1.
The
Labirinth of Debt
Labirin
hutang?
Kita hidup pada zaman dimana hutang menjadi bagian tidak terpisahkan dari kehidupan. Sekuat apapun berusaha melepaskan, tetap saja muncul kondisi dimana “mau tidak mau” akhirnya terlibat hutang piutang. Kalau ngga punya hutang, ya memberi hutang. Kurang lebih begitu.
Punya uang cukup untuk membeli motor, tergoda membeli mobil. Akhirnya kredit, mencatat hutang. Perlu aksessoris tambahan, pernak pernik penampilan, bayar cicilan. Otomatis menambah daftar hutang. Sedemikian mengakar budaya hutang dalam hidup masyarakat kita. Sehingga dompetpun terisi bukan lagi uang, tapi hutang. Berwujud kartu kredit.
Ada orang yang berhutang karena memang tidak punya, sehingga butuh bantuan untk sekedar bertahan hidup dan memenuhi kebutuhan sehari-hari. Namun ada juga yang berhutang karena gengsi. Ngga hutang, ngga eksis. Begitu pikir mereka.
Kartu kredit, pada dasarnya merupakan bentuk lain dari fiat money. Namun lebih sakti sebagai alat pembayaran. Lebih bergengsi dan banyak tinggal di kantong orang-orang berdasi. Adanya kartu kredit ini memungkinkan bank untuk menggandakan uang jauh lebih cepat dan berlipat. Akhirnya, pemilik dan masyarakat juga yang harus menerima akibatnya. Karena adanya kartu kredit menimbulkan kewajiban untuk membayar bunga oleh pemakai. Selain itu, ada denda yang harus dibayar karena keterlambatan.
Praktisnya, kartu kredit merupakan penjahat keuangan yang berbaju pahlawan. Ia bisa menimbulkan kecanduan shopping dan melipatgandakan besaran hutang.
Inggris adalah negeri maju yang membukukan catatan sebagai negeri dimana warganya secara individual memiliki tingkat utang paling tinggi di dunia. Jumlahnya mencapai hampir dua triliun dolar AS. Setiap orang dewasa di sana kira-kira memiliki utang personal senilai lebih dari 30.000 dolar AS.
Jumlah seluruh utang ini jauh lebih banyak dari pada barang dan jasa yang dihasilkan ekonomi negeri ini selama setahun penuh![1]
Pengendali hutang sebenarnya adalah keinginan. Manusia cenderung tergoda untuk memenuhi apa yang diinginkan, tidak peduli jika harus memenuhinya dengan cara berhutang. Maka, jika ingin mengendalikan hutang caranya adalah dengan mengendalikan keinginan.
Pasti setan tidak akan pernah rela jika manusia berusaha mengendalikan keinginan. Setelah sekian lama ia berusaha meyakinkan bahwa hutang akan membuatnya kaya dengan bunga.
Dalam skala yang lebih besar, fenomena hutang ini tidak hanya mewabah diantara individu. Namun juga sudah “melembaga” bahkan “bernegara” tanpa seorangpun bisa menentangnya. Berawal dari cita-cita mulia atas nama pembangunan, perbaikan infrastruktur, fasilitas layanan umum, dan sebagainya. Kemudian muncul berbagai kasus korupsi yang menjelaskan kemana uang dengan nominal besar itu beredar di kalangan mereka. Dengan berbagai dalih yang bisa dikarang siapa saja, ah inilah labirin hutang di negeri manusia.
“Semua dosa orang yang mati syahid akan diampuni kecuali utangnya”
(H.R
Muslim)
Demikian pesan Rasulullah untuk umat Islam, agar tidak sembarangan mengambil hutang dan menyepelekan pengembaliannya. Tentu hutang tidak dilarang, asal bisa mengembalikan sesuai perjanjian dan silakukan sesuai dengan hukum Islam. Jika harus berhutang maka segerakan untuk membayar. Jangan sampai diabaikan apalagi dilupakan. Karena di akhirat nanti, bisa jadi pintu surga tertutup karena hutang yang belum selesai.
Di kehidupan dunia, hegemoni hutang akhirnya memunculkan perbudakan tanpa disadari kebanyakan orang, bahkan mungkin perusahaan dan negara sekalipun. Kebebasan orang yang berhutang, otomatis terkikis ketika pemberi hutang mulai bermain dengan kepentingan. Politk menjadi imbas dari “kebaikan” hutang. Indonesia contohnya, ketika mengalami kondisi ekonomi terpuruk akibat nilai tukar yang terjun bebas, mulailah para pemberi hutang beraksi. Diawali dengan rayuan dan janji-janji manis agar tawarannya laris manis, diiku[2]ti dengan suntikan racun yang membunuh perlahan agar negara terjebak dalam jeratan hutang. Debt is the slavery of the free. Tidak peduli sang pemberi hutang adalah lembaga tinggi dari negara maju sekalipun.Suku bunga dinaikkan atas permintaan sang pemberi hutang. Akibatnya, rda ekonomi berjalan tersendat.
Selain kebijakan uang ketat (tight money policy), IMF juga menawarkan resep kebijakan fiskal (fiscal policy) kepada pemerintah Indonesia. Kebijakan ini dimaksudkan untuk mengurangi pengeluaran pemerintah. Pada saat yang sama, meningkatkan pendapatan melalui pajak. Harapannya, pemerintah bisa mengurangi budget deficit-nya sehingga memulihkan kepercayaan investor. Namun kontraksi anggaran yang diciptakannya menimbulkan shock masyarakat karena banyak subsidi -seperti BBM -ditarik. Rakyat yang dalam kondisi kesusahan semakin terhimpit. Apalagi banyak diantaranya yang menganggur mendadak karena terkena dampak rasionalisasi perusahaan. Mereka pun marah. Inilah mungkin kebijakan yang makin mengurangi kepercayaan mereka kepada pemerintah. Gelombang demo besar-besaran akhirnya melibas dan melengserkan Presiden Soeharto.[3]
1 comments:
Bermanfaat banget...terimakasih ya...
Post a Comment