Kata orang
pintar, “agama dikebiri”. Tempatnya hanya boleh di rumah-rumah ibadah semacam
vihara, gereja, pura, atau masjid. Tempat umum ya milik umum, bukan milik agama lagi. Begitu? Secara otomatis, di
ruang publik aturan agama tidak boleh berlaku. Kalau mau shalat ya harus di
masjid, ngga boleh di sudut-sudut
jalan yang sepi, meski masjid 5 KM jauhnya dan tidak ada satupun transportasi
umum menuju kesana, sementara waktu shalat akan habis setengah jam lagi.
Bayangkan saja
jika itu nyata, lalu apa yang akan terjadi di ruang publik? Manusia tidak
merasa diawasi oleh Tuhan, yang ada hanya aturan pemerintah. Selama tidak
ketahuan melakukan kecurangan, semua sah-sah saja. Penggelapan uang, pencurian,
bahkan pelecehan dan tindakan negatif bebas dilakukan di ruang publik. Itukah
yang mereka mau? Agar bebas melakukan kehendak hati tanpa terbatas dogma dan
hukum agama.
Tidak usah
jauh-jauh ke negeri barat, bukankah di negeri ini pernah ada orang-orang yang
memiliki paham demikian? Ya, orang-orang yang tidak bertuhan itu. Atau mereka
yang merasa memiliki Tuhan terbatas pada dinding-dinding tempat ibadah di rumah
atau bangunan tertentu. Disanalah mereka meninggalkan sosok Tuhan, lalu
melenggang bebas di jalanan. Merasa menjadi manusia paling berkuasa, setidaknya
atas dirinya sendiri.
Mau korupsi ya
tinggal korupsi. Buktinya banyak orang mengaku beragama tapi korupsi. Karena “Tuhan”
tidak di bawa kerja, apalagi menetap di dalam jiwa. Agama dan Tuhan
ditinggalkan jauh di sudut-sudut kota, gang sempit, disapa dan dijenguk
berkala. Jika waktu ibadah tiba.
Tidak ada
bagian tubuh yang wajib ditutup, kecuali demi kepentingan fashion semata.
Bukankah jiwanya bebas mengekspresikan kreatifitas? Kehidupan seperti itukah
yang diinginkan manusia zaman sekarang? Ah, dunia. Manusia memang begitu mudah
terlena. Memilih agama hanya karena nenek moyang atau trend semata, bisa jadi
demikian.
Pemahaman yang
belum sempurna mengenai agama itulah, yang membuat sebagian jiwa merasa perlu
memisahkannya dari kehidupan. Soal politik, terserahlah yang mau jadi pemimpin
siapa. Asal hasilnya baik, iya kan?
Apakah hasil yang baik itu diciptakan dari “bim salabim” tanpa proses pemahaman
sang pemimpin?
Baik, mari kita
bedakan soal pemahaman pemimpin. Jika mereka, para pemimpin itu memisahkan
agama dari aturan kehidupan. Apa yang akan terjadi? Mereka memimpin atas nama
pilihan rakyat, namun akankah merasa terbebani dengan “suara rakyat” yang sudah
mendukungnya? “Loh, kami kan ngga
maksa mereka buat milih. Kalau sudah terpilih ya terserah kami mau bagaimana,
aturan kan kami yang buat, bukan
mereka.” Ya, hanya peraturan buatan manusia yang akan jadi acuan. Karena tidak
ada aturan agama yang perlu dipertimbangkan, bukan? Sementara semoga kita tidak
lupa, seberapa lemah aturan buatan manusia itu disusun. Aturan yang begitu
mudah dibolak balik sesuai kepentingan. Bisa digunakan untuk menjerat mereka
yang benar agar terkesan salah, atau membuat mereka yang memang salah jadi
terkesan benar. Semua penuh dengan pesona: pencitraan.
Standar
peraturan buatan manusia, bisakah dijadikan acuan? Secara hukum positif
masyarakat, tentu bisa. Lalu lintas bisa jadi lebih teratur dengan adanya
traffic light, lintasan penerbangan pesawat bisa lebih teratur ketika penumpang
menuruti aturan bandara, demikian juga seharusnya, sebuah negara bisa jadi
lebih teratur ketika hukum yang sudah disahkan mampu membenarkan yang benar dan
tetap menyalahkan yang salah. Tapi jangan lupa, tanpa aturan agama yang bersemayam
dalam jiwa, bisakah manusia tetap patuh pada aturan?
Slogan
“peraturan ada untuk dilanggar” yang dulu begitu tenar di kalangan remaja,
rupanya sekarang banyak menjalar juga pada orang tua. Tentu saja mereka tidak
secara lugas menyatakan demikian. Tapi lihat saja, sebagian dari mereka
bertingkah seolah hukum negara hanya mainan
yang bisa diatur sesuai pesanan. Mau siapa masuk penjara, tinggal
ciptakan sedikit trik yang bisa dibuat seolah tanpa rekayasa.
Mau siapa
bicara apa, tinggal beri sedikit pancingan yang mengaitkannya dengan
kepentingan pribadi. Begitu kan, yang selama ini terjadi? Agama sudah dikebiri,
tinggal di sudut-sudut sepi.
Lalu ketika
sudut-sudut sepi itu kembali dikunjungi, oleh mereka yang tidak ingin dikebiri,
muncul anggapan bahwa radikalisme tumbuh subur kembali. Mereka harus dibasmi!
Begitu teriak para pengebiri. Seolah yang perlu diperbaiki agamanya, bukan
pemeluknya.
Sampai kapan
hal ini akan terjadi?
Memang tidak
seharusnya, agama dipisahkan dari kehidupan.
#OneDayOnePost
1 comments:
Suka artikel nya...keren
Post a Comment