Percayakah
engkau, bahwa setiap hal memiliki batas waktu? Kadang semu, kadang begitu jelas
menerangi kalbu. Datang bersama tanda-tanda yang kemudian menjadi masa lalu.
Hidup berbatas mati. Sayang berbatas benci. Dan kamu, berbatas diriku. Begitu
juga aku, terbatas pada dirimu. meski batas itu juga, semu.
Sadarkah
engkau, bahwa setiap jiwa memiliki jalannya dengan sempurna. Tak peduli siapa
atau dimana, ia akan sampai pada setiap ketetapan yang telah lama digariskan
untuknya. Tidak seorangpun dapat menghalau, apalagi merubah cerita tanpa izin
sang pencipta. Setiap jalan memiliki warna. Salah satunya adalah jngga.
Pada pagi, ia
tampak merona. Memberi warna pada fajar pertama. Putih bersemu merah, kemudian jingga
sejenak tampak sempurna, sebelum kuning berseri nyata. Putih akan kembali
meraja, membawa terang pada semesta. Hingga kita tak lagi mengenali warna.
Merah, biru, bahkan ungu berbaur menjadi satu. Hanya spektrum yang mampi
pisahkan mereka, memberi kita warna yang berbeda.
Jingga, adalah
warna kita. Aku dan kamu dalam rasa yang sempurna. Namun kadang putih datang
mengaburkan, hitam menebar percaya bahwa engkau tak sempurna. Merah, biru,
kuning, bahkan hijau melengkapi kita hingga kehilangan semuanya. Kita menjadi
tanpa warna. Berbaur dengan semesta. Meniadakan rasa, memupuk ikhlas tanpa
batas.
Aku percaya,
pada sempurnanya rasa kita, hingga tercipta jingga. Aku percaya, untuk selalu
menjaga apa yang kita rasa. Namun aku juga sadar, engkau belum benar-benar
nyata. Jingga kita bak fatamorgana yang terasa benar-benar ada. Rasa kita benar
sempurna.
Ruang dan waktu
membentangkan jarak, namun asa satukan kita. Berharap semua segera benar nyata,
sebelum datang senja. Di ujung waktu, lentera mulai menyala. Petang mulai
membayang, engkau tak jua datang. Apakah salahku jika tetap menunggu? Atau
waktu yang tak sudi kita bertemu?
Engkau tahu,
aku rindu. Pada sosokmu, pada detak jantung, juga nafas yang tampak memburu.
Engkau tahu,
aku menunggu. Kehadiranmu dalam nyata hidupku.
Engkau
seharusnya tak perlu pergi, waktu itu.
Agar aku tak
perlu menunggu.
Agar aku tak
perlu menahan rindu.
Hingga petang
datang, sosokmu tak jua menjelang
Perlahan jingga
meluruh, memenuhi janji pada malam
Aku rindu
suaramu.
Meski
menenangkan, namun seolah mengancam. Dan tanpa rasa takut, aku menyadari banyak
pilihan. Menunggumu kembali hanya seperti fatamorgana ditengah terik matahari. Namun
kini senja datang, memberiku pilihan untuk meninggalkan. Aku bergeming, antara
ikhlas dalam batas waktu menanti. Atau melupakan, sesuatu yang tidak bisa
dihapus dari ingatan.
Jika hidup
adalah ambang batas kesadaran, maka tidak semua rencana harus menjadi
kenyataan. Aku memilih untuk mengikhlaskan, tanpa melupakan. Biar, ingatan
mungkin akan mengusik dan memberi waktu pada masa lalu, aku tidak peduli.
Bukankah bahagia cukup terbayar saat mendengar engkau bersuara? Tidak ada
satupun sakit yang berhasil meraja, kecuali suaramu adalah penawarnya.
Disanalah engkau hantarkan rasa percaya, bahwa aku akan mampu melewati setiap
coba. Bahwa apa yang kuhadapi bukanlah hal sia-sia, dan nanti, ada manis yang
menanti di ujung sana.
Terima kasih,
untuk setiap kata dan kebaikan yang kini menjadi cerita. Aku ikhlas, bukan
untuk melupakan. Tidak perlu lagi berharap engkau kembali, karena kita sudah
miliki bahagia sendiri. Engkau boleh memilih pergi, atau kembali. Semoga jika
engkau memilih yang kedua, aku belum beranjak dari sini. Namun jika engkau
memilih yang pertama, semoga selalu bahagia di sana. Aku rela, untuk setiap
sapa tanpa cela. langit menyaksikan mimpi-mimpi kita berbunga menjadi cita.
Tidak ada lagi alasan untuk meraihnya. Bersama atau tidak, kita akan tetap
menuju ke sana.
#OneDayOnePost
#Challenge
#Prolis
6 comments:
asikk keren kak saki :D
Mantap ni mewakili isi hati
Keren
Keren
Wow.. Saya ndak bisa komentar yang lain selain.. Keren. Saya suka tulisannya, mba Kifa.
"Kompor Gas!" kata Pakdhe Indro.
Keren ini mbk Kifah ...
Saya justru bleum bisa nulis tantangan ini
Post a Comment