Tiga semester
berlalu begitu saja. Mulai dari perkenalan malu-malu, senyum simpul tanpa
prasangka, sampai kerelaan berbagi dan saling menerima. Semester awal, kita
dihadapkan pada lima mata kuliah dengan dosen-dosen luar biasa. Ada yang sangat
menjunjug tinggi etika akademik. Sehingga terlambat menjadi pembahasan yang
memalukan, apalagi jika ada kesalahan yang bahkan tidak sengaja kita lakukan,
bisa jadi bahan bualan yang menyesakkan.
Ada yang begitu terbuka menerima dan
mencerna hujjah para ulama, sehingga kebenaran yang selama ini kita yakini bisa
sedikit goyah mendengar penjelasannya. Mungkin dengan begitu, kita dipaksa
belajar lebih banyak lagi dan lagi, sekaligus bijak menyikapi perbedaan yang
seolah tak pernah bisa dipungkiri dalam kehidupan sehari-hari. Ada yang begitu
antusias mengajar, sehingga tidak pernah alpa memberi tugas, membuat kita
begadang bermalam-malam untuk menyelesaikannya.
Masuk semester
kedua, apakah semua jadi lebih ringan? Nyatanya tidak. Bahkan semakin banyak
beban tugas yang harus kita selesaikan. Sekaligus iya, kebersamaan kita semakin
terasa dengan banyaknya agenda jalan-jalan yang terlaksana. Begitu juga ketika
sampai di semester tiga. hampir semua rencana kita *terutama jalan-jalan, bisa
terlaksana. Mulai dari pantai, kota, situs budaya, pusat belanja, sampai gunung
dan camping disana walau sebagian awalnya terpaksa dan setelahnya ada
penyesalan tersisa. #karena ngga tau bakal selelah itu. Ah, tak mengapa, yang
penting kita bahagia-nya lillah. Iya
kan? Jangan ada yang menyesal lagi ya, kalau ada tempat yang ingin dikunjungi
bersama lagi katakan saja. Sebelum menyesal nanti.
Semester empat,
kita semakin jarang bersua. Kesibukan untuk menyelesaikan proyek penelitian
masing-masing otomatis membatasi pertemuan. Sebagian bahkan harus pulang
kampung untuk mengambil data, sekalian menuntaskan rindu pada keluarga. Ada
juga yang berhasil menapakkan kaki di lima negara, menuntaskan salah satu
resolusi tahun baru ya? Semua, begitu penuh warna. Meski tak banyak lagi canda
yang tercipta.
Mungkin pernah
ada satu, dua atau bahkan beberapa hal yang tanpa kita sadari sudah menggoreskan
luka. Entah lewat ucap atau sikap, entah lewat perhatian atau pengabaian, entah
mungkin juga karena kita yang belum tuntas saling mengenal kepribadian. Apapun
itu, semoga tdak lebih berharga dari kenangan dan rasa bahagia yang pernah
tercipta diantara kita.
Februari 2017,
sudah ada tiga teman kita yang berhasil menuntaskan penelitian dan
mengajukannya ke meja sidang. Luar biasa, Kak Iman dan dua saudari calon
bidadari bumi (ukhtina Nurul Susianti dan Fitriani) berhasil mengenyahkan
serangkaian halangan yang sempat datang. Sungguh, itu pencapaian yang luar
biasa, kawan. Salut untuk kalian. Menyandang gelar M.E hanya dua bulan setelah
usai semester tiga, itu berarti tidak lebih dari 20 bulan kalian menyelesaikan
studi magister ini.
Apa yang pernah
kita impikan? Masuk bersama, keluarpun bersama. Semester pertama, kita sempat
berangan bahwa satu angkatan spesial ini harus lulus tepat waktu, semuanya.
Membayangkan kita wisuda bersama mungkin saat itu bsa dianggap sebagai sebuah
utopia, mengingat riwayat kakak angkatan kita yang tidak hanya sulit, tapi juga
membuat tampak mustahil. Karena pasti, di tingkat akhir kita sudah dihadapkan
pada kepentingan masing-masing. Sedangkan bisa jadi, prioritas kita berbeda untuk
menyelesaikan tugas akhir.
Tapi buktinya,
kalian bertiga mampu menyelesaikannya lebih cepat dari empat semester yang
ditarget sebelumnya. Ah, kalau saja tidak ingat bahwa penyelesaian tesis memang
tidak sama dengan proses kreatif sebuah cerpen atau artikel harian, mungkin iri
bisa menjadi pilihan. Iri dalam kebaikan, tidak dilarang, bukan?
Tapi tidak.
Memang seharusnya berbeda, dan begini adanya. Jika di tiga semester pertama
kita bisa lulus bersama, karena mau tidak mau tanggal ujian sudah ditetapkan
dan kita harus menyelesaikan atau mendapat konsekwensi pengulangan tanpa alasan,
jadwal ujian itu tidak bisa ditawar seperti halnya kita tidak bisa menawar
nilai. Namun di semester akhir ini, kita harus menetapkan tanggal ujian dan
lulus sendiri-sendiri. Nilai yang kita dapat, tentu sesuai dengan usaha yang
dikeluarkan selama ini, kan? Semaksimal usaha, semaksimal itu pula hasilnya.
Impas. Jika tidak sesuai harapan? Tak mengapa, bisa jadi memang usaha kita
sebenarnya tidak sekuat harapan itu sendiri. Atau mungkin, masih ada maksud
tersembunyi yang akan terbuka suatu hari nanti. Syukuri, agar hati selalu
merasa damai.
Mimpi untuk
wisuda bersama satu angkatan mungkin harus pupus. Tapi rasanya tetap bahagia
karena yang terjadi ketidaksamaan tanggal wisuda kita bukan karena meninggalkan
sebagian yang lain *semoga. Karena yang sebenarnya terjadi adalah, sebagian
akan wisuda lebih dahulu dan sisanya akan menyusul periode berikutnya. Insya
Allah.
Jadi, kapan ini
acara makan-makan merayakan kelulusan kalian? Ayolah, bagi semangat agar kami
yang belum selesai bisa menyusul semua dan wisuda bersama. Tidak perlu ada
baper diantara kita. Toh memang kebersamaan kita ini sementara. Di sebuah
persimpangan jalan hidup kita bersua, di persimpangan yang lain mungkin kita
harus mengambil jalan yang berbeda. Sederhana, yang perlu kita lakukan adalah
bersyukur untuk pertemuan yang pernah ada.
Terima kasih
untuk hari-hari yang telah kita lewati, tidak ada yang lebih hebat, lebih
pandai, atau lebih sukses sendiri dalam ukuran materi, bahkan nilai. Setidaknya,
teman sejati tidak akan menilai begitu untuk menghargai sebuah persahabatan.
Cukupkan perasaan dengan saling mengerti, atau memberi pengertian agar tidak
terjadi kesalahpahaman. Limpahkan rasa saling memaafkan agar tersisa kerelaan.
Bukankah dengan rasa ikhlas kita bisa melangkah lebih ringan ke masa depan?
Masih banyak
agenda, rencana, juga cita-cita yang harus kita wujudkan di perjalanan hidup
berikutnya. Tahniyah yaa ashdiqoo-i.
Selamat teman-temanku, sahabat, saudara dan saudari dalam perjalanan ini.
Semoga ilmunya berkah dan lebih bermanfaat agar ekonomi islam membumi di tanah
pertiwi.
1 comments:
Ishhh aku kok jadi brebes Milo gini. Jadi kbayang kawan2 satu kelas, satu angkatan.
Post a Comment