![]() |
Jembatan menuju masa depan :) |
Pagi masih
bergelayut mendung, menjadikan suasana redup. Padahal jam di pojok layar laptop
sudah menunjukkan angka 06.57. Biasanya, jika cuaca cerah matahari jam segini pasti sudah
menerobos genting kaca di atas langit-langit kamarku. Membiaskan cahaya yang
menerangi seluruh ruang. Sementara aku, antara malas dan semangat, sudah mulai
mengetik beberapa kata di layar. Memulai pagi dengan menulis, tidak buruk kan?
Perhatianku ke
layar pecah ketika layar HP tiba-tiba menyala di sebelah laptop, ummi-ku. Nama
yang tidak asing lagi, langsung kuangkat. Ummi biasanya hanya telpon di jam
sibuk seperti ini jika benar-benar penting.
“Assalamu’alaikum...”
Sapa ummi bahkan sebelum aku sempat mengucap salam.
“Wa’alaikumsalam,
iya mi... Ada apa?” Sambil mengalihkan perhatian dari layar, fokus mendengarkan
suara ummi.
“Eh, itu adikmu
gimana? Kok dari tadi tak telpon ngga diangkat. Masih sakit atau kenapa atau
gimana sekarang? Ngabari ngga?” Jelas, nada cemas tergambar dalam suaranya.
Wajar, kemarin sore adikku sempat alergi ketika kembali ke kosnya dari sini.
Gara-gara makan dua ekor walang goreng. Iya, hanya dua ekor. Tapi bagi mereka
yang tidak tahan, itu sudah jadi masalah besar. Sekujur tubuhnya jadi ruam dan
gatal.
Sebenarnya kami
sudah tahu kalau adikku tidak bisa makan semua jenis makanan. Beberapa makanan
tertentu seperti udang dan kepiting pernah membuatnya alergi. Tapi walang alias
belalang goreng? Itu adalah makanan khas Gunungkidul. Adik belum pernah makan
sebelumnya. Karena sekarang sedang musim, dia ingin ikut mencicipi. Kami sempat
berhitung risiko sebelum memenuhi permintaannya, bagaimana kalau nanti dia
tidak tahan? Karena dia berani tanggung jawab, dan berdalih alergi itu hanya
akan menyerangnya sebentar, dia berasumsi alergi makanan tidak akan membuatnya
masuk Rumah Sakit. Jadi ya, kuturuti saja ketika kemarin dia ingin makan, aku
membeli setengah kilogram belalang mentah di pasar. Lalu sepulang dari kami
jalan-jalan, belalang itu kami bersihkan dan goreng.
Sore setelah
dia mandi dan shalat ashar, mulailah dia mengetes tubuhnya dengan dua ekor
belalang. Hasilnya, belum ada satu jam kemudian, ruam-ruam itu muncul. Satu
demi satu muncul dan membuatnya harus menyerah. Memang bukan sesuatu yang baik,
tapi setidaknya dengan mencoba dia jadi tahu bagaimana rasa dan akibatnya. Lain
kali, kalau ada walang goreng dia tidak berhak lagi makan. Jadi jatah untukku
bisa bertambah. Haha... Baik, ummiku cemas. Untung tadi adik sudah mengabarkan
kondisinya pagi ini.
“Tenang mi,
adik kuliah pagi. Udah berangkat
tadi, kutanya masih ada gatal tapi ngga parah kok. Tinggal merah-merah sedikit
katanya. Jadi tetap ke kampus pagi.” Jawabku tenang, biar ummi ikut tenang.
“Oh, ya sudah.
Alhamdulillah kalau gitu. Ya sudah ya, ummi mau ngapa-ngapain lagi.” Lega
mendengar suara beliau jauh lebih tenang sekarang. Tapi, aku tidak menyudahi
pembicaraan begitu saja. Aku masih bertanya beberapa hal lain. Terkait rencana
pernikahan teman, ujian, perkembangan tesis dan sebagainya. Sampai akhirnya umi
menyinggung soal rencana masa depan. Kami memang selalu dekat. Apapun selalu
berbagi cerita, mungkin tak ada lagi rahasia.
“Eh ya, kalau
kamu bisa lulus cumlaude nanti bisa
lanjutkan S3 di Al Azhar?” Tanya ummi, agak serius nadanya. Aku perlu beberapa
detik untuk menangkap maksudnya.
“Al Azhar?
Mesir? Cairo mi?” Tanyaku memastikan.
“Iya, tempat
dulu Om Yid kuliah? Kalau kamu cumlaude, bisa
kan diterima disana? Bahasa arab bisa dipelajari, kamu pasti bisa kan udah ada basicnya.” Ujar umi meyakinkan. Aku
masih melongo. Kenapa tiba-tiba ummi jadi kepikiran kesana?
Tahu kan,
mungkin bukan hanya soal nilai. Untuk masuk Al Azhar ada seleksi sendiri, dan
itu tidak mudah. Sementara aku belum terlalu kenal dengan bahasa arab, apalagi
lingkungan disana. Itu akan menjadi dunia asing bagiku nanti. Tapi menolak
saran ummi? Itu hampir mustahil. Seluruh doa untukku bermuara padanya.
“Umm, mungkin
bisa mi. Tapi, apa asiknya kuliah di sana kalau berangkat sendiri? Kecuali nih,
ummi mau cariin menantu lulusan Al Azhar? Biar aku belajar ujian masuknya dan
ngga kesulitan tingal disana?” Tawarku, sambil bercanda sebenarnya.
“Lah kan udah
ada?” Jawab ummi santai. Hah? Aku memutar memori. Apa yang sudah atau pernah
kuceritakan sebelumnya tentang Al Azhar pada ummi?
Oh, please.
Ampuni hamba ya Rabb ... Sepertinya aku ingat, pernah cerita kalau ada teman
yang keren. Sudah hafidz, kuliah pula S2 di Al Azhar sekarang. Iya, sekedar
teman yang kenal lalu kuceritakan pada ummi. Jujur, aku kagum dengan
kemampuannya hafal Al Qur’an itu, sekaligus memang dia teman diskusi yang baik,
kadang. Karena sebenarnya kami sangat jarang berkomunikasi kecuali memang ada
perlu. Teman, kenalan, tidak lebih.
Walapun dalam hati aku selalu kagum dengan para hafidz yang hanif, bahkan bercita-cita memiliki anak-anak yang hafal Al Qur'an nanti. Bukan berarti aku memasang target harus punya suami hafidz, Ya, kalau dikasih ngga nolak. Tapi kalau engga? Ah, kok jadi mikir macam-macam. Tesis nih selesaikan dulu. Perbaiki diri sendiri biar dikasih jodoh terbaik nanti. -_-
Pasti maksud ummi, mungkin aku bisa bertanya pada teman itu bagaimana jika meneruskan S3 di Al Azhar seperti Om Yid? Om-ku ini sebenarnya saudara jauh, anak tetangga yang masih keluarga jauh kami. Beliau lulusan Gontor, lalu meneruskan S1-S3 di Al Azhar. Nama lengkapnya Dr. M. Kholid Muslich, Lc.... entah apa saja gelarnya, aku kurang tahu. Bagi alumni gontor putra pasti mengenalnya. Beliau salah satu duktur paling disegani disana. Jadi, mungkin ummi berpikir aku bisa dan mampu kuliah sampai S3, seperti beliau menyelesaikan pendidikannya di Al Azhar? It's sound so nice.
Walapun dalam hati aku selalu kagum dengan para hafidz yang hanif, bahkan bercita-cita memiliki anak-anak yang hafal Al Qur'an nanti. Bukan berarti aku memasang target harus punya suami hafidz, Ya, kalau dikasih ngga nolak. Tapi kalau engga? Ah, kok jadi mikir macam-macam. Tesis nih selesaikan dulu. Perbaiki diri sendiri biar dikasih jodoh terbaik nanti. -_-
Pasti maksud ummi, mungkin aku bisa bertanya pada teman itu bagaimana jika meneruskan S3 di Al Azhar seperti Om Yid? Om-ku ini sebenarnya saudara jauh, anak tetangga yang masih keluarga jauh kami. Beliau lulusan Gontor, lalu meneruskan S1-S3 di Al Azhar. Nama lengkapnya Dr. M. Kholid Muslich, Lc.... entah apa saja gelarnya, aku kurang tahu. Bagi alumni gontor putra pasti mengenalnya. Beliau salah satu duktur paling disegani disana. Jadi, mungkin ummi berpikir aku bisa dan mampu kuliah sampai S3, seperti beliau menyelesaikan pendidikannya di Al Azhar? It's sound so nice.
Allahu rabb..
aku menghela napas.
“Mi, suami
ajalah. Jangan cuma teman. Kan lebih seru gitu?” Aku masih menawar. Hehe, biasa
jadi anak ummi, kadang manja. Ummiku diam, sepertinya berpikir sejenak.
“Hmm, ya besok
kalau udah siap kita tanyain Om Yid. Siapa tau beliau ada calon?” Hatiku
bergolak menahan tawa. Ah, ummi ada-ada saja. Entahlah, tidak terlalu
kupikirkan sebenarnya percakapan ini. Tapi cukup berkesan untuk dikenang. Ya,
siapa tahu setelah ditulis jadi kenyataan nanti? Bisa S3 ke Al Azhar sama suami
pula? Iya kan? Toh misal, ngga jadi nyata juga cukup berkesan bila diingat suatu hari nanti.
Siapapun yang
akhirnya jadi suamiku dan berhasil menjadikanku istrinya, pasti dia keren, hebat,
dan yang terbaik untuk dunia dan akhirat. Kami akan menjadi orang yang
beruntung karena saling menemukan. Kok bisa yakin? Iya yakin aja, karena itu
sudah menjadi bagian pintaku dalam do’a. Jadi yakin Allah pasti kasih yang
terbaik.
#ODOP
3 comments:
Amiin...allohumma amiin
Manisss sekali... InsyaAllah kak..
Aamin Allahuma amin semoga segera tercapai ya kak saki
Post a Comment