“Jangan
bawa-bawa agama. Fanatik!”
“Ngga usah
bahas agama, itu SARA!”
Sungguh, miris
rasanya mendengar kalimat tersebut keluar dari lisan orang yang beragama. Saya
muslim, dan saya tidak menyalahkan orang lain yang memiliki keyakinan berbeda,
meskipun juga tidak membenarkannya. Bukankah keyakinan itu bebas? Maksudnya,
saya tidak akan dan tidak ingin memaksa siapapun untuk memeluk keyakinan yang
sama. Berbeda, silahkan.
Sekedar
menegaskan, SARA adalah singkatan dari Suku, Agama, Ras dan Antargolongan. Sejak
saya masih anak-anak, akronim tersebut sudah sering digunakan orang-orang
penting. Sebagian orang menganggap seolah “tabu” membahas agama dan
mengaitkannya dengan kehidupan, apalagi dengan politik. Hampir setiap tahun,
bahkan sampai sekarang momentum isu SARA semakin sering mencuat ke permukaan. Terutama
menjelang hari raya dan sekarang berkembang ketika pilkada. Banyak dibahas
dalam forum diskusi, dibicarakan siapa saja mulai dari pejabat tinggi sampai
orang jalanan. Tidak sedikit menimbulkan perselisihan bahkan pertengkaran antar
saudara. Banyak sekali cerita, menjadi korban dari isu SARA. Benarkan SARA
sekejam itu?
Sejujurnya saya
sempat heran, membahas isu agama dan mengaitkannya dengan kehidupan sosial
termasuk politik itu dimana salahnya?
Apakah tidak
cukup “bagimu agamamu dan bagiku agamaku” menjadi deklarasi penting bahwa
toleransi sesungguhnya sudah dijunjung tinggi? Ya, manusia beragama apapun
pasti menyetujui deklarasi ini. Jangan lupa, deklarasi tersebut ditegaskan
dalam Al Qur’an, kitab yang diyakini kebenarannya sebagai kitab samawi dan
tidak diragukan keasliannya sejak zaman Nabi SAW. Intinya, ngga usah saling mengganggu soal keyakinan. Kira-kira begitu, kan?
Namun ketika
keyakinan itu kita kembalikan pada redaksi aslinya, bahwa keyakinan beragama
diwujudkan dengan iman, maka terjadi pergeseran yang mungkin kurang sempurna
dalam tatanan sosial. Iman, para ulama sepakat bahwa yang dimaksud dengan iman
adalah meyakini dalam hati, mengucapkannya lewat lisan dan mengamalkannya dalam
perbuatan. Betul begitu? Semoga kita sepakat.
Nah, apakah
disebut beriman orang yang hanya meyakini dalam hati tanpa mengucapkannya
apalagi mengamalkan apa yang diimaninya? Mengaku muslim, misalnya, tapi tidak
mau shalat, membayar zakat, apalagi mengamalkan ajaran lain, lha wong yang wajib saja enggan.
Mungkin, sebagian ulama tetap bisa memaklumi adanya sifat manusia yang beragam.
Menggolongkan mereka tetap sebagai muslim, tapi dengan tingkatan yang tentu
berbeda dengan mereka yang rajin shalat, mengamalkan kewajiban dan menjauhi
larangan sesuai dengan aturan agama.
Begitu juga
agama lain, apakah kristen misalnya, bisa menyebut pemeluknya umat yang baik
ketika tidak menjalankan ajaran kasih sayang? Padahal kasih sayang merupakan
salah satu ajaran yang wajib diamalkan dalam agama mereka. Apakah orang yang
memukul anak, berbuat kasar terhadap saudaranya tanpa alasan yang benar bisa
mereka anggap melanggar ajaran agama? Tentu saja. Ajaran agama, sudah
selayaknya mempengaruhi kehidupan manusia, baik secara pribadi maupun sosial.
Lalu apa
salahnya jika ajaran agama mempengaruhi dan dikaitkan secara langsung dengan
kehidupan sosial?
Bukankah
politik juga bagian dari kehidupan sosial manusia?
Saya melihat
tidak ada yang salah, bahkan memang begitulah seharusnya. Apalagi dalam islam, umatnya
dianjurkan untuk memeluk islam secara kaffah, sempurna. bukan hanya dianjurkan
sebenarnya, bahkan di perintah! Ada di Q.S. Al Baqoroh ayat 208, jelas tanpa
tedeng aling-aling. Umat islam dilarang untuk mengamalkan ajaran islam
setengah-setengah. Tidak percaya? Bukalah Q.S Al Baqoroh ayat 85. Ada Al Qur’an
terjemah kan di rumah? Kalau tidak, bisa googling atau pinjam tetangga juga
tidak masalah.
Ayat tersebut
memang sedang bercerita tentang kitab taurat, kitab yang Allah turunkan jauh sebelum
Al Qur’an. Namun jangan sampai salah paham bahwa pertanyaan Allah dalam
kalimat: “Apakah kamu beriman kepada sebahagian (isi) kitab (Taurat) dan ingkar terhadap sebagian
yang lain?” Hanya berlaku untuk umat Nabi Musa, ketika ayat tersebut jelas
dicantumkan di dalam Al Qur’an yang mulia. Maka jelas, ayat tersebut juga
bermaksud sama dengan umat islam saat ini, apakah Al Qur’an bisa diambil hanya
sebagian dan ditinggalkan sebagian yang lain?
Mengertilah,
bahwa memeluk agama berarti menuntut pemeluknya melaksanakan ajaran agama
tersebut: SECARA KESELURUHAN. Bukan setengah-setengah, apalagi hanya mengambil
yang disuka dan meninggalkan apa yang tidak sesuai dengan keinginan jiwa!
Masihkah
berfikir bahwa mengaitkan agama dengan kehidupan adalah sebuah kesalahan? Jika iya,
maka bertaubatlah. Selama nafas belum sampai di tenggorokan dan nyawa belum
lepas dari raga, semoga kesempatan untuk memahami dan menjalankan kehidupan
agama selalu terbuka.
Tidak, tulisan
ini sama sekali tidak ingin mengaitkannya dengan pilkada. Siapalah saya, yang
tidak punya hak suara untuk Jakarta atau kota lain yang memanas dengan isu
SARA. Hanya ingin mengingatkan sesama hamba, hanya menegur sesama manusia biasa,
agar tidak menambah beban hidup dengan
kesalahan yang sama dengan sebelumnya.
Iman ini perlu
direalisasikan, saudara. Bukan hanya dipendam dalam jiwa, lalu dibiarkan kehidupan
berjalan tanpa aturan agama? Jika tidak mau dipimpin oleh ajaran agama, apakah
lebih baik jika kehidupan manusia dipimpin dengan nafsu semata?
Mari kita
sama-sama memeluk keyakinan masing-masing, sekaligus mengamalkannya. Sungguh,
tidak ada yang salah dengan perbedaan keyakinan, selama tidak saling mencela,
dan menganggap agama salah mengarahkan manusia.
#OneDayOnePost
3 comments:
Nice artikel. Bgs...te o pe be ge te
Keren...bermanfaat banget
Betul de, aku sepatu..
Post a Comment