Monday, 20 February 2017

Ketika Agama Dipisah Dari Kehidupan

| |




Kata orang pintar, “agama dikebiri”. Tempatnya hanya boleh di rumah-rumah ibadah semacam vihara, gereja, pura, atau masjid. Tempat umum ya milik umum, bukan milik agama lagi. Begitu? Secara otomatis, di ruang publik aturan agama tidak boleh berlaku. Kalau mau shalat ya harus di masjid, ngga boleh di sudut-sudut jalan yang sepi, meski masjid 5 KM jauhnya dan tidak ada satupun transportasi umum menuju kesana, sementara waktu shalat akan habis setengah jam lagi.


Bayangkan saja jika itu nyata, lalu apa yang akan terjadi di ruang publik? Manusia tidak merasa diawasi oleh Tuhan, yang ada hanya aturan pemerintah. Selama tidak ketahuan melakukan kecurangan, semua sah-sah saja. Penggelapan uang, pencurian, bahkan pelecehan dan tindakan negatif bebas dilakukan di ruang publik. Itukah yang mereka mau? Agar bebas melakukan kehendak hati tanpa terbatas dogma dan hukum agama.

Tidak usah jauh-jauh ke negeri barat, bukankah di negeri ini pernah ada orang-orang yang memiliki paham demikian? Ya, orang-orang yang tidak bertuhan itu. Atau mereka yang merasa memiliki Tuhan terbatas pada dinding-dinding tempat ibadah di rumah atau bangunan tertentu. Disanalah mereka meninggalkan sosok Tuhan, lalu melenggang bebas di jalanan. Merasa menjadi manusia paling berkuasa, setidaknya atas dirinya sendiri.

Mau korupsi ya tinggal korupsi. Buktinya banyak orang mengaku beragama tapi korupsi. Karena “Tuhan” tidak di bawa kerja, apalagi menetap di dalam jiwa. Agama dan Tuhan ditinggalkan jauh di sudut-sudut kota, gang sempit, disapa dan dijenguk berkala. Jika waktu ibadah tiba.

Tidak ada bagian tubuh yang wajib ditutup, kecuali demi kepentingan fashion semata. Bukankah jiwanya bebas mengekspresikan kreatifitas? Kehidupan seperti itukah yang diinginkan manusia zaman sekarang? Ah, dunia. Manusia memang begitu mudah terlena. Memilih agama hanya karena nenek moyang atau trend semata, bisa jadi demikian.

Pemahaman yang belum sempurna mengenai agama itulah, yang membuat sebagian jiwa merasa perlu memisahkannya dari kehidupan. Soal politik, terserahlah yang mau jadi pemimpin siapa. Asal hasilnya baik, iya kan? Apakah hasil yang baik itu diciptakan dari “bim salabim” tanpa proses pemahaman sang pemimpin?

Baik, mari kita bedakan soal pemahaman pemimpin. Jika mereka, para pemimpin itu memisahkan agama dari aturan kehidupan. Apa yang akan terjadi? Mereka memimpin atas nama pilihan rakyat, namun akankah merasa terbebani dengan “suara rakyat” yang sudah mendukungnya? “Loh, kami kan ngga maksa mereka buat milih. Kalau sudah terpilih ya terserah kami mau bagaimana, aturan kan kami yang buat, bukan mereka.” Ya, hanya peraturan buatan manusia yang akan jadi acuan. Karena tidak ada aturan agama yang perlu dipertimbangkan, bukan? Sementara semoga kita tidak lupa, seberapa lemah aturan buatan manusia itu disusun. Aturan yang begitu mudah dibolak balik sesuai kepentingan. Bisa digunakan untuk menjerat mereka yang benar agar terkesan salah, atau membuat mereka yang memang salah jadi terkesan benar. Semua penuh dengan pesona: pencitraan.

Standar peraturan buatan manusia, bisakah dijadikan acuan? Secara hukum positif masyarakat, tentu bisa. Lalu lintas bisa jadi lebih teratur dengan adanya traffic light, lintasan penerbangan pesawat bisa lebih teratur ketika penumpang menuruti aturan bandara, demikian juga seharusnya, sebuah negara bisa jadi lebih teratur ketika hukum yang sudah disahkan mampu membenarkan yang benar dan tetap menyalahkan yang salah. Tapi jangan lupa, tanpa aturan agama yang bersemayam dalam jiwa, bisakah manusia tetap patuh pada aturan?

Slogan “peraturan ada untuk dilanggar” yang dulu begitu tenar di kalangan remaja, rupanya sekarang banyak menjalar juga pada orang tua. Tentu saja mereka tidak secara lugas menyatakan demikian. Tapi lihat saja, sebagian dari mereka bertingkah seolah hukum negara hanya mainan  yang bisa diatur sesuai pesanan. Mau siapa masuk penjara, tinggal ciptakan sedikit trik yang bisa dibuat seolah tanpa rekayasa.

Mau siapa bicara apa, tinggal beri sedikit pancingan yang mengaitkannya dengan kepentingan pribadi. Begitu kan, yang selama ini terjadi? Agama sudah dikebiri, tinggal di sudut-sudut sepi.

Lalu ketika sudut-sudut sepi itu kembali dikunjungi, oleh mereka yang tidak ingin dikebiri, muncul anggapan bahwa radikalisme tumbuh subur kembali. Mereka harus dibasmi! Begitu teriak para pengebiri. Seolah yang perlu diperbaiki agamanya, bukan pemeluknya.

Sampai kapan hal ini akan terjadi?


Memang tidak seharusnya, agama dipisahkan dari kehidupan.

#OneDayOnePost

1 comments:

Wiwid Nurwidayati said...

Suka artikel nya...keren

Post a Comment

Popular Posts

Blogger templates

Blogroll

About

Search This Blog

Powered by Blogger.
 

Designed by: Compartidísimo
Images by: DeliciousScraps©