Mungkin orang lain bisa melihatku
tetap bersikap tenang di tengah situasi kehilangan. Iya, karena aku tetap lebih
banyak diam, tidak teriak atau gegabah bersikap, apalagi berlari ke pos polisi
terdekat. Huft, kalian tidak akan mengerti seberapa panik sejujurnya hati dan
pikiran ini. Tapi aku bisa apa? Berlari? Mau ke mana? Pos polisi? Bawa bukti
apa kalau aku sudah kehilangan seperangkat motor lengkap beserta suratnya? Itu
bukan pilihan yang baik, kan?
Maka, disinilah aku. Tetap berusaha
tenang dan mengolah diri dengan logika. Berusaha berprasangka baik, mungkin
motorku sudah diamankan oleh pak satpam, disimpan di suatu tempat yang entah di
mana. Membayangkan vario biru putihku sendirian di tempat pengasingan membuatku
ingin menangis. Iya, sedikit lebay memang. Tepatnya, aku ingin mennagis karena
takut kehilangan barang yang bukan milikku.
Bapak itu masih sibuk mengutak atik
kunci motor mahasiswi yang tadi.
“Pak, ngga ada. Gimana dong?” Suraku
tercekat di tenggorokan.
“Coba lihat kartu mahasiswamu.” Aku
menurut, mengeluarkan KTM yang baru kuambil dari meja peminjaman buku tandon.
“Fakultas apa?” Tanya bapak itu
setelah kuserahkan.
“Syari’ah, pak.” Jawabku polos.
“Hah? Syari’ah atau Tarbiyah? Ini
tarbiyah. Jangan coba-coba, ya.” Bapak itu bertanya tegas. Aku terbelalak.
Jangan-jangan?
“Maaf pak?” Ujarku mendekat dan
melihat kartu itu dengan mata kepala sendiri.
“Astaghfirullah....” Aku hampir
menjeritkan tangis. Jika saja tidak sedang puasa, sadar bahwa ini bagian dari
ujian, mungkin aku sudah kehilangan kendali. Kartu mahasiswa itu bukan atas
namaku!
“Maaf pak, kartu saya tertukar di
lantai empat.” Aku menjelaskan lemah.
“Loh, kok bisa?"
“Tadi pinjam buku tandon, KTM dikumpulkan. Pas ambil saya ngga teliti, asal
yang foto dan kartunya sekilas mirip punya saya, ambil saja. Maaf pak, saya
ambil dulu ya?” Ujarku memelas.
Bapak itu menatapku tajam. Aku belum tahu di mana motor itu berada.
Rasanya belum tenang.
“Motornya gimana pak?”
Bapak itu melangkah tanpa menjawab,
menuju pos satpam area parkir. Aku menurut di belakangnya. Bapak itu masuk,
meneliti semua kunci di loker, lalu keluar lagi. “Mana kuncimu?”
Mungkin itu adalah beberapa kunci
yang tertinggal di motor hari ini. Aku meneliti, “Tidak ada, pak.”
Rasanya campur aduk. Kalau di pos
satpam ngga ada, lalu ke mana? Tapi bapak satpam tampak tenang. Aku jadi ragu
merasa panik sendiri. Mataku mengedarkan pandangan pada barisan helm di depan
pos. Aku menemukan helmku!
“Pak, ini helm saya.” Aku mengambil
dan menunjukkannya pada pak satpam.
“Yakin, bukan punya orang lain?”
tanyanya menyelidik.
“Yakin pak, udah butut ini.” Aku
berani bertaruh, orang lain bisa bola mataku pasti berbinar meyakinkan.
Pak satpam pergi meninggalkanku,
masuk ke area parkir lagi, lalu keluar mengendara i motorku sambil tersenyum
jahil.
Fiuhhh!
Aku bernapas lega.
Melihat motor itu aman rasanya ada
seember air es yang diguyurkan tepat di kepalaku. Cess.
Alhamdulillah.. Mataku kembai
berbinar, terharu. Tapi tentu saja, pak satpam tidak akan memberiku kunci
berikut motor itu begitu saja. Enak saja, sudah “menambah” pekerjaan main pergi
gitu? Nehi, lah ya. Aku paham itu. No free lunch. Seandainya tidak puasa,
aku sudah berpikir untuk membeli sesuatu untuk bapak itu. Tapi sayang, tidak
mungkin. Apalagi jem kerja hari sabtu mereka hanya berjaga sampai jam 2. Itu
artinya tidak kurang dari setengah jam lagi.
Ya Allah, semoga engkau berkenan membalas kebaikan pak satpam dengan
balasan yang lebih baik, pintaku.
Kali ini, aku hanya harus mengikuti
prosedur pengambilan kunci motor yang tertinggal dengan menyerahkan fotokopi
KTM.
“Jadi sebenarnya kamu mahasiswa apa,
tarbiyah atau syari’ah?” Tanyanya kembali menyelidik ketika kami tiba di dekat
mahasiswa yang motornya terkunci tadi, belum selesai dicongkel.
“Syari’ah, pak. Saya harus tukarkan
KTM itu ke lantai empat.” Ujarku sambil mengatur nafas setelah berjalan cepat
dari ujung area parkir mengikuti motor yang melaju tadi.
“Sekalian fotokopi, ya.” Pak satpam
mengingatkan, sambil tersenyum.
“Siap, pak.” Aku kembali berlari
menuju gedung perpustakaan. Masuk dengan KTM entah siapa (untuk absen barcode,
aku tak sempat membaca nama lengkapnya). Lalu menaiki anak tangga satu per satu tanpa henti hingga
tiba di lantai empat. Tiba di anak tangga terakhir, napasku tersengal. Tapi aku
terus berlari menuju meja peminjaman buku tandon.
Ada bapak pustakawan dan seorang
gadis di sana, tampak diantara mereka kotak tempat penyimpanan KTM. Mungkin...
“Bapak, maaf... saya kesini mau minta
maaf. Tadi saya keliru ambil KTM.” Ujarku terputus-putus karena napas yang
masih tersengal.
Bapak Pustakawan tersenyum.
“Tuh, kan mba ... ngga mungkin
hilang. Paling hanya tertukar dengan mahasiswa lain.” Beliau berkaa pada gadis di sebelahku.
“Oh, punya mbak ya? Maaf ya mbak,
maaf sekali... saya tadi terburu-buru. Ini ya?” Ujarku mengangsurkan KTM yang
bukan milikku.
“Iya mbak, ngga papa.” Ujarnya
menerima, kemudian segera berlalu tanpa basa basi lagi. Aku mengambil kursi,
duduk sambil mengatur nafas. lalu meneliti kotak KTM, mencari namaku. Ketemu!
“Bapak, maaf ya pak...” Aku menatap
bapak pustakawan yang mungkin sudah kubuat jegkel di pertengahan hari puasanya.
“Ngga papa mbak, namanya juga ngga
sengaja kan?” Subhanallah, beliau masih bisa tersenyum. Aku lega, lalu
berpamitan. Langsung turun menuju lantai 2 untuk fotokopi di sana. Kemudian
turun lagi, semua melalui anaktangga. Perpustakaan kampus belum menyediakan
lift untuk pengunjung seperti kami. Jadi ya, tidak ada pilihan selain terus
melangkahkan kaki. Tetap semangat, bersiap dengan ujian berikutnya. Masihkah
engkau sabar membaca kelanjutan ceritaku?
#oneMore
1 comments:
Alhamdulillah nggak hilang
Post a Comment