Jika hidup
penuh rencana sering disebut sebagai salah satu cara menuju sukses, mungkin aku
belum menapak satupun tangganya. Ketika orang lain sibuk merangkai peta hidup,
harus kemana dan bagaimana setelah ini, aku memilih santai saja. Ketika menjelang
lulus SMA, tentu saja pertanyaan, “Setelah ini mau kemana?” menjadi topik
paling layak untuk diperbincangkan. Begitu juga menjelang wisuda sarjana, dan pertanyaan yang sama;
lagi-lagi; datang menghampiri ketika wisuda magister mulai membayang di depan
mata.
Maklum,
sepertinya aku bukan perencana yang baik, meski hidupku kadang berjalan sesuai
dengan apa yang kupikirkan. Tapi realitanya, semua kujalani begitu saja.
Menjelang lulus
SMA, aku masih sangat “kuper” kalau ngga disebut “culun” dengan dunia kampus.
Maklum, tinggal di kota kecil yang menuntut untuk hanya menerima dengan
sederhana selama bertahun-tahun berhasil memenjarakan rasa ingin tahu yang dulu
tampak begitu menggebu dalam diriku. Hanya satu bidang yang sejujurnya saat itu
menarik perhatianku: psikologi. Itupun karena aku suka perhatian dengan suasana
hati teman-teman, yang sebagian begitu mudah berubah, sementara yang lain
seolah selalu tampak tenang. Sama sekali tak ada bayangan. UN kujalani dengan biasa
saja, belajar sekenanya, tidak ada agenda bimbel khusus kecuali apa yang
disediakan sekolah. Hasilnya? Nilai tertinggi sekelas sekaligus satu jurusan,
kuanggap sebagai keberuntungan.
Ketika
teman-teman sibuk mendaftarkan diri ke STAN dan SPMB (sekarang UMPTN ya?) aku
ikut saja, sekedar ikut-ikutan. Lagi-lagi, ini tanpa perencanaan yang baik.
Teman-teman mempersiapkan diri dengan mengerjakan latihan soal SPMB, STAN,
sekaligus bergabung dengan bimbel di luar sekolah, aku memilih liburan di
rumah! Hasilnya? Tidak lulus. Wajar, pikirku.
Toh seandainya
diterima, aku tidak tahu harus tetap kuliah atau merelakannya. Mengingat bahwa
tidak ada sumber biaya yang bisa kuandalkan. Setelah beberapa hari iseng
(lagi-lagi hanya menuruti kata hati) maen ke rumah tetangga untuk belajar
menjahit pakaian, hasilnya aku bisa menyelesaikan satu gamis dibawah bimbingan
beliau, lumayan.
Setelah SMA,
ngga diterima kuliah di PTN, mau ngapain? Ah, kerja? Bukan pilihan buruk,
mungkin. Aku memilih Jogja, awalnya hanya berniat menghilangkan penat, maen ke
kos teman sambil cari kerjaan. Dapat? Tawaran MLM! Biasa, sih. Hampir saja
kuterima, kalau ayah tidak mewajibkanku pulang saat itu juga. Baiklah, apa
salahnya menurut orang tua?
Disinilah kutemui titik awal perjalanan
berikutnya. Koran yang kubeli dijalan tanpa kubaca, diteliti oleh ibuku.
Informasi dari koran itulah yang akhirnya menuntunku menjalani hari-hari empat
tahun berikutnya: kuliah S1 Ekonomi Islam dengan beasiswa, berasrama, dan wajib
pakai gamis setiap hari. Padahal sebelumnya, hanya ada celana panjang yang
masuk dalam daftar isi lemari. Huft...
Empat tahun
kembali berjalan begitu saja, jangan tanya soal kisah asmara. Perjalanan sampai
disini belum mengijinkanku menikmati indahnya memiliki kekasih halal. Masih
banyak jatah gagal yang harus kuhabiskan. Jaman sekarang, S1 bukan jaminan
kehidupan aman sentosa tanpa halangan. Usai wisuda, ibu memintaku pulang.
Tawaran untuk menjadi pembina asrama harus kuabaikan, meski belum tahu setelah
itu mau apa dirumah. Jadilah pengangguran yang menyesakkan dan hanya
menghabiskan jatah makan. Tidak enak? Pasti. Apalagi ditambah tawaran
perjodohan yang mulai datang, sementara orang tua belum menyalakan lampu hijau
untuk urusan yang satu itu. Iya, sepertinya mereka paham putrinya ini masih
terlalu labil untuk menapak dunia rumah tangga.
Setelah
menyibukkan diri membantu mengajar mengaji dan menjahit di konveksi milik
tetangga, lama-lama ada konflik batin yang tak mampu kuhindari. Biasa, urusan
remaja yang belum bisa berpikir dewasa. Daripada memilih salah satu yang
berarti menyakiti yang lain, aku memilih pergi.
Jakarta, adalah
destinasi hingga hampir setahun berikutnya. Jangan tanya berapa kilometer dan
berapa jam kuhabiskan untuk mencari kerja disana, atau kebosanan macam apa yang
harus kuderita, rasanya semua terbayar ketika akhirnya mendapat kerja meski
kontrak. Sayang, semua harus berakhir begitu cepat, jatah gagalku belum habis.
Berpindah dari satu tumpangan ke tumpangan yang lain, mau tidak mau harus jadi
pilihan. Sampai akhirnya sebuah tawaran yang tak bisa ditolak itu datang: aku
harus kembali pulang. Mengajar bocah-bocah unyu tanpa dosa yang begitu polos
namun cukup menguras tenaga. Sampai tiga tahun berikutnya, mencoba bertahan
dengan memendam keinginan untuk melanjutkan pendidikan.
Ah, dunia.
Kadang memang yang terjadi tidak sesuai rencana, tapi yakin saja bahwa apa yang
terjadi adalah yang terbaik untuk kesudahan setiap urusan. Aku menggigit kuat
kepercayaan pada hal itu. Pernah aku sangat memaksakan kehendak. Inginya, semua
tanggung jawab selesai tepat waktu, tidak peduli pada jatah istirahat dan
stress yang harus dikelola tanpa mengenal kata terlambat. Beberapa kali drop
yang mengakibatkan penurunan tekanan darah drastis dan hampir pingsan harus
menjadi peringatan, bahwa aku tidak lagi bisa memaksakan keinginan.
Baiklah, tahun ketiga
mengajar, ultimatum itu akhirnya datang: mau lanjut kuliah atau tetap bertahan
mengajar? Dengan syarat kembali mengambil jenjang S1 pendidikan. Jelas, aku
memilih melanjutkan daripada mengulang. Disinilah aku sekarang. Berusaha menyelesaikan
tantangan untuk mengakhiri sekali lagi masa pendidikan.
Meski mungkin
satupun tangga sukses belum kutapak, tapi semoga apa yang harus kupilih tanpa
banyak rencana akhirnya mengantarku ke tempat dimana seharusnya aku berada.
Agar ilmu ini menyebar luas, semakin bermanfaat bagi sesama. Bukan ketenaran
nama yang jadi tujuan, hanya saja aku tahu bahagia bisa tercipta begitu saja
setiap kali berhasil melakukan apa yang sungguh kuyakini.
Setiap kali
gagal melanda, aku memilih berkata pada diri sendiri: saatnya bangkit lagi.
Jika harus mengambil jalan lain, aku berusaha menjalaninya sepenuh hati tanpa
memaksakan kehendak sebelumnya. Bukankah ada Allah sang perencana terbaik?
Setelah magister mau kemana, sepertinya juga masih jadi rahasia. Aku yakin,
bahwa kabar baik hanya datang jika saatnya tiba. Yang perlu kulakukan hanyalah
menjalani hari ini, menikmatinya sepenuh hati dan selalu berusaha merasa bahagia
apapun yang terjadi. Kalaupun harus sedih atau kecewa, sebentar saja ya. Tidak
baik berlarut dalam duka, mari berbahagia.
#ODOPChallenge
3 comments:
Keren perjalanannya dik saki
Serrrruuuuuuu.... dan sangat mengispirasi. Terimakasih sekali atas ceritanya Dek Saki. Tetap semangat ya...
Terus semangat de sakiii
Post a Comment