Tuesday, 25 April 2017

Kebaya dalam Peringatan Hari Kartini

| |


foto dari mbah gugel


Masih lekat dalam ingatan, saat aku belia dan sudah masuk sekolah TK. Ayah yang jarang di rumah, kebetulan sekali menjelang peringatan Hari Kartini sedang ada di rumah. Layaknya sekolah lain, peringatan itu ditandai dengan karnaval. Kami para siswa yang masih imut, lugu dan menggemaskan tentu jadi sasaran. Siswa putri diminta untuk berpakaian kebaya, dirias sedemikian rupa. Para pria kecil memakai kostum batik sogan lengkap dengan blankon khas adat jawa. Ketika ibu sampaikan rencana itu kepada ayah, apa beliau bilang?

“Tidak, lebih baik anak perempuanku tidak berangkat sekolah hari itu. Biar di rumah saja. Tidak akan kuijinkan anak perempuanku berperilaku seperti ondel-ondel!”

Aku, yang tentu masih terlalu kecil saat itu, tidak mengerti apa-apa. Menurut saja. Toh sekolahku jauh dari rumah. Tidak ada tampak dimataku seliweran sosok teman-teman yang cantik jelita bak bidadari turun dari surga. Atau malah seperti boneka bertopeng karena kontas warna yang mencolok antara wajah dengan bagian tubuh lainnya? Entahlah. Hanya, harus kuakui tidak ada satupun kenangan foto masa kecil dengan kebaya lengkap bersanggul atau berkonde. Peringatan itu tak tercatat dalam sejarah masa kecilku.

Sampai ketika teman-teman sebaya banyak mendapat tawaran menjadi “kembang manten”, aku tidak pernah mendapat izin untuk ikut seperti itu. Alamat, sampai remaja bahkan dewasa tidak sekalipun ini muka jadi “korban kebaya” yang kata orang kalau dipakai bikin sesak karena ukurannya yang pas di badan dan bahannya yang kebanyakan bikin gerah selama perjalanan.

Bahagia, iya. Karena mendapat lingkungan yang banyak menjaga. Tapi masih penasaran juga. Kenapa Hari Kartini selalu diperingati dengan perempuan berkebaya?

Tidak, saya tidak membenci kebaya. Nenek-nenek saya semua pemakai kebaya. Saya suka motif batik meski kebanyakan akhirnya dimodifikasi jadi rok super lebar. Biar enak dipakai jalan-jalan. Saya suka memperhatikan model kebaya dengan apa namanya? Kutubbaru? Yang sejak lama menjadi model utama kebaya milik nenek saya, sekarang tren lagi rupanya. Penasaran, kadang saya ingin mencoba tapi belum cukup nyali jadi terlihat lebih “dewasa”.

Ah, mungkin lebaran yang akan datang bisa dicoba, modifikasi model kebaya dengan mesin jahit yang ada di rumah. Semoga bisa terealisasi sebagai bagian dari rencana.

Ehm, saya juga masih penasaran. Kenapa peringatan Hari Kartini selalu identik dengan kebaya? Apakah karena dokumentasi yang ditemukan, foto Kartini menggunakan kebaya? Wajar, beliau keturunan jawa sekaligus tumbuh di lingkungan bangsawan yang menjunjung tinggi adat termasuk pakaian. Wajar, sebagai muslimah sekalipun, pada masa itu kerudung belum sefamiliar sekarang. Malah bisa jadi, kerudung adalah salah satu pakaian yang masih mendapat banyak pertentangan. Tapi bukan itu kan, yang jadi sorotan sehingga beliau dianggap sebagai pahlawan?

Kartini adalah lambang perubahan, bahwa wanita tidak bisa diam dan tunduk pada peraturan tanpa pemahaman. Kartini adalah simbol perlawanan, bukan melalui senjata mematikan, namun lembut menyerang dengan tulisan.

Iya, tulisan. Pelajaran, pemahaman. Sesuatu yang dianggap Kartini lebih “menggerakkan” dari sekedar pakaian. Beliau meletakkan banyak harapan dan pondasi perubahan melalui berbagai tulisan yang disebarluaskan.

Lalu, masihkah kebaya cukup sebagai lambang peringatan?

Tidak ada yang salah jika kebaya digunakan sebagai lambang perempuan yang memiliki kekuatan. Meski tidak semua perempuan yang memiliki kekuatan untuk melakukan perubahan harus mengenakan kebaya. Tapi lebih dari itu, dibalik kebaya-kebaya yang dikenakan, haruslah ada kekuatan yang ditawarkan.

Wanita tidak bisa sekedar bersolek, mempercantik rupa dan penampilan. Sementara lupa bagaimana harus bersikap dan mengambil keputusan. Lupa bagaimana harus memperbarui dan meluaskan pengetahuan. Atau yang lebih memprihatinkan, adalah lupa dimana meletakkan keimanan.

Kartini, adalah sosok muslimah yang terus berusaha memperbaiki diri. Melepaskan ketidaktahuan melalui tulisan. Mengungkapkan setiap kegelisahan yang dirasakan. Hingga akhirnya menemukan kebenaran dalam proses pencarian. Kartini tak berhenti menulis untuk diri sendiri.

Termasuk ketika menulis tentang Islam, Kartini tidak enggan menulis tentang rasa keterasingan ketika melihat lembaran Al Qur’an tanpa terjemahan. Apa yang bisa diambil dari kitab suci tanpa pemahaman? Hingga Kartini mengalami transformasi spiritual setelah pertemuannya dengan Kyai Sholeh Darat, yang mengajarkannya tafsir Al Qur’an. Kado pernikahan terbaik yang diterimanya adalah kitab tafsir Al Qur’an yang ditulis oleh sang Kyai mulai dari surah Al Fatihah hingga Surah Ibrahim. Sayang, Sang Kyai harus kembali kepada Allah sebelum berhasil menyelesaikan tafsir tersebut.

Perjalanan Kartini mengenali agamanya sendiri belumlah purna. Namun yang sudah dipelajari telah membawanya pada pemahaman yang luar biasa, sehingga dalam suratnya kepada Abendanon, sahabat penanya di Belanda, tertanggal 1 Agustus 1903, Kartini menulis, “Ingin benar saya menggunakan gelar tertinggi, yaitu Hamba Allah.”

Bisa dibayangkan, jika Kartini mendapat kesempatan yang lebih panjang mempelajari Islam dan menerapkannya dalam kehidupan? Mungkin pelajarannya akan sampai pada Surah An Nuur, dimana kewajiban menutup aurat termaktub disana. Mungkin pelajarannya akan sampai pada Surah As Shaaf, dimana tertulis kisah Putra Maryam tegak membela Tuhannya dihadapan Bani Israil yang berusaha mendustakan kebenaran.

Kita, di zaman yang jauh lebih modern ini patut berterima kasih pada tulisan-tulisan Kartini yang menjadi cahaya peradaban. Tapi tidak cukuplah 21 April dirayakan dengan kebaya dan perlombaan. Lebih dari itu, Kartini-Kartini masa kini harus belajar lebih giat lagi, teguh pada kebenaran hakiki, sekaligus dekat-dekat dengan dunia literasi.
 #ODOP

0 comments:

Post a Comment

Popular Posts

Blogger templates

Blogroll

About

Search This Blog

Powered by Blogger.
 

Designed by: Compartidísimo
Images by: DeliciousScraps©