Sunday, 19 February 2017

Agama dan Kehidupan

| |





“Jangan bawa-bawa agama. Fanatik!”
“Ngga usah bahas agama, itu SARA!”


Sungguh, miris rasanya mendengar kalimat tersebut keluar dari lisan orang yang beragama. Saya muslim, dan saya tidak menyalahkan orang lain yang memiliki keyakinan berbeda, meskipun juga tidak membenarkannya. Bukankah keyakinan itu bebas? Maksudnya, saya tidak akan dan tidak ingin memaksa siapapun untuk memeluk keyakinan yang sama. Berbeda, silahkan.

Sekedar menegaskan, SARA adalah singkatan dari Suku, Agama, Ras dan Antargolongan. Sejak saya masih anak-anak, akronim tersebut sudah sering digunakan orang-orang penting. Sebagian orang menganggap seolah “tabu” membahas agama dan mengaitkannya dengan kehidupan, apalagi dengan politik. Hampir setiap tahun, bahkan sampai sekarang momentum isu SARA semakin sering mencuat ke permukaan. Terutama menjelang hari raya dan sekarang berkembang ketika pilkada. Banyak dibahas dalam forum diskusi, dibicarakan siapa saja mulai dari pejabat tinggi sampai orang jalanan. Tidak sedikit menimbulkan perselisihan bahkan pertengkaran antar saudara. Banyak sekali cerita, menjadi korban dari isu SARA. Benarkan SARA sekejam itu?

Sejujurnya saya sempat heran, membahas isu agama dan mengaitkannya dengan kehidupan sosial termasuk politik itu dimana salahnya?

Apakah tidak cukup “bagimu agamamu dan bagiku agamaku” menjadi deklarasi penting bahwa toleransi sesungguhnya sudah dijunjung tinggi? Ya, manusia beragama apapun pasti menyetujui deklarasi ini. Jangan lupa, deklarasi tersebut ditegaskan dalam Al Qur’an, kitab yang diyakini kebenarannya sebagai kitab samawi dan tidak diragukan keasliannya sejak zaman Nabi SAW. Intinya, ngga usah saling mengganggu soal keyakinan. Kira-kira begitu, kan?

Namun ketika keyakinan itu kita kembalikan pada redaksi aslinya, bahwa keyakinan beragama diwujudkan dengan iman, maka terjadi pergeseran yang mungkin kurang sempurna dalam tatanan sosial. Iman, para ulama sepakat bahwa yang dimaksud dengan iman adalah meyakini dalam hati, mengucapkannya lewat lisan dan mengamalkannya dalam perbuatan. Betul begitu? Semoga kita sepakat.

Nah, apakah disebut beriman orang yang hanya meyakini dalam hati tanpa mengucapkannya apalagi mengamalkan apa yang diimaninya? Mengaku muslim, misalnya, tapi tidak mau shalat, membayar zakat, apalagi mengamalkan ajaran lain, lha wong yang wajib saja enggan. Mungkin, sebagian ulama tetap bisa memaklumi adanya sifat manusia yang beragam. Menggolongkan mereka tetap sebagai muslim, tapi dengan tingkatan yang tentu berbeda dengan mereka yang rajin shalat, mengamalkan kewajiban dan menjauhi larangan sesuai dengan aturan agama.

Begitu juga agama lain, apakah kristen misalnya, bisa menyebut pemeluknya umat yang baik ketika tidak menjalankan ajaran kasih sayang? Padahal kasih sayang merupakan salah satu ajaran yang wajib diamalkan dalam agama mereka. Apakah orang yang memukul anak, berbuat kasar terhadap saudaranya tanpa alasan yang benar bisa mereka anggap melanggar ajaran agama? Tentu saja. Ajaran agama, sudah selayaknya mempengaruhi kehidupan manusia, baik secara pribadi maupun sosial.

Lalu apa salahnya jika ajaran agama mempengaruhi dan dikaitkan secara langsung dengan kehidupan sosial?

Bukankah politik juga bagian dari kehidupan sosial manusia?

Saya melihat tidak ada yang salah, bahkan memang begitulah seharusnya. Apalagi dalam islam, umatnya dianjurkan untuk memeluk islam secara kaffah, sempurna. bukan hanya dianjurkan sebenarnya, bahkan di perintah! Ada di Q.S. Al Baqoroh ayat 208, jelas tanpa tedeng aling-aling. Umat islam dilarang untuk mengamalkan ajaran islam setengah-setengah. Tidak percaya? Bukalah Q.S Al Baqoroh ayat 85. Ada Al Qur’an terjemah kan di rumah? Kalau tidak, bisa googling atau pinjam tetangga juga tidak masalah.

Ayat tersebut memang sedang bercerita tentang kitab taurat, kitab yang Allah turunkan jauh sebelum Al Qur’an. Namun jangan sampai salah paham bahwa pertanyaan Allah dalam kalimat: “Apakah kamu beriman kepada sebahagian (isi) kitab (Taurat) dan ingkar terhadap sebagian yang lain?” Hanya berlaku untuk umat Nabi Musa, ketika ayat tersebut jelas dicantumkan di dalam Al Qur’an yang mulia. Maka jelas, ayat tersebut juga bermaksud sama dengan umat islam saat ini, apakah Al Qur’an bisa diambil hanya sebagian dan ditinggalkan sebagian yang lain?

Mengertilah, bahwa memeluk agama berarti menuntut pemeluknya melaksanakan ajaran agama tersebut: SECARA KESELURUHAN. Bukan setengah-setengah, apalagi hanya mengambil yang disuka dan meninggalkan apa yang tidak sesuai dengan keinginan jiwa!

Masihkah berfikir bahwa mengaitkan agama dengan kehidupan adalah sebuah kesalahan? Jika iya, maka bertaubatlah. Selama nafas belum sampai di tenggorokan dan nyawa belum lepas dari raga, semoga kesempatan untuk memahami dan menjalankan kehidupan agama selalu terbuka.

Tidak, tulisan ini sama sekali tidak ingin mengaitkannya dengan pilkada. Siapalah saya, yang tidak punya hak suara untuk Jakarta atau kota lain yang memanas dengan isu SARA. Hanya ingin mengingatkan sesama hamba, hanya menegur sesama manusia biasa, agar tidak  menambah beban hidup dengan kesalahan yang sama dengan sebelumnya.

Iman ini perlu direalisasikan, saudara. Bukan hanya dipendam dalam jiwa, lalu dibiarkan kehidupan berjalan tanpa aturan agama? Jika tidak mau dipimpin oleh ajaran agama, apakah lebih baik jika kehidupan manusia dipimpin dengan nafsu semata?


Mari kita sama-sama memeluk keyakinan masing-masing, sekaligus mengamalkannya. Sungguh, tidak ada yang salah dengan perbedaan keyakinan, selama tidak saling mencela, dan menganggap agama salah mengarahkan manusia.

#OneDayOnePost

3 comments:

Dewie dean said...

Nice artikel. Bgs...te o pe be ge te

Wiwid Nurwidayati said...

Keren...bermanfaat banget

Lisa Lestari said...

Betul de, aku sepatu..

Post a Comment

Popular Posts

Blogger templates

Blogroll

About

Search This Blog

Powered by Blogger.
 

Designed by: Compartidísimo
Images by: DeliciousScraps©