Saturday, 11 March 2017

Semua Dari Hati

| |





Jika hidup penuh rencana sering disebut sebagai salah satu cara menuju sukses, mungkin aku belum menapak satupun tangganya. Ketika orang lain sibuk merangkai peta hidup, harus kemana dan bagaimana setelah ini, aku memilih santai saja. Ketika menjelang lulus SMA, tentu saja pertanyaan, “Setelah ini mau kemana?” menjadi topik paling layak untuk diperbincangkan. Begitu juga menjelang  wisuda sarjana, dan pertanyaan yang sama; lagi-lagi; datang menghampiri ketika wisuda magister mulai membayang di depan mata.

Maklum, sepertinya aku bukan perencana yang baik, meski hidupku kadang berjalan sesuai dengan apa yang kupikirkan. Tapi realitanya, semua kujalani begitu saja.

Menjelang lulus SMA, aku masih sangat “kuper” kalau ngga disebut “culun” dengan dunia kampus. Maklum, tinggal di kota kecil yang menuntut untuk hanya menerima dengan sederhana selama bertahun-tahun berhasil memenjarakan rasa ingin tahu yang dulu tampak begitu menggebu dalam diriku. Hanya satu bidang yang sejujurnya saat itu menarik perhatianku: psikologi. Itupun karena aku suka perhatian dengan suasana hati teman-teman, yang sebagian begitu mudah berubah, sementara yang lain seolah selalu tampak tenang. Sama sekali tak ada bayangan. UN kujalani dengan biasa saja, belajar sekenanya, tidak ada agenda bimbel khusus kecuali apa yang disediakan sekolah. Hasilnya? Nilai tertinggi sekelas sekaligus satu jurusan, kuanggap sebagai keberuntungan.

Ketika teman-teman sibuk mendaftarkan diri ke STAN dan SPMB (sekarang UMPTN ya?) aku ikut saja, sekedar ikut-ikutan. Lagi-lagi, ini tanpa perencanaan yang baik. Teman-teman mempersiapkan diri dengan mengerjakan latihan soal SPMB, STAN, sekaligus bergabung dengan bimbel di luar sekolah, aku memilih liburan di rumah! Hasilnya? Tidak lulus. Wajar, pikirku.

Toh seandainya diterima, aku tidak tahu harus tetap kuliah atau merelakannya. Mengingat bahwa tidak ada sumber biaya yang bisa kuandalkan. Setelah beberapa hari iseng (lagi-lagi hanya menuruti kata hati) maen ke rumah tetangga untuk belajar menjahit pakaian, hasilnya aku bisa menyelesaikan satu gamis dibawah bimbingan beliau, lumayan.

Setelah SMA, ngga diterima kuliah di PTN, mau ngapain? Ah, kerja? Bukan pilihan buruk, mungkin. Aku memilih Jogja, awalnya hanya berniat menghilangkan penat, maen ke kos teman sambil cari kerjaan. Dapat? Tawaran MLM! Biasa, sih. Hampir saja kuterima, kalau ayah tidak mewajibkanku pulang saat itu juga. Baiklah, apa salahnya menurut orang tua?

Disinilah kutemui titik awal perjalanan berikutnya. Koran yang kubeli dijalan tanpa kubaca, diteliti oleh ibuku. Informasi dari koran itulah yang akhirnya menuntunku menjalani hari-hari empat tahun berikutnya: kuliah S1 Ekonomi Islam dengan beasiswa, berasrama, dan wajib pakai gamis setiap hari. Padahal sebelumnya, hanya ada celana panjang yang masuk dalam daftar isi lemari. Huft...

Empat tahun kembali berjalan begitu saja, jangan tanya soal kisah asmara. Perjalanan sampai disini belum mengijinkanku menikmati indahnya memiliki kekasih halal. Masih banyak jatah gagal yang harus kuhabiskan. Jaman sekarang, S1 bukan jaminan kehidupan aman sentosa tanpa halangan. Usai wisuda, ibu memintaku pulang. Tawaran untuk menjadi pembina asrama harus kuabaikan, meski belum tahu setelah itu mau apa dirumah. Jadilah pengangguran yang menyesakkan dan hanya menghabiskan jatah makan. Tidak enak? Pasti. Apalagi ditambah tawaran perjodohan yang mulai datang, sementara orang tua belum menyalakan lampu hijau untuk urusan yang satu itu. Iya, sepertinya mereka paham putrinya ini masih terlalu labil untuk menapak dunia rumah tangga.

Setelah menyibukkan diri membantu mengajar mengaji dan menjahit di konveksi milik tetangga, lama-lama ada konflik batin yang tak mampu kuhindari. Biasa, urusan remaja yang belum bisa berpikir dewasa. Daripada memilih salah satu yang berarti menyakiti yang lain, aku memilih pergi.

Jakarta, adalah destinasi hingga hampir setahun berikutnya. Jangan tanya berapa kilometer dan berapa jam kuhabiskan untuk mencari kerja disana, atau kebosanan macam apa yang harus kuderita, rasanya semua terbayar ketika akhirnya mendapat kerja meski kontrak. Sayang, semua harus berakhir begitu cepat, jatah gagalku belum habis. Berpindah dari satu tumpangan ke tumpangan yang lain, mau tidak mau harus jadi pilihan. Sampai akhirnya sebuah tawaran yang tak bisa ditolak itu datang: aku harus kembali pulang. Mengajar bocah-bocah unyu tanpa dosa yang begitu polos namun cukup menguras tenaga. Sampai tiga tahun berikutnya, mencoba bertahan dengan memendam keinginan untuk melanjutkan pendidikan.

Ah, dunia. Kadang memang yang terjadi tidak sesuai rencana, tapi yakin saja bahwa apa yang terjadi adalah yang terbaik untuk kesudahan setiap urusan. Aku menggigit kuat kepercayaan pada hal itu. Pernah aku sangat memaksakan kehendak. Inginya, semua tanggung jawab selesai tepat waktu, tidak peduli pada jatah istirahat dan stress yang harus dikelola tanpa mengenal kata terlambat. Beberapa kali drop yang mengakibatkan penurunan tekanan darah drastis dan hampir pingsan harus menjadi peringatan, bahwa aku tidak lagi bisa memaksakan keinginan.

Baiklah, tahun ketiga mengajar, ultimatum itu akhirnya datang: mau lanjut kuliah atau tetap bertahan mengajar? Dengan syarat kembali mengambil jenjang S1 pendidikan. Jelas, aku memilih melanjutkan daripada mengulang. Disinilah aku sekarang. Berusaha menyelesaikan tantangan untuk mengakhiri sekali lagi masa pendidikan.

Meski mungkin satupun tangga sukses belum kutapak, tapi semoga apa yang harus kupilih tanpa banyak rencana akhirnya mengantarku ke tempat dimana seharusnya aku berada. Agar ilmu ini menyebar luas, semakin bermanfaat bagi sesama. Bukan ketenaran nama yang jadi tujuan, hanya saja aku tahu bahagia bisa tercipta begitu saja setiap kali berhasil melakukan apa yang sungguh kuyakini.

Setiap kali gagal melanda, aku memilih berkata pada diri sendiri: saatnya bangkit lagi. Jika harus mengambil jalan lain, aku berusaha menjalaninya sepenuh hati tanpa memaksakan kehendak sebelumnya. Bukankah ada Allah sang perencana terbaik? Setelah magister mau kemana, sepertinya juga masih jadi rahasia. Aku yakin, bahwa kabar baik hanya datang jika saatnya tiba. Yang perlu kulakukan hanyalah menjalani hari ini, menikmatinya sepenuh hati dan selalu berusaha merasa bahagia apapun yang terjadi. Kalaupun harus sedih atau kecewa, sebentar saja ya. Tidak baik berlarut dalam duka, mari berbahagia.


#ODOPChallenge

3 comments:

Wiwid Nurwidayati said...

Keren perjalanannya dik saki

Raida said...

Serrrruuuuuuu.... dan sangat mengispirasi. Terimakasih sekali atas ceritanya Dek Saki. Tetap semangat ya...

Lisa Lestari said...

Terus semangat de sakiii

Post a Comment

Popular Posts

Blogger templates

Blogroll

About

Search This Blog

Powered by Blogger.
 

Designed by: Compartidísimo
Images by: DeliciousScraps©