Wednesday, 14 June 2017

Kehilangan, Bagian Perjuangan Tesis (2)

| |





Mungkin orang lain bisa melihatku tetap bersikap tenang di tengah situasi kehilangan. Iya, karena aku tetap lebih banyak diam, tidak teriak atau gegabah bersikap, apalagi berlari ke pos polisi terdekat. Huft, kalian tidak akan mengerti seberapa panik sejujurnya hati dan pikiran ini. Tapi aku bisa apa? Berlari? Mau ke mana? Pos polisi? Bawa bukti apa kalau aku sudah kehilangan seperangkat motor lengkap beserta suratnya? Itu bukan pilihan yang baik, kan?


Maka, disinilah aku. Tetap berusaha tenang dan mengolah diri dengan logika. Berusaha berprasangka baik, mungkin motorku sudah diamankan oleh pak satpam, disimpan di suatu tempat yang entah di mana. Membayangkan vario biru putihku sendirian di tempat pengasingan membuatku ingin menangis. Iya, sedikit lebay memang. Tepatnya, aku ingin mennagis karena takut kehilangan barang yang bukan milikku.

Bapak itu masih sibuk mengutak atik kunci motor mahasiswi yang tadi.

“Pak, ngga ada. Gimana dong?” Suraku tercekat di tenggorokan.

“Coba lihat kartu mahasiswamu.” Aku menurut, mengeluarkan KTM yang baru kuambil dari meja peminjaman buku tandon.

“Fakultas apa?” Tanya bapak itu setelah kuserahkan.

“Syari’ah, pak.” Jawabku polos.

“Hah? Syari’ah atau Tarbiyah? Ini tarbiyah. Jangan coba-coba, ya.” Bapak itu bertanya tegas. Aku terbelalak. Jangan-jangan?

“Maaf pak?” Ujarku mendekat dan melihat kartu itu dengan mata kepala sendiri.

“Astaghfirullah....” Aku hampir menjeritkan tangis. Jika saja tidak sedang puasa, sadar bahwa ini bagian dari ujian, mungkin aku sudah kehilangan kendali. Kartu mahasiswa itu bukan atas namaku!

“Maaf pak, kartu saya tertukar di lantai empat.” Aku menjelaskan lemah.

“Loh, kok bisa?"

“Tadi pinjam buku tandon, KTM dikumpulkan. Pas ambil saya ngga teliti, asal yang foto dan kartunya sekilas mirip punya saya, ambil saja. Maaf pak, saya ambil dulu ya?” Ujarku memelas.

Bapak itu menatapku tajam.  Aku belum tahu di mana motor itu berada. Rasanya belum tenang.

“Motornya gimana pak?”

Bapak itu melangkah tanpa menjawab, menuju pos satpam area parkir. Aku menurut di belakangnya. Bapak itu masuk, meneliti semua kunci di loker, lalu keluar lagi. “Mana kuncimu?”

Mungkin itu adalah beberapa kunci yang tertinggal di motor hari ini. Aku meneliti, “Tidak ada, pak.”

Rasanya campur aduk. Kalau di pos satpam ngga ada, lalu ke mana? Tapi bapak satpam tampak tenang. Aku jadi ragu merasa panik sendiri. Mataku mengedarkan pandangan pada barisan helm di depan pos. Aku menemukan helmku!

“Pak, ini helm saya.” Aku mengambil dan menunjukkannya pada pak satpam.

“Yakin, bukan punya orang lain?” tanyanya menyelidik.

“Yakin pak, udah butut ini.” Aku berani bertaruh, orang lain bisa bola mataku pasti berbinar meyakinkan.

Pak satpam pergi meninggalkanku, masuk ke area parkir lagi, lalu keluar mengendara i motorku sambil tersenyum jahil.

Fiuhhh!

Aku bernapas lega.

Melihat motor itu aman rasanya ada seember air es yang diguyurkan tepat di kepalaku. Cess.

Alhamdulillah.. Mataku kembai berbinar, terharu. Tapi tentu saja, pak satpam tidak akan memberiku kunci berikut motor itu begitu saja. Enak saja, sudah “menambah” pekerjaan main pergi gitu? Nehi, lah ya. Aku paham itu. No free lunch. Seandainya tidak puasa, aku sudah berpikir untuk membeli sesuatu untuk bapak itu. Tapi sayang, tidak mungkin. Apalagi jem kerja hari sabtu mereka hanya berjaga sampai jam 2. Itu artinya tidak kurang dari setengah jam lagi.

Ya Allah, semoga engkau berkenan membalas kebaikan pak satpam dengan balasan yang lebih baik, pintaku.

Kali ini, aku hanya harus mengikuti prosedur pengambilan kunci motor yang tertinggal dengan menyerahkan fotokopi KTM.

“Jadi sebenarnya kamu mahasiswa apa, tarbiyah atau syari’ah?” Tanyanya kembali menyelidik ketika kami tiba di dekat mahasiswa yang motornya terkunci tadi, belum selesai dicongkel.

“Syari’ah, pak. Saya harus tukarkan KTM itu ke lantai empat.” Ujarku sambil mengatur nafas setelah berjalan cepat dari ujung area parkir mengikuti motor yang melaju tadi.

“Sekalian fotokopi, ya.” Pak satpam mengingatkan, sambil tersenyum.

“Siap, pak.” Aku kembali berlari menuju gedung perpustakaan. Masuk dengan KTM entah siapa (untuk absen barcode, aku tak sempat membaca nama lengkapnya). Lalu menaiki  anak tangga satu per satu tanpa henti hingga tiba di lantai empat. Tiba di anak tangga terakhir, napasku tersengal. Tapi aku terus berlari menuju meja peminjaman buku tandon.

Ada bapak pustakawan dan seorang gadis di sana, tampak diantara mereka kotak tempat penyimpanan KTM. Mungkin...

“Bapak, maaf... saya kesini mau minta maaf. Tadi saya keliru ambil KTM.” Ujarku terputus-putus karena napas yang masih tersengal.

Bapak Pustakawan tersenyum.

“Tuh, kan mba ... ngga mungkin hilang. Paling hanya tertukar dengan mahasiswa lain.” Beliau berkaa pada  gadis di sebelahku.

“Oh, punya mbak ya? Maaf ya mbak, maaf sekali... saya tadi terburu-buru. Ini ya?” Ujarku mengangsurkan KTM yang bukan milikku.

“Iya mbak, ngga papa.” Ujarnya menerima, kemudian segera berlalu tanpa basa basi lagi. Aku mengambil kursi, duduk sambil mengatur nafas. lalu meneliti kotak KTM, mencari namaku. Ketemu!

“Bapak, maaf ya pak...” Aku menatap bapak pustakawan yang mungkin sudah kubuat jegkel di pertengahan hari puasanya.

“Ngga papa mbak, namanya juga ngga sengaja kan?” Subhanallah, beliau masih bisa tersenyum. Aku lega, lalu berpamitan. Langsung turun menuju lantai 2 untuk fotokopi di sana. Kemudian turun lagi, semua melalui anaktangga. Perpustakaan kampus belum menyediakan lift untuk pengunjung seperti kami. Jadi ya, tidak ada pilihan selain terus melangkahkan kaki. Tetap semangat, bersiap dengan ujian berikutnya. Masihkah engkau sabar membaca kelanjutan ceritaku?

#oneMore

1 comments:

Wiwid Nurwidayati said...

Alhamdulillah nggak hilang

Post a Comment

Popular Posts

Blogger templates

Blogroll

About

Search This Blog

Powered by Blogger.
 

Designed by: Compartidísimo
Images by: DeliciousScraps©