali mencoba terpejam. tapi tetap saja tidak bisa. Aku memilih bangun, sementara di luar mulai sepi dan hening. Cuaca di luar sangat cerah. Aku menyadari sesuatu, tenda tempat kami berdiri saat itu berada tepat di tepi jurang. jauh di bawah sana, ada hamparan lampu kelap kelip bak bintang bertaburan, tidak kalah banyak dengan bintang di atas kepala yang terasa begitu dekat. Tidak jauh di sebelah kiri, ada gunung tinggi menjulang, begitu gagah dan besar. Hatiku berbisik, itu pasti Merapi. Sementara jauh di ujung kanan, ada dua gunung besar lagi, namun tampak jauh lebih kecil mungkin karena jarak, dan satu gunung yang lebih kecil. Aku memperkirakan itulah Sindoro dan Sumbing, lalu entah gunung apa yang paling kecil.

Masya Allah ....

Hatiku berbisik lirih. Ingin sekali mengabadikan pemandangan ini dalam kamera. Namun Samsung NX300MA dengan resolusi maksimal 20 MP tidak cukup tajam menangkap gambar dengan cahaya minimal.

Tidak ada sumber air di sini. Entah masih jauh atau sudah dekat dengan sumber air, aku tidak bisa mencoba cari tahu sendiri. Semua orang masih terlelap dalam mimpi. Aku memilih tayammum untuk bersuci, lalu mencari arah kiblat dengan perkiraan dua gunung yang berseberangan tadi. Dua rakaat qobliyah dan dua rakaat wajib shubuh berhasil kutunaikan dalam rasa lelah, pasrah, dan segenap rasa menyerah.

Melihat hamparan rumah, tanah, sawah dan kelip lampu jalan jauh di bawah sana sempat membuatku tak percaya, kaki ini sudah menanjak begitu tinggi. Ada rasa haru yang tiba-tiba menyelinap, setelah rasa ingin menyerah yang tumpah semalam. Duhai Rabbi ... begitu besar karuniaMu dalam setiap hal yang Engkau titipkan pada kami.

Pagi segera menyingsing. Rasanya aku tak akan sanggup menyambut mentari terbit di puncak gunung ini. Entah berapa lama lagi perjalanan ke sana. Setrlah kubangunkan semua anggota rombongan, mereka menunaikan shubuh yang sama, di waktu yang sedikit berbeda.

“Mau naik lagi ngga kak?” tanya adik sebelum meyiapkan sarapan. Aku melirik ke puncak gunung yang sedang kami jelajahi. Tampak di ujung sana bukit dengan hamparan rumput hijau. Aku menduga itulah sabana yang ditulis dalam peta. Dari sabana itu, masih ada sabana lagi sebelum sampai ke puncak triangulasi dan puncak tertinggi merbabu.

Ah, membayangkan saja sudah berat sekali rasanya. Tapi berhenti di sini, apa enaknya?

“Naik, sampai sekuatnya aja tapi ya?” Jawabku mantap.

“Terserah kakak, sampai puncakpun kuantar.” Jawabnya menantang.

Setelah sarapan dengan kopi, mie instan, serta beberapa potong roti kami siap naik lagi. Menanjak lagi. Bahkan beberapa tanjakan tidak bisa kusebut jalan tanjakan, karena kami harus “memanjat” untuk sampai ke atasnya. Lelah? Pasti. Tapi menyerah? Rugi!

Dua atau tiga kali kami bertemu dengan tanjakan yang sudah mirip sekali dengan mainan perosotan di sekolah TK. Beruntung, ada tali yang tersedia untuk kami berpegangan. Ah, monyet-monyet di gunung ini pasti lebih lihai mendaki ketimbang kaki kami. Batinku menertawakan diri sendiri.

Tiga jam perjalanan membawa kami sampai di pos air. Di sana sudah ada kerumunan para pendaki yang sedang mengisi perbekalan air. Jangan tanya bagaimana rasa airnya, atau membandingkannya dengan PDAM yang mengalir di perumahan kota. Di sini, bukan hanya air yang mengalir lewat pipa itu terasa dingin dan segar meski tanpa dimasak. Bahkan tanah dan bebatuan yang dipijak oleh kaki, jika disentuh tangan sudah terasa seperti bunga es di dinding freezer lemari es di rumah. Tidak percaya? Coba saja sentuh sendiri!

Dari pos air, kami menanjak sekali lagi untuk sampai di sabana pos 3. Hamparan padang rumput terbentang begitu luas. Di atasnya lagi, ada beberapa bukit serupa. Sudah mirip sekali dengan bukit teletubbies, lengkap dengan pohon-pohon edelweis yang tengah berbunga. Beruntung sekali bisa melihat mereka dari dekat dan tak seorangpun berani memetiknya. Etika pendaki adalah menjaga kelestarian alam, bukan merusaknya.

Badai kabut mulai menyapa saat kami di atas hamparan rumput. Aku memutuskan untuk sampai di sini saja, tidak menuju puncak karena khawatir kami kemalaman kembali ke Jogja. Selain itu, kami masih butuh tenaga untuk turun nanti. Jika dihabiskan di sini lalu tidak bisa turun, apa artinya? 

Pukul 11.00 kami putuskan kembali ke tenda di pos 2, sampai di sana shalat dan makan siang, lalu membereskan barang dan bersiap turun. Tidak lupa, sampah kami bereskan dan bawa turun kembali. Sesuai peraturan pendakian, setiap pendaki wajib bertanggung jawab dengan sampah masing-masing. Dilarang meninggalkan sampah terutama anorganik seperti bungkus makanan dan minuman di gunung. Selain mengotori alam, sampah juga bisa menjadi penyebab kehancuran di masa depan jika tidak dikendalikan. Maka dengan senang hati kami membawa sampah kembali pulang, untuk dibakar bersama sampah lain di bawah nanti.

Setengah perjalanan, kakiku sudah tidak kuat melangkah cepat-cepat. Terpaksa kubiarkan teman-teman mendahului kami, sementara aku terus memaksakan diri untuk melangkah lagi. Biarlah pelan, asal selamat. Hiburku dalam hati. Beruntung adik mau menemani lagi.

Kabut semakin gelap ketika kami sampai hutan pinus. Hujan turun rintik-rintik. Namun aku tidak tertarik mengenakan jas hujan yang sudah kusiapkan sebelumnya. Jaket parasut yang kukenakan cukup menahan air menembus kulit, jadi aku memilih terus melangkah. Sempat beberapa kali ingin berhenti. Namun adik melarang lagi dan lagi. Aku mengerti, dia khawatir kami terjebak dalam gelap. Sementara aku tidak takut gelap, hanya khawatir rasa lelah tidak sanggup membawa kami selamat sampai di Jogja nanti.

Tepat sebelum maghrib kami sampai di basecamp lagi. Teman-teman yang di depan ternyata juag tidak terlalu jauh dari kami, hanya berselang beberapa menit. Setelah mampir warung dan mengisi perut, kami bersiap pulang, kembali ke rutinitas.

Kabut semakin pekat saat motor menuruni jalan desa yang berliku, bahkan semakin pekat setelah beberapa desa kami lalui. Ditambah serangan serangga entah apa namanya, bak hujan deras menabrak helm kami. Jarak pandang hanya 3-5 meter, membuat kami harus menurunkan kecepatan untuk meningkatkan waspada. Setelah dua kecamatan terlampaui, baru jalanan terlihat jelas. Kami menyusuri jalan yang sama dengan saat berangkat. Namun di satu persimpangan, seharusnya kami belok kanan tapi keliru ambil kiri, arah boyolali.

Terpaksa kami putar haluan dan kembali memacu kecepatan. Tepat pukul 20.00 kami sampai dengan selamat, kembali ke Jogja istimewa. Bukan hanya rasa lelah yang tersisa, tapi juga sedikit bangga bisa menjejakkan kaki ke sana. Rasa lelah yang tidak disertai rasa ingin menyerah, menciptakan sebait harap suatu saat kembali mendaki, mungkin di gunung yang lain lagi.

#OneDayOnePost

4 comments:

Wiwid Nurwidayati said...

Dik sakiiiiii
Keren....
Pengin

Na said...

Keren, mba. Jadi rindu pengen mendaki lagi.

irma said...

Nak ikut nak ikut kakak...

MS Wijaya said...

jadi pengen nbaik gunung tp blm sempet

Post a Comment

Popular Posts

Blogger templates

Blogroll

About

Search This Blog

Powered by Blogger.
 

Designed by: Compartidísimo
Images by: DeliciousScraps©