![]() |
foto dari mbah gugel |
Masih lekat
dalam ingatan, saat aku belia dan sudah masuk sekolah TK. Ayah yang jarang di
rumah, kebetulan sekali menjelang peringatan Hari Kartini sedang ada di rumah.
Layaknya sekolah lain, peringatan itu ditandai dengan karnaval. Kami para siswa
yang masih imut, lugu dan menggemaskan tentu jadi sasaran. Siswa putri diminta
untuk berpakaian kebaya, dirias sedemikian rupa. Para pria kecil memakai kostum
batik sogan lengkap dengan blankon khas adat jawa. Ketika ibu sampaikan rencana
itu kepada ayah, apa beliau bilang?
“Tidak, lebih
baik anak perempuanku tidak berangkat sekolah hari itu. Biar di rumah saja.
Tidak akan kuijinkan anak perempuanku berperilaku seperti ondel-ondel!”
Aku, yang tentu
masih terlalu kecil saat itu, tidak mengerti apa-apa. Menurut saja. Toh sekolahku
jauh dari rumah. Tidak ada tampak dimataku seliweran sosok teman-teman yang
cantik jelita bak bidadari turun dari surga. Atau malah seperti boneka
bertopeng karena kontas warna yang mencolok antara wajah dengan bagian tubuh
lainnya? Entahlah. Hanya, harus kuakui tidak ada satupun kenangan foto masa
kecil dengan kebaya lengkap bersanggul atau berkonde. Peringatan itu tak
tercatat dalam sejarah masa kecilku.
Sampai ketika
teman-teman sebaya banyak mendapat tawaran menjadi “kembang manten”, aku tidak
pernah mendapat izin untuk ikut seperti itu. Alamat, sampai remaja bahkan
dewasa tidak sekalipun ini muka jadi “korban kebaya” yang kata orang kalau
dipakai bikin sesak karena ukurannya yang pas di badan dan bahannya yang
kebanyakan bikin gerah selama perjalanan.
Bahagia, iya.
Karena mendapat lingkungan yang banyak menjaga. Tapi masih penasaran juga.
Kenapa Hari Kartini selalu diperingati dengan perempuan berkebaya?
Tidak, saya
tidak membenci kebaya. Nenek-nenek saya semua pemakai kebaya. Saya suka motif
batik meski kebanyakan akhirnya dimodifikasi jadi rok super lebar. Biar enak
dipakai jalan-jalan. Saya suka memperhatikan model kebaya dengan apa namanya?
Kutubbaru? Yang sejak lama menjadi model utama kebaya milik nenek saya,
sekarang tren lagi rupanya. Penasaran, kadang saya ingin mencoba tapi belum
cukup nyali jadi terlihat lebih “dewasa”.
Ah, mungkin
lebaran yang akan datang bisa dicoba, modifikasi model kebaya dengan mesin
jahit yang ada di rumah. Semoga bisa terealisasi sebagai bagian dari rencana.
Ehm, saya juga
masih penasaran. Kenapa peringatan Hari Kartini selalu identik dengan kebaya?
Apakah karena dokumentasi yang ditemukan, foto Kartini menggunakan kebaya?
Wajar, beliau keturunan jawa sekaligus tumbuh di lingkungan bangsawan yang
menjunjung tinggi adat termasuk pakaian. Wajar, sebagai muslimah sekalipun,
pada masa itu kerudung belum sefamiliar sekarang. Malah bisa jadi, kerudung
adalah salah satu pakaian yang masih mendapat banyak pertentangan. Tapi bukan
itu kan, yang jadi sorotan sehingga beliau dianggap sebagai pahlawan?
Kartini adalah
lambang perubahan, bahwa wanita tidak bisa diam dan tunduk pada peraturan tanpa
pemahaman. Kartini adalah simbol perlawanan, bukan melalui senjata mematikan,
namun lembut menyerang dengan tulisan.
Iya, tulisan.
Pelajaran, pemahaman. Sesuatu yang dianggap Kartini lebih “menggerakkan” dari
sekedar pakaian. Beliau meletakkan banyak harapan dan pondasi perubahan melalui
berbagai tulisan yang disebarluaskan.
Lalu, masihkah
kebaya cukup sebagai lambang peringatan?
Tidak ada yang
salah jika kebaya digunakan sebagai lambang perempuan yang memiliki kekuatan.
Meski tidak semua perempuan yang memiliki kekuatan untuk melakukan perubahan
harus mengenakan kebaya. Tapi lebih dari itu, dibalik kebaya-kebaya yang
dikenakan, haruslah ada kekuatan yang ditawarkan.
Wanita tidak bisa
sekedar bersolek, mempercantik rupa dan penampilan. Sementara lupa bagaimana
harus bersikap dan mengambil keputusan. Lupa bagaimana harus memperbarui dan
meluaskan pengetahuan. Atau yang lebih memprihatinkan, adalah lupa dimana
meletakkan keimanan.
Kartini, adalah
sosok muslimah yang terus berusaha memperbaiki diri. Melepaskan ketidaktahuan
melalui tulisan. Mengungkapkan setiap kegelisahan yang dirasakan. Hingga
akhirnya menemukan kebenaran dalam proses pencarian. Kartini tak berhenti
menulis untuk diri sendiri.
Termasuk ketika
menulis tentang Islam, Kartini tidak enggan menulis tentang rasa keterasingan
ketika melihat lembaran Al Qur’an tanpa terjemahan. Apa yang bisa diambil dari
kitab suci tanpa pemahaman? Hingga Kartini mengalami transformasi spiritual
setelah pertemuannya dengan Kyai Sholeh Darat, yang mengajarkannya tafsir Al
Qur’an. Kado pernikahan terbaik yang diterimanya adalah kitab tafsir Al Qur’an
yang ditulis oleh sang Kyai mulai dari surah Al Fatihah hingga Surah Ibrahim.
Sayang, Sang Kyai harus kembali kepada Allah sebelum berhasil menyelesaikan
tafsir tersebut.
Perjalanan
Kartini mengenali agamanya sendiri belumlah purna. Namun yang sudah dipelajari
telah membawanya pada pemahaman yang luar biasa, sehingga dalam suratnya kepada
Abendanon, sahabat penanya di Belanda, tertanggal 1 Agustus 1903, Kartini
menulis, “Ingin benar saya menggunakan gelar tertinggi, yaitu Hamba Allah.”
Bisa
dibayangkan, jika Kartini mendapat kesempatan yang lebih panjang mempelajari
Islam dan menerapkannya dalam kehidupan? Mungkin pelajarannya akan sampai pada
Surah An Nuur, dimana kewajiban menutup aurat termaktub disana. Mungkin pelajarannya
akan sampai pada Surah As Shaaf, dimana tertulis kisah Putra Maryam tegak
membela Tuhannya dihadapan Bani Israil yang berusaha mendustakan kebenaran.
Kita, di zaman
yang jauh lebih modern ini patut berterima kasih pada tulisan-tulisan Kartini
yang menjadi cahaya peradaban. Tapi tidak cukuplah 21 April dirayakan dengan
kebaya dan perlombaan. Lebih dari itu, Kartini-Kartini masa kini harus belajar
lebih giat lagi, teguh pada kebenaran hakiki, sekaligus dekat-dekat dengan
dunia literasi.
#ODOP
0 comments:
Post a Comment