1.
Di Indonesia, pemilihan
pemimpin baik tingkat daerah, provinsi, sampai pusat memiliki tempo jabatan
selama lima tahun. Satu coblosan, menentukan nasib lima tahun berikurnya. Saat
masa kampanye tiba, semua calon berlomba mengunggulkan program. Berbagai cara
dilakukan untuk menarik simpati publik. Mulai dari isu SARA, karater, sampai
program yang diajukan, bisa saling serang. Yang penting menang.
Lalu apa?
Rakyat kebanyakan hanya
menilai siapa yang paling layak menjabat. Melihat dari karakter, track record
yang sudah dilalui, juga visi misi. Tidak ketinggalan, opini media cukup
membantu untuk menentukan. Rakyat yang dibuai dengan janji dan pesona salah
satu paslon pasti cenderung memilih yang “paling” sesuai menurut kata hati.
Iya, kata hati. Bisa jadi kosakata ajaib yang mendominasi.
Padahal sesungguhnya,
proses memilih pemimpin di negeri kita adalah salah satu agenda politik
nasional. Namanya agenda politk, jelas tidak lepas dari kepentingan politis.
Setuju? Jelas! Jadi jangan terlalu naif, kalau mulai dari penentuan paslon
sampai selesainya proses pemilihan itu sendiri sarat dengan berbagai
kepentingan. Bahkan setelah itu, kontrol masif dari pihak-pihak pemegang
kepentigan masih bisa dilakukan. Itulah mengapa janji-janji kampanye hanya bisa
menari, sejenak kemudian pergi.
Program kampanye dan
semua usaha yang dilakuan oleh masing-masing paslon sesungguhnya mewakili
kepentingan yang jauh lebih besar. Mau tau polanya? Bacalah koran, perdalam
pemahaman, dan jangan lupa berpegang teguh pada iman. Semoga yang kita temukan
adalah kebenaran.
Mengingat bahwa setiap
paslon membawa banyak kepentingan di belakangnya, maka sungguh kita harus sadar
bahwa sebagai pemilih, tidak bisa cukup mempertimbangkan hanya dengan kata
hati. Lebih jauh dari itu, kita harus lihat apa dan siapa di belakangnya.
Karena sesungguhnya, “yang dibelakang” inilah penentu lima tahun ke depan.
Bukan soal siapa yang
memimpin.
Tapi dia memimpin untuk
apa dan siapa? Ini yang perlu dicermati.
Jadi, Ahok maupun Anis
itu sama sekali ngga berbahaya. Sungguh. Apa sih artinya dua orang itu? Kalau
ada apa-apa terus seluruh jakarta melawan, bisa habis juga kan mereka? Begitu
juga siapapun yang jadi presiden, sesungguhnya bukan inti dari gejolak yang
terjadi di masyarakat. Kekuatan di belakang mereka, yang jadi motivasi
sesungguhnya, akan bertindak sesuai rencana yang sudah disusun matang. Inilah
yang seringkali tidak disadari oleh banyak orang.
Jadi, siapkah dengan
semua kemungkinan?
Sekarang, masih mau
berdalih? “Ah, serahkan saja sama hukum.
Negara ini adalah negara hukum. Semua bisa diselesaikan dibawah payung hukum.”
Oh, tolong buka mata, telinga, dan hati seluas-luasnya. Kurang bukti apa kita
dengan berbagai aksi di negeri ini. Mulai dari yang dihadiri segelintir orang
sampai jutaan, bisakah meredam keinginan para penguasa yang sesungguhnya?
Sekedar pereda nyeri, mungkin saja. Hukum negeri ini, diakui atau tidak, sudah
banyak dimanipulasi oleh penguasa sendiri.
“Sudah terbukti kan,
yang non muslim selama ini bisa jadi pemimpin yang baik, apa salahnya
diteruskan?” Hello, coba cermati kata “baik”, pahami benar apa maksudnya. Lalu
bandingkan dengan fakta. Jangan asal bicara, pikirkan saja.
Lagi, aneh sih umat
islam ini. Diminta loyal sama iman sendiri masih cari dalih pembenaran. Giliran
diminta loyal sama “orang lain” malah dengan mudah mengiyakan. Sebenarnya siapa
yang ngga konsisten? Ah, kaca mana kaca?
Apa yang ada
dibaliknya, bisa dilihat dari siapa yang paling “repot” ketika dia bikin ulah.
Jelas, kan?
Sudah, mari pikirkan
lagi mau jadi seperti apa lima tahun kedepan. Eh, bukan hanya itu. Tanyakan
lagi dalam diri sendiri, iman sedang berdiri di mana? Barangkali masih main ke
tetangga sebelah ^_^
Apa beda dampaknya lima
tahun ke depan?
Asal tahu saja,
negara-negara tetangga itu bisa maju baik secara ekonomi, teknologi, maupun
pendidikan karena apa sih? Apa karena mereka banyak kasus korupsi seperti di
negeri kita? Ambil contoh, Malaysia, Singapura, China, dan Amerika. Atau
kejauhan? Bisa Jepang dan Australia, tidak masalah. Beberapa negara maju itu
beberapa puluh tahun yang lalu bahkan kondisinya lebih buruk dari Indonesia.
Tapi terbukti, mereka berhasil melakukan percepatan sehingga Indonesia
tertinggal. Selain karena dipegang oleh orang yang tepat, bangsa di negara maju
memiiki loyalitas yang tinggi terhadap prinsip yang mereka yakini.
Orang Amerika, mereka
boleh menguasai perdagangan dunia, namun tidak akan pernah mengekspor sumber
daya manusianya. Maka jangan cari penduduk Amerika sebagai pedagang asongan di
negara berkembang. Orang jepang, jika membeli barang akan bertanya, “Buatan
mana?” kalau bukan buatan bangsa mereka, tidak akan dibelinya. Begitu juga
orang China, mereka tidak segan untuk berbagi rahasia kepada kawan sebangsa.
Tapi kepada pribumi? Jangan harap. Loyal terhadap prinsip, itu konsekwensi
hidup manusia. Jadi jangan selalu dihubungkan dengan SARA.
Lagipula, siapa
sebenarnya yang menyinggung SARA? Umat Islam tidak akan bertindak tanpa sebab.
Sudah lihat video kampanye kubu penista agama yang terakhir dan sedang menuai
kontroversi saat ini? Ini masih masa kampanye, sudah senang sekali sepertinya
bikin ulah. Bagaimana nanti jika sudah jadi pemimpin?
Semoga Allah melindungi
kekuatan hati kami yang ingin berdiri dan membela kebenaran agama, keyakinan,
dan hati nurani.
Lalu, duhai pera muslim
dan muslimah yang ingin memilih pemimpin non muslim, sebenarnya kalian loyal
kepada siapa? Sudah cukup cerdaskah menggunakan akal dan pikiran untuk
membedakan efek lima tahun ke depan? Hidup kita saat ini sedang berada dalam
hegemoni kapitalisme yang mencengkeram erat. Kalau belum bisa memperbaiki dan
membaliknya jadi sistem yang benar, minimal jangan semakin merusaknya dengan
salah pilih pemimpin.
Oke, fix?
Jika belum, mungkin
tulisan selanjutnya harus kuurai sistem keuangan setan dengan bahasa yang lebih
ringan, semoga bisa meluaskan pemahaman dari buku “Satanic Finance” karya Prof.
Dr. (HC) Riawan Amin.
1 comments:
Pelan.... Pelan bacanya nih sayaaa... Perlu pemahaman mendalam...
Post a Comment