24-25 Desember
2016.
Hari sudah
gelap sempurna ketika kami sampai Ketep Pass, sebuah desa sebelum basecamp pendakian merbabu. Jalur yang
kami lewati kian menanjak, membuat motor harus diayun membentuk alur zigzag
agar kuat membawa kami sampai di atas. Pukul 18.30 kami sampai di basecamp utama pendakian merbabu via
Suwanting. Setelah istirahat sejenak, shalat dan menyelesaikan administrasi
pendakian kami mulai perjalanan naik pada pukul 20.00.
Kabarnya, jalur
pendakian ini adalah yang paling ekstrim menuju puncak merbabu jika
dibandingkan dengan dua jalur lain. Memang, jika diukur jarak hasinya lebih
pendek. Namun jalur yang harus dilalui lebih menanjak. Aku sendiri tidak ingin
memperhitungkan berapa lama kami akan sampai di atas. Ini adalah pendakian
pertamaku yang sesungguhnya. Bagi seorang pemula, membayangkan kengerian
perjalanan tidak akan membuat kaki kami sampai di atas. Jadi sebaiknya tidak
usah dibayangkan, tapi jalani saja.
Rombongan kami
ada tujuh orang, dua perempuan dan lima orang lelaki. Diantara lelaki itu ada
adikku, yang sebelumnya menjadi kompor penyemangat agar aku ikut serta dalam
ekspedisi ini. Dialah yang memaksaku untuk mempersiapkan diri dengan main
skipping setiap hari, naik turun tangga, dan melatih mental menghadapi
tanjakan. Dia pula yang mau merelakan sebagian tabungannya untuk membeli
sepasang sandal gunung untukku. Selain merasa penasaran dengan dunia pendakian,
aku memilih ikut untuk memupus rindu bergelung dengan alam. Dulu sekali, saat
usia masih belasan tahun aku biasa ikut camping organisasi kepanduan di
sekolah. Disanalah aku belajar hidup di alam bebas dengan fasilitas serba
terbatas. Setelah itu dunia kampus dan pertemanan yang berbeda membuatku hanya
bisa menyapa gedung dan ruangan setiap hari sehingga rasa bosan kerap menyapa.
Kali ini,
mumpung ada kesempatan aku ikut. Tanpa berpikir bagaimana nanti, yang penting
jalani.
Benar saja,
baru beberapa ratus meter jalan menanjak dari basecamp, napas sudah terasa berat, ngos-ngosan. Fiuh, aku menelan ludah. Sementara teman-teman yang
lain masih tampak semangat mengayunkan kaki. Padahal beban di punggung mereka
lebih berat dengan carrier ukuran 80 liter. Beberapa kali langkah kaki sempat
terhenti, bahkan sebelum kami memasuki hutan pinus. Untunglah, mereka bisa
maklum dengan kekuatan kakiku yang belum terbiasa dengan tanjakan.
Udara dingin
mulai menyergap. Namun aku belum berminat menggunakan jaket yang sejak
berangkat hanya kulilitkan di pinggang. Keringat dari dalam tubuh mulai keluar,
memanaskan suhu tubuh dari dalam sehingga sedikit sekali aku bisa merasakan
siksaan dingin. Langkah kembali kami ayunkan pelan-pelan.
Hampir tidak
ada jalanan landai sepajang jalur yang kami lewati, kecuali di sekitar hutan
pinus dan lembah yang hanya beberapa meter luasnya. Selain itu, jalanan terus
menanjak dan sebagian sudah dibentuk seperti anak-anak tangga untuk memudahkan
langkah kaki. Sebagian yang lain lagi cukup licin sehingga kami harus
berpegangan pada batang pohon, akar, atau tanah yanga da di kanan-kiri tanjakan
agar kami sampai di atas.
“Capek...”
Keluhku pada adik.
“Mau nyerah?
Sedikit lagi loh? Masa segini doang nyerah?” Ledeknya usil. Degup jantungku
sudah berpacu kencang memompa darah. Seolah ada ribuan pasukan ababil hendak
menyerang. Apakah sebaiknya aku menyerah? Membiarkan mereka naik dan aku
tinggal di sini saja?
Ah, tidak! Apa
asiknya tinggal sendirian dalam hutan?
Selangkah demi
selangkah kuayunkan lagi. Adik menawarkan diri untuk membawa tasku yang tidak
seberapa. Namun pasti lumayan menambah beban carrier yang sudah lebih dulu
bertengger rapi di bahunya. “Tidak masalah,” katanya. Aku menurut saja. Dia
tidak akan menawarkan diri kalau memang tidak sanggup, kan?
Setelah hampir
lima jam perjalanan kaki, kami sampai di pos 2. Sudah banyak tenda berdiri di
sana. Sejujurnya rencana kami mendirikan tenda di pos 3, dekat sabana dan tidak
terlalu jauh menuju puncak. Namun apalah daya, melihat kekuatan 2 cewek yang
baru pertama kali naik gunung tinggi, para lelaki itu mengalah untuk kami.
Tenda segera
didirikan. Setelah membersihkan diri dengan perlengkapan seadanya, mengisi
perut yang sudah kosong sejak sore tadi, akhirnya kami membuka sleeping bag
masing-masing dan beranjak menutup mata.
Sayang, kontur
tanah tempat tenda kami berdiri cukup miring. Tidak ada tanah yang cukup landai
tersisa bagi kami. Sementara dingin semakin menusuk kulit dan tulang. Jaket
sudah kukenakan lengkap dengan balutan sleeping bag. Namun mata tak kunjung
bisa terlelap. Bagaimana mungkin mata bisa terlelap jika lelah terasa luar
biasa, sementara posisi tidur terus melorot? Ditambah lagi suara orang-orang
yang baru datang bicara keras-keras, tertawa dan rasanya tepat sekali di atas
kepala!
Shubuh
menjelang, suara adzan bersahutan di bawah sana. Awalnya aku ingin kembali
mencoba terpejam. tapi tetap saja tidak bisa. Aku memilih bangun, sementara di
luar mulai sepi dan hening. Cuaca di luar sangat cerah. Aku menyadari sesuatu,
tenda tempat kami berdiri saat itu berada tepat di tepi jurang. jauh di bawah
sana, ada hamparan lampu kelap kelip bak bintang bertaburan, tidak kalah banyak
dengan bintang di atas kepala yang terasa begitu dekat. Tidak jauh di sebelah
kiri, ada gunung tinggi menjulang, begitu gagah dan besar. Hatiku berbisik, itu
pasti Merapi. Sementara jauh di ujung kanan, ada dua gunung besar lagi, namun
tampak jauh lebih kecil mungkin karena jarak, dan satu gunung yang lebih kecil.
Aku memperkirakan itulah Sindoro dan Sumbing, lalu entah gunung apa yang paling
kecil.
Masya Allah
....
Hatiku berbisik
lirih. Ingin sekali mengabadikan pemandangan ini dalam kamera. Namun Samsung
NX300MA dengan resolusi maksimal 20 MP tidak cukup tajam menangkap gambar
dengan cahaya minimal.
Tidak ada
sumber air di sini. Entah masih jauh atau sudah dekat dengan sumber air, aku
tidak bisa mencoba cari tahu sendiri. Semua orang masih terlelap dalam mimpi.
Aku memilih tayammum untuk bersuci, lalu mencari arah kiblat dengan perkiraan
dua gunung yang berseberangan tadi. Dua rakaat qobliyah dan dua rakaat wajib
shubuh berhasil kutunaikan dalam rasa lelah, pasrah, dan segenap rasa menyerah.
Melihat
hamparan rumah, tanah, sawah dan kelip lampu jalan jauh di bawah sana sempat
membuatku tak percaya, kaki ini sudah menanjak begitu tinggi. Ada rasa haru
yang tiba-tiba menyelinap, setelah rasa ingin menyerah yang tumpah semalam.
Duhai Rabbi ... begitu besar karuniaMu dalam setiap hal yang Engkau titipkan
pada kami.
Pagi segera
menyingsing. Rasanya aku tak akan sanggup menyambut mentari terbit di puncak
gunung ini. Entah berapa lama lagi perjalanan ke sana. Setrlah kubangunkan
semua anggota rombongan, mereka menunaikan shubuh yang sama, di waktu yang
sedikit berbeda.
“Mau naik lagi
ngga kak?” tanya adik sebelum meyiapkan sarapan. Aku melirik ke puncak gunung
yang sedang kami jelajahi. Tampak di ujung sana bukit dengan hamparan rumput
hijau. Aku menduga itulah sabana yang ditulis dalam peta. Dari sabana itu,
masih ada sabana lagi sebelum sampai ke puncak triangulasi dan puncak tertinggi
merbabu.
Ah,
membayangkan saja sudah berat sekali rasanya. Tapi berhenti di sini, apa
enaknya?
“Naik, sampai
sekuatnya aja tapi ya?” Jawabku mantap.
“Terserah
kakak, sampai puncakpun kuantar.” Jawabnya menantang.
Setelah sarapan
dengan kopi, mie instan, serta beberapa potong roti kami siap naik lagi.
Menanjak lagi. Bahkan beberapa tanjakan tidak bisa kusebut jalan tanjakan,
karena kami harus “memanjat” untuk sampai ke atasnya. Lelah? Pasti. Tapi
menyerah? Rugi!
Dua atau tiga
kali kami bertemu dengan tanjakan yang sudah mirip sekali dengan mainan
perosotan di sekolah TK. Beruntung, ada tali yang tersedia untuk kami
berpegangan. Ah, monyet-monyet di gunung ini pasti lebih lihai mendaki
ketimbang kaki kami. Batinku menertawakan diri sendiri.
Tiga jam
perjalanan membawa kami sampai di pos air. Di sana sudah ada kerumunan para
pendaki yang sedang mengisi perbekalan air. Jangan tanya bagaimana rasa airnya,
atau membandingkannya dengan PDAM yang mengalir di perumahan kota. Di sini,
bukan hanya air yang mengalir lewat pipa itu terasa dingin dan segar meski
tanpa dimasak. Bahkan tanah dan bebatuan yang dipijak oleh kaki, jika disentuh
tangan sudah terasa seperti bunga es di dinding freezer lemari es di rumah.
Tidak percaya? Coba saja sentuh sendiri!
Dari pos air,
kami menanjak sekali lagi untuk sampai di sabana pos 3. Hamparan padang rumput terbentang
begitu luas. Di atasnya lagi, ada beberapa bukit serupa. Sudah mirip sekali
dengan bukit teletubbies, lengkap dengan pohon-pohon edelweis yang tengah
berbunga. Beruntung sekali bisa melihat mereka dari dekat dan tak seorangpun
berani memetiknya. Etika pendaki adalah menjaga kelestarian alam, bukan
merusaknya.
Badai kabut
mulai menyapa saat kami di atas hamparan rumput. Aku memutuskan untuk sampai di
sini saja, tidak menuju puncak karena khawatir kami kemalaman kembali ke Jogja.
Selain itu, kami masih butuh tenaga untuk turun nanti. Jika dihabiskan di sini
lalu tidak bisa turun, apa artinya?
Pukul 11.00
kami putuskan kembali ke tenda di pos 2, sampai di sana shalat dan makan siang,
lalu membereskan barang dan bersiap turun. Tidak lupa, sampah kami bereskan dan
bawa turun kembali. Sesuai peraturan pendakian, setiap pendaki wajib
bertanggung jawab dengan sampah masing-masing. Dilarang meninggalkan sampah
terutama anorganik seperti bungkus makanan dan minuman di gunung. Selain
mengotori alam, sampah juga bisa menjadi penyebab kehancuran di masa depan jika
tidak dikendalikan. Maka dengan senang hati kami membawa sampah kembali pulang,
untuk dibakar bersama sampah lain di bawah nanti.
Setengah
perjalanan, kakiku sudah tidak kuat melangkah cepat-cepat. Terpaksa kubiarkan
teman-teman mendahului kami, sementara aku terus memaksakan diri untuk
melangkah lagi. Biarlah pelan, asal selamat. Hiburku dalam hati. Beruntung adik
mau menemani lagi.
Kabut semakin
gelap ketika kami sampai hutan pinus. Hujan turun rintik-rintik. Namun aku
tidak tertarik mengenakan jas hujan yang sudah kusiapkan sebelumnya. Jaket
parasut yang kukenakan cukup menahan air menembus kulit, jadi aku memilih terus
melangkah. Sempat beberapa kali ingin berhenti. Namun adik melarang lagi dan
lagi. Aku mengerti, dia khawatir kami terjebak dalam gelap. Sementara aku tidak
takut gelap, hanya khawatir rasa lelah tidak sanggup membawa kami selamat
sampai di Jogja nanti.
Tepat sebelum
maghrib kami sampai di basecamp lagi. Teman-teman yang di depan ternyata juag
tidak terlalu jauh dari kami, hanya berselang beberapa menit. Setelah mampir
warung dan mengisi perut, kami bersiap pulang, kembali ke rutinitas.
Kabut semakin
pekat saat motor menuruni jalan desa yang berliku, bahkan semakin pekat setelah
beberapa desa kami lalui. Ditambah serangan serangga entah apa namanya, bak
hujan deras menabrak helm kami. Jarak pandang hanya 3-5 meter, membuat kami
harus menurunkan kecepatan untuk meningkatkan waspada. Setelah dua kecamatan
terlampaui, baru jalanan terlihat jelas. Kami menyusuri jalan yang sama dengan
saat berangkat. Namun di satu persimpangan, seharusnya kami belok kanan tapi
keliru ambil kiri, arah boyolali.
Terpaksa kami
putar haluan dan kembali memacu kecepatan. Tepat pukul 20.00 kami sampai dengan
selamat, kembali ke Jogja istimewa. Bukan hanya rasa lelah yang tersisa, tapi
juga sedikit bangga bisa menjejakkan kaki ke sana. Rasa lelah yang tidak
disertai rasa ingin menyerah, menciptakan sebait harap suatu saat kembali
mendaki, mungkin di gunung yang lain lagi.
#OneDayOnePost
4 comments:
Dik sakiiiiii
Keren....
Pengin
Keren, mba. Jadi rindu pengen mendaki lagi.
Nak ikut nak ikut kakak...
jadi pengen nbaik gunung tp blm sempet
Post a Comment